Kejadian kemarin memang takkan pernah terlupakan. Dimana saat Rahmat harus menerima sakit dua kali lipat sampai resminya hubungan Dania dan Erfan.
Hari pertama masuk di sekolah baru. Untuk sampai kesini Erfan membutuhkan lebih banyak waktu di perjalanan daripada sekolahan sebelumnya. Sekolah bergengsi memang. Tapi tetap saja ini tidak akan membuat dirinya betah, gak satu sekolahan gitu sama pacarnya.
Erfan memparkirkan motornya dan berjalan masuk ke lobby. Langkahnya santai. Wajahnya ia buat seriang mungkin. Semoga jauh lebih baik doanya.
Seseorang menghentikan langkahnya. Lelaki sebaya itu tersenyum. Wajahnya imut, seperti. Ah! Dia kan cowok yang kasih bocoran kalo Lilis pelaku pembullyan Dania!
Alis Erfan mengernyut. Tepukan yang mendarat di bahunya membuat dirinya tersenyum.
"Lo pasti udah tau gue kan?"
"Lo yang kasih tau siapa pelakunya."
Cowok itu mengangguk.
"Lo gak ada maksud apa-apa kan?" Erfan meyakinkan bahwa dia benar-benar orang yang baik.
"Tenang aja gue gak berniat apapun kok."
"Tunggu. Lo kan sekolah disini tapi gimana ceritanya lo ambil foto waktu Lilis keciduk?"
"Ah gampang sih. Bokap gue yang punya tuh sekolah."
Erfan masih saja meneliti.
"Gini aja singkatnya. Bokap gue kan yang punya sekolah itu. Kadang gue juga berkunjung dan saat gue kesana ada beberapa gosip tentang cewek yang lagi dibully sampe kelewat batas. Ya gue cari tau dong lewat CCTV dan saat gue yakin Lilis pelakunya ya gue coba ngintilin dia dan foto dia pas lagi beraksi."
"Kenapa lo segitu perhatiannya sama Dania?"
"Gue gak mau lah sekolah bokap gue tercoreng jelek."
Erfan keukeuh dengan tatapannya lalu cowok itu segera merangkulnya.
"Ayolah bro lo masih gak percaya juga? Tenang aja gue gak suka kok sama cewek lo."
"Gue Vino. Ketua osis."
Erfan sempat ragu namun akhirnya senyuman itu bisa terlukis lagi di wajahnya.
"Gue gak yakin lo ketua osis." canda Erfan
"Kenapa? Terlalu ganteng ya?"
"Najis."
"Wkwkwk."
Keduanya tertawa namun tiba-tiba ada yang ikut bersuara.
"Lo sekolah disini juga?"
Erfan menoleh. Rahmat dilihatnya. Hah? Rahmat?
"Oh iya gue lupa lo kan udah dikeluarin dari sekolahan sana. Gimana rasanya masuk dengan negosiasi uang?"
Erfan mengepal geram. Hatinya mencoba untuk menahan kekesalannya. Bagaimanapun Rahmat telah menolong Dania kemarin.
"Ternyata lo disini juga. Salam kenal ya. Sekolahan lo bagus." jawab Erfan kalem. Setelah itu ia dan Vino berlalu.
"Rasanya makin asik aja hidup di dunia." ceplos Rahmat.
Tak banyak yang terjadi. Ini juga baru pertama kalinya dia masuk. Tapi hanya satu yang membuatnya semakin kesal. Rahmat ternyata jadi teman sekelasnya.
Pesan.
"Aku jemput ya."
"Iya Abang."
"Abang? Jadi selama ini kamu anggap aku abang ojek?"
"Iya tapi yang suka mangkal di hati aku. Wkwk."
"Dania."
"Hmm?"
"Loveyou curut."
"Kutu gombal!"
Erfan tancap gas ke sekolah yang sudah dianggap rumah baginya. Ya walaupun nggak lagi. Ia berhenti di depan pintu gerbang dan mendapati duo kesayangannya. Bontot dan Toni.
Dua jones itu menghampirinya dan berteriak gembira akhirnya bisa bertemu lagi dengan bos nya itu.
"Lo kemana aja? Sombong nih gak pernah main." sambut Bontot
"Lo gak papa kan?" tanya Toni yang khawatir akan kondisinya.
"Gak papa. Lagian gue udah sekolah lagi kok."
"Dimana?"
"SMA Bangsa di Senayan. Yang waktu itu tanding final olimpiade lawan sekolah kita."
"Oh iya gue inget." -Bontot
"Baik-baik ya lo disana." Toni masih saja khawatir. Sebagai anggota tertua ia selalu mensupport apapun yang terjadi diantara keduanya. Layaknya seorang orang tua.
Erfan tersenyum menanggapinya. Ia masih saja betah duduk di motornya dengan memegang helm di depan perutnya.
"Fan lo tau gak Lilis kemana?" tanya Bontot
"Lilis? Gue udah gak kontekan sama dia. Emang dia gak masuk?"
"Iya absennya alfa gitu. Gak ada yang tau dia kemana."
Erfan menunduk untuk berpikir.
"Ini nggak ada sangkut pautnya kan sama Dania?" lanjut Bontot. Toni lantas menyenggol lengannya.
Erfan mendongak. Bontot dilihatnya tak seperti biasa.
"Gue nggak tau."
Suasana menjadi canggung.
"Em lo kesini mau ngajak kita nongkrong kan?" Toni mencoba merubah suasana.
"Ayo berangkat. Cacing si Bontot udah berontak dari tadi." sambungnya
Dania datang menghampiri dan tersenyum.
"Eh Dania." kata Toni. Bontot masih dalam posisinya.
"Hai." Dania masih tersenyum. Ia menatap Erfan yang dilihatnya masih setengah melamun.
"Ayo naik. Guys gue duluan ya." kata Erfan. Dania langsung nurut dan duduk di belakangnya dengan memakai helm.
"Eh bentar kok kalian? Ah udah jadian ya? Sejak kapan?" Toni lagi yang bersuara. Bontot hanya diam memperhatikan.
Keduanya tersenyum lalu Erfan menjawab. "Masih anget. Duluan ya."
Ngenggggg...
Motor Erfan melaju dengan kencangnya.
"Ayo kita pulang." kata Toni merangkul si bungsu.
Sepanjang perjalanan. Hening. Tumben. Tidak seperti biasanya Erfan kayak gini. Begitulah kalimat yang timbul dibenaknya Dania.
Ingin memulai namun takut salah bicara. Tapi jika seperti ini terus hambar rasanya.
"Em Fan. Kita jadi kan ke Gramedia dulu?"
"Kita langsung pulang aja. Takut hujan. Aku gak mau kamu sakit."
Dania menengadah. Benar. Mendung dilihatnya.
"Yaudah gakpapa."
"Kamu nggak marah kan?"
"Nggak kok tenang aja. Nanti kamu juga langsung pulang ya jangan sampe kehujanan."
"Siap nona."
Obrolannya biasa, ada sentuhan perhatian juga disana. Namun entah mengapa rasanya tetap hambar dan seolah berlalu begitu saja.
Dania teringat akan ucapan dan ekspresi Erfan saat membicarakan Lilis di depan gerbang tadi. Tak niat menguping sebenarnya, namun kebetulan saat ia akan menghampiri obrolan itu tengah berlangsung. Ia ingat betul bagaimana ekspresi Erfan dan Bontot tadi. Seperti ada tatapan peperangan disana.
Dania mencoba untuk tidak memikirkan itu semua dan menganggapnya hanya sebatas obrolan sahabat biasa. Bagaimanapun mereka adalah De Bawangs, dan Lilis anggota baru disana.
Sudah sampai saja. Dania turun, ia terlihat kesusahan saat membuka helm nya. Erfan tertawa.
"Kamu gimana sih gini aja nggak bisa. Sini aku bukain." Erfan turun, lantas ia membukakan helm untuknya. Lalu merapikan rambutnya.
"Makan yang banyak jangan sampe kurus. Kalo pacaran sama aku wajib bahagia dan nambah berat badan salah satu cirinya." kata Erfan
"Kamu mau aku gendut?"
"Bagaimanapun kamu kasih sayangku gak akan pernah luntur."
"Hmm." Dania tersipu malu
Muach.
Sebuah kecupan mendarat dikeningnya. Dada Dania serasa mengalir dengan cepat. Kecupan itu terasa sangat lembut dan menenangkan.
"Aku pulang dulu ya."
"Iya. Hati-hati." Dania terlihat bahagia
Erfan menyuruhnya segera masuk. Ia naik dan segera pergi bersamaan dengan berlalunya angin kencang.
"Gue harap dia bener-bener gak khawatirin Lilis." bisik Dania.
•••