Pendekar Kidal (Cin Cu Ling)...

By JadeLiong

279K 6.4K 69

Lenyapnya Tong Thian Jong, tertua keluarga Tong di Sujwan yang terkenal dengan ilmu senjata rahasia dan racun... More

Jilid 1
Jilid 2
Jilid 3
Jilid 4
Jilid 5
Jilid 6
Jilid 7
Jilid 8
Jilid 9
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
Jilid 17
Jilid 18
Jilid 19
Jilid 20
Jilid 21
Jilid 22
Jilid 23
Jilid 24
Jilid 25
Jilid 26
Jilid 27
Jilid 28
Jilid 29
Jilid 30
Jilid 31
Jilid 32
Jilid 33
Jilid 34
Jilid 35
Jilid 36
Jilid 37
Jilid 38
Jilid 39
Jilid 40
Jilid 41
Jilid 42
Jilid 43
Jilid 44
Jilid 45
Jilid 46
Jilid 47
Jilid 48
Jilid 49
Jilid 50
Jilid 51
Jilid 52
Jilid 53
Jilid 54
Jilid 55
Jilid 56
Jilid 57
Jilid 58
Jilid 59
Jilid 60
Jilid 61
Jilid 62
Jilid 63
Jilid 64
Jilid 65
Jilid 66
Jilid 67
Jilid 68
Jilid 69
Jilid 70
Jilid 71
Jilid 72
Jilid 73
Jilid 74
Jilid 75
Jilid 76
Jilid 77
Jilid 78
Jilid 79
Jilid 80
Jilid 81
Jilid 82
Jilid 83
Jilid 84
Jilid 85
Jilid 86
Jilid 87
Jilid 88
Jilid 89
Jilid 90
Jilid 91
Jilid 92
Jilid 93
Jilid 94
Jilid 95
Jilid 96
Jilid 97
Jilid 98
Jilid 99
Jilid 100
Jilid 101
Jilid 102
Jilid 103
Jilid 105
Jilid 106
Jilid 107
Jilid 108
Jilid 109
Jilid 110 (TAMAT)

Jilid 104

3K 60 1
By JadeLiong

"Manusia yang tidak tahu diri," jengek laki2 jubah biru. Tiba2 badannya berputar, kaki kanan terayun menyapu kencang. Gerak sapuan kaki secepat kilat, belum lagi kedua laki2 berkedok itu menubruk tiba, dua2nya sudah tersapu jungkir-balik dan mencelat dua tombak jauhnya.

Celakalah mereka menggelinding ke lereng gunung, meski tidak sampai terluka parah, tapi tulang seluruh tubuh serasa retak, setengah harian mereka menjerit kesakitan tak mampu bergerak.

Kaget dan gusar pemimpin begal, sambil angkat tinggi golok bajanya dia membentak: "Semua maju, cacah hancur tubuh keparat ini!" -

Lima orang berkedok serentak merubung maju, sinar golok kemilau segera menyambar.

Pemuda baju sutera dan kacungnya kini sudah berdiri, malah mereka tidak menampilkan rasa takut lagi. Kini kedua orang ini dapat menonton, kelima orang berkedok bagai lima ekor harimau kelaparan ingin menerkam mangsanya, mereka menubruk sambil ayun golok membacok dan membabat serabutan dari segala arah.

Tapi laki2 jubah biru itu tetap tenang2, diantara gerakan kedua tangannya, dengan telak tangan kanannya dapat menepuk pundak kiri laki2 berkedok pemimpin begal itu, orang itu mengerang tertahan dan terpental, "bruk", dengan keras terbanting dua tombak jauhnya.
Sekali tangan kiri meraih pula laki2 jubah biru tangkap pergelangan tangan seorang lagi, golok yang masih terpegang di tangan orang itu dia angkat untuk mengetuk golok orang ketiga yang menyerang tiba. "Trang", golok orang ketiga kontan mencelat, berbareng dia lepaskan pegangannya sehingga laki2 yang dia pegang itu roboh tersungkur mencium tanah.

Sekaligus tiga musuh telah dia bereskan, begitu sikut kanan bekerja, dia sodok pula orang ke empat tepat di bawah ketiaknya. Orang inipun mengerang kesakitan, dengan mundur sempoyongan dia mendekap perutnya sambil menungging.

Kembali lengan baju si jubah biru mengebut, dengan telak ujung lengan bajunya menggubat golok orang kelima. Kali ini kepandaian yang dia unjukkan lebih menakjubkan lagi, betapa keras dan tajam golok baja itu, tapi entah mengapa, hanya sekali kebas golok lawan sudah tergulung. " Bruk", tahu2 golok besar itu berubah selarik sinar kemilau terbang tinggi meluncur ke dalam hutan dan lenyap tak keruan paran, pemilik golok sendiri sampai berdarah tangannya, cepat dia melompat mundur sambil mendekap tangan sendiri.

Kejadian ini terlalu panjang diceritakan, padahal hanya berlangsung dalam sekejap saja. Bagi pandangan si pemuda baju sutera dan kacungnya, begal2 yang garang itu tahu2 lantas kalang-kabut dihajar oleh penolongnya.

Laki2 jubah biru tidak bertindak lebih jauh, dengan berdiri menggendong tangan dia tertawa lantang: "Jago Kok-pak-gau apa segala, kiranya hanya begini saja, malam ini hanya sedikit kuberi peringatan, kalau berani melakukan pembegalan dan mencabut jiwa orang, awas bila kebentur di tanganku lagi pasti tidak kuberi ampun."

Lekas pemimpin begai merangkak bangun, setelah menjemput goloknya, tanpa bicara dia memberi tanda kepada keenam saudaranya terus ngancir.

Melihat kawanan begal sudah pergi, bergegas kacung itu membenahi barang mereka yang tercecer di jalan.

Pemuda baju suterapun menghela napas lega, dia menghampiri serta menjura kepada laki2 jubah biru, katanya; "Syukur tuan telah menolong kami berdua, budi pertolongan jiwa ini takkan kulupakan selamanya, harap terimalah puji hormatku."

Lekas laki2 jubah biru balas menjura, katanya: "Berat kata2 Kongcu, kawanan begal ini berani beroperasi di daerah dekat kotaraja, mereka patut dihajar adat, apalagi kebentur di tanganku, sebagal kaum persilatan wajib kubantu yang lemah dan menindas yang lalim. Selanjutnya kuyakin mereka pasti takkan berani bertingkah pula ditempat ini, silakan Kongcu melanjutkan perjalanan, Cayhe juga ingin lekas sampai ke tempat tujuan, mohon pamit," -Habis berkata dia menjura terus putar badan dan melangkah pergi.

"Tunggu sebentar saudara," seru pemuda baju sutera.

Laki2 jubah biru berhenti, tanyanya menoleh: "Kongcu masih ada urusan apa?"

"Saudara seorang pendekar yang membantu kaum lemah dan membela kebenaran. Pernah kubaca dalam hikayat para pendekar di jaman dahulu, kukira jaman sekarang sudah tiada kaum pendekar segala, baru hari ini bertemu dengan saudara sehingga mataku benar2 terbuka, sungguh beruntung sekali aku ini. Kini cuaca sudah hampir gelap, saudara jelas sudah tak keburu masuk kota, tak jauh di depan adalah An kiang-tun, umpama saudara buru2 melanjutkan perjalanan juga harus cari penginapan, maka menurut hemat Siaute, bagaimana kalau saudara kuundang kesana untuk makan minum bersama sambil mengobrol, sudikah kau memberi muka?"

Melihat orang memohon dengan tulus dan jujur, tanpa terasa dia tertawa, katanya: "Kongcu sudah bilang demikian, bagaimana pula aku berani menolaknya? Memang Cayhe akan menginap di An-kiang-tun, kalau undangan Kongcu kutolak, rasanya kurang hormat."

Pemuda baju sutera kegirangan, serunya: "Saudara sudi memberi muka, sungguh menyenangkan,"

ia mengawasi laki2 jubah biru, lalu berkata pula: "Kita bertemu di tengah perjalanan bukan lantaran pertolongan saudara tadi, yang terang kita agaknya memang ada jodoh, panggilan 'Kongcu' padaku sungguh tak berani kuterima, kalau sudi biarlah kita saling membahasakan saudara saja, entah bagaimapa pendapatmu?"

"Cayhe orang persilatan yang kasar, bagaimana ... ."

"Aku yang muda Pho Kek-pui, kalau saudara sudi boleh panggil aku Kek pui saja, entah siapa nama dari she saudara yang mulia?".

"Cayhe Lim Cu-jing."

"Kiranya Lim-heng, malam sudah tiba, marilah kita berangkat saja. Lim-heng."

"Boleh Pho-heng naik kuda saja," ucap Lim Cu-jing.

Sudah tentu Pho Kek-pui tidak mau naik kuda, katanya: "Dari sini tak jauh ke An-kiang-tun, kebetulan mendapat teman Lim-heng, biarlah kita jalan kaki saja sambil ngobrol " -Lalu dia berpaling memberi pesan kepada kacungnya: "Ceng-ji, bawalah kuda berangkatlah lebih dulu ke An-kiang-tun, mintalah Ban-an-can meluangkan dua kamar bersih untuk kami, suruh pula siapkan beberapa macam hidangan kegemaranku, malam ini aku akan ngobrol semalam suntuk dengan Lim-heng."

Sambil mengiakan kacung itu cemplak kuda terus dibedal ke depan, Pho Kek-pui mengiringi Lim Cu-jing berjalan kaki sambil ngobrol panjang lebar, Terasa oleh Lim Cu-jing bahwa pemuda belia ini bukan saja sikapnya ramah, tutur katanya juga lembut, terpelajar, pengetahuannya cukup luas, sehingga percakapan mereka semakin cocok dan intim.

Tiba di An-kiang-tun, lampupun telah menyala di-mana2, toko2 kecil di pinggir jalan sudah tutup pintu semuanya, hanya kelihatan beberapa sinar pelita masih menyorot keluar dari sela2 pintu jendela, tak jauh dimuka tampak sebuah lampion warna kuning dengan sinar guram bergoyang tertiup angin malam, disanalah letak Ban-an-can, sebuah hotel merangkap rumah makan.

An-kiang-tun hanya sebuah tempat persinggahan kaum musafir yang kemalaman di tengah perjalanan, tapi karena letaknya tepat di tengah antara Ko-pak-gau dan Lian-ping, banyak kaum pedagang yang terpaksa nginap disini, maka jalan raya yang ramai ini menjadi pusat perbelanjaan penduduk setempat. Setelah tutup toko, penduduk suka keluyuran di luar mencari angin dan jajan di-warung2, sudah tentu disini ada pula sarang judi dan perempuan yang siap menghibur laki2 yang kesepian.

Ban-an-can memiliki dua macam kamar, kamar biasa dan kamar istimewa, kamar istimewa ini biasa dikhususkan untuk kaum perempuan bangsawan atau isteri pejabat yang kebetulan nginap di hotel kecil ini, diseberang jalan ada pula sebuah rumah makan, meski tidak besar, tapi menyediakan delapan meja juga.

Kamar istimewa Ban-an-can malam ini seluruhnya diborong Pho-kongcu. Kacung cakap itu bersama seorang pelayan hotel telah menunggu dimuka pintu, melihat Pho-kongcu datang bersama, Lim Cu-jing, lekas dia memburu maju serta menjura, katanya: "Lapor Kongcu, hamba sudah pesan kamar dan hidanganpun sudah siap, silakan Kong-cu masuk kedalam."

Pelayan juga maju menyambut serta membungkuk: "Silakan para Kongcu!"

Pho Kek-pui berpaling, katanya: "Silakan Lim-heng."

Lim Cu-jing balas menyilakan orang, akhirnya mereka masuk bersama keruang depan, tertampak ada beberapa meja, keadaan rada sepi, banyak meja yang kosong, meja yang terbesar dan terletak di tengah tampak sudah siap menghidangkan beberapa macam masakan.

Ceng-ji dan pelayan sama2 melayani mereka makan minum.

Pho Kek-pui silakan Lim Cu-jing minum dan makan sambil ajak bicara: "Lim-heng, kemanakah tujuanmu?"

Lim Cu-jing hirup secangkir arak lalu menyahut: "Ke Jiat-ho."

"Untuk apa Lim-heng ke Jiat-ho?"

"Ada seorang paman Cayhe membuka Piau-kiok disana, khusus mengantar barang keluar perbatasan, Cayhe sudah lama berkelana di Kangouw, selama ini tidak membawa hasil apa2, maka ingin kesana mencari pekerjaan tetap saja."

Pho Kek-pui mengerling, sorot matanya menampilkan rasa gegetun, mulutnya sudah terbuka tapi urung bicara, tapi akhirnya toh dia berkata juga: "Dengan bekal kepandaian Lim-heng yang tinggi ini hanya mau bekerja dalam sebuah Piau-kiok, apakah tidak membenamkan masa depanmu sendiri?"

Lim Cu-jing tertawa, katanya: "Cayhe seorang Kangouw, terpaksa harus mencari hidup dalam percaturan dunia persilatan, bekerja di Piaukiok hanyalah jalan satu2nya yang dapat kutempuh?"

"Walau Siaute baru partama kali ini bertemu dengan Lim-heng, tapi rasanya kita seperti sahabat lama saja, kita sudah saling membahasakan saudara lagi, bila Lim-heng sudi pergi ke kotaraja, Siaute akan bantu mencarikan pgekerjaan disana."

Lim Cu-jing menggeleng, katanya tertawa: "Banyak terima kasih atas kebaikan Pho-heng, kota-raja adalah kota mewah, orang Kangouw seperti diriku ini belum tentu cocok hidup dikota ramai itu."

Ceng-ji angkat poci, dia isi penuh pula cangkir kedua orang.

Pho Kek-pui angkat cangkir dan berkata: "Budi pertolongan Lim-heng yang besar tak berani Siaute bilang akan membalasnya, biarlah kuaturkan secangkir arak ini sekaligus untuk merayakan persahabatan baru kita." -Lalu dia tenggak habis lebih dulu araknya.

Lim Cu-jing mengiringi minum, katanya: "Kita kan sudah bersahabat, kalau Pho-heng selalu bicara soal menolong jiwa segala, apa tidak merikuhkan kiranya?"

Pho Kek-pui tertawa, katanya: "Lim-heng benar, Siaute memang pantas dihukum."

Setelah Ceng-ji mengisi penuh cangkir mereka, kembali dia tenggak habis secangkir, tanyanya: "Di rumah Lim-heng masih punya famili siapa?"

"Di rumah masih ada ibunda seorang saja."

Berputar bola mata Pho Kek-pui, katanya: "Berapa usia Lim-heng, belum berkeluarga bukan?" Setelah dua cangkir masuk perut, mukanya tampak mulai merah.

"Cayhe berusia dua puluh empat, kaum kelana Kangouw, mana berani berumah tangga?"

Tiba2 Pho Kek-pui tertawa pula, katanya: "Lim-heng lebih tua empat tahun dari aku, pantasnya aku panggil Toako padamu." -Sebelum Lim Cu-jing bicara dia menyambung lagi: "Lim-heng begini gagah dan serba pintar, ada sepatah kata ingin ku-utarakan, entah boleh tidak?"

"Pho-heng boleh bicara saja."

"Siaute punya seorang adik perempuan, tahun ini berusia sembilan belas, Siaute tidak berani mengagulkan dia, tapi dapat dikatakan serba pandai dan cukup sempurna, kalau Lim-heng sudi Siaute suka membantumu . . ."

Lekas Lim Cu-jing menggoyang tangan, katanya: "Pho-heng suka berkelakar, Cayhe seorang gelandangan Kangouw., se-kali2 tak berani pikirkan soal nikah segala."

"Kenapa Lim-heng merendahkan derajat sendiri, seorang pahlawan tidak dinilai keturunannya, Siaute sudah bilang Lim-heng pasti bukan orang sembarangan, kalau adikku bisa memperoleh suami segagah kau justeru dia yang untung."

"Pho-heng terlalu memuji, soal ini jangan dibicarakan lagi, Cayhe . . ."

Kebetulan pelayan mengantarkan hidangan pula, Pho Kek-pui mengawasinya dengan tertawa, tapi dia tidak berbicara lebih lanjut. Lekas sekali hidangan susul menyusul disuguhkan pula sampai memenuhi meja. Meski bukan masakan pilihan, tapi di tempat sekecil ini dapat menghidangkan masakan ini, boleh dikatakan lumayanlah.

Menghadani hidangan yang memenuhi meja di depannya, Lim Cu-jing menjadi rikuh, katanya: "Buat apa Pho-heng memesan masakan sebanyak ini?"

"Siaute dapat berkenalan dengan Lim-heng, sungguh beruntung sekali, maka Siaute perlu merayakannya, malah Siaute kuatir hidangan ini tidak memenuhi selera Lim-heng."

Haru Lim Cu-jing dibuatnya, katanya: "Pho-heng terlalu baik padaku."

Pho Kek- pui sudah mulai terpengaruh oleh arak yang ditenggaknya, mukanya tampak merah, matanya mengerling, tanyanya: "Orang jaman dulu sering menggunakan arak untuk mengikat persaudaraan, sejak kini Siaute pandang Lim-heng sebagai sahabat karibku, apakah Lim-heng sudi pandang Siaute sebagai teman sehaluan pula?"

"Pho-heng sudi pandang Cayhe sebagai orang sendiri, sudah tentu kuterima maksud baikmu ini."

Pho Kek-pui berseru girang: "Apakah kau bicara setulus hati?"

"Persahabatan yang sejati harus terukir di dalam hati, sudah tentu Cayhe bicara sejujurnya."

"Bagus, Lim-heng, hayo habiskan secangkir lagi, malam ini Siaute benar2 sangat gembira."

Begitulah mereka makan minum sampai Pho Kek-pui hampir mabuk, menyadari keadaannya yang sudah tak tahan lagi, Pho Kek-pui berkata: "Lim-heng masih kuat minum, tapi Siaute tak tahan lagi, sungguh sayang. Mohon maaf, biarlah Siaute masuk kamar istirahat saja."

"Betul, silakan Pho-heng istirahat saja," ucap Lim Cu-jing.

Ceng-ji dan dua pelayan segera melayani Pho Kek-pui masuk ke kamarnya.

Malam itu tiada terjadi apa2, esok pagi waktu Lim Cu-jing bangun tidur dan membuka pintu, seorang pelayan sudah berdiri di depan pintu dan mengangsurkan sepucuk surat, katanya: "Lim-ya sudah bangun, Pho-kongcu ada pesan supaya hamba menyerahkan sepucuk surat ini langsung kepada Lim-ya."

Lim Cu-jing membaca pada sampul surat itu tertulis: "Disampaikan kepada Lim-heng pribadi".

"Mana Pho-kongcu?" tanya Lim Cu-jing.

"Pho-kongcu ada urusan penting, sebelum fajar telah berangkat lebih dulu," jawab pelayan.

Lim Cu-jing heran, tapi dia manggut2. Pelayan segera berlalu, tak lama kemudian datang pula membawa sebaskom air untuk cuci muka.

Lim Cu-jing membuka sampul surat, dia keluarkan secarik kertas yang ditulis dengan huruf yang bergaya indah dan rapi, bunyi surat itu demikian:

Diaturkan kepada sdr. Cu-jing yang mulia,

Persahabatan di rantau sungguh merupakan pengalaman yang menyenangkan selama hidup Siaute. Karena ada urusan penting, pagi2 Siaute sudah berangkat lebih dulu, kuatir mengganggu tidur Lim-heng, terpaksa kutinggalkan sepucuk surat ini, dalam perjalanan ke Jiat-ho, bila Lim-heng gagal mendapatkan pekerjaan, disini terlampir sepucuk surat untuk seorang pembesar kenalanku. boleh saudara kesana dan mencobanya, kuda seekor kutinggalkan supaya Lim-heng gunakan, demikian pula lima puluh tahil emas ini untuk sangu di perjalanan, untuk ini sudi kiranya Lim-heng menerimanya. Hanya sekian saja yang dapat kuutarakan melalui surat ini,

Salam hangat dari adikmu,

Pho Kek-pui.

Habis membaca surat ini, diam2 Lim Cu-jing membatin: "Dia punya hubungan baik dengan penguasa di Jiat-ho, memangnya dia bangsa Ki-jin?"

Waktu dia merogoh ke dalam sampul, di dalam memang ada lempitan sampul surat yang lain dan bertuliskan: "Disampaikan kepada Hu-tok-jong pribadi."- Nadanya tidak begitu sungkan. Waktu sampul itu dia balik ternyata tidak direkat, keruan Lim Cu-jing semakin heran, maka dia keluarkan surat di dalamnya dan dibaca, tulisannya hanya sebaris yang berbunyi: "Dengan ini kuperkenalkan sahabatku Lim Cu-jing, harap dilayani semestinya, kebaikan yang diterimanya akan kurasakan juga." -Di bawah tulisan ada sebuah cap bergaris melingkar, waktu ditegasi kiranya dua huruf Boan.

Nada surat yang satu ini bila dibanding dengan isi surat yang ditujukan dirinya sungguh sangat jauh bedanya, kalau surat untuk dirinya menyatakan penyesalannya harus berpisah dan betapa tebal rasa persahabatannya, tapi surat yang kedua ini bernada memerintah dari seorang atasan kepada bawahannya.

Pho Kek-pui, memangnya siapa dia?

Segera Cu-jing lempit pula surat itu dan dimasukkan ke dalam sampul terus disimpan dalam kantong, setelah bebenah lalu dia keluar. Rekening hotel jelas sudah dibayar oleh Pho Kek-pui, diluar pelayan sudah menuntun seekor kuda dan menunggunya. Di depan pelana kuda terikat sebuah buntalan warna ungu, bobotnya agak berat, kiranva berisi uang mas.

Meski keberatan terpaksa Cu-jing terima juga barang tinggalan ini, sekenanya dia rogoh saku memberi sekeping uang perak kepada pelayan, kuda terus dibedal melanjutkan perjalanan.

= x x x =

Kota Seng-tek terletak di barat propinsi Jiat-ho, sebuah kota pegunungan yang permai.

Tahun ke-42 kaisar Khong-hi bertahta, dia mendirikan Pi-siok-san-ceng disini, akhirnya dinamakan villa raja di Jiat-ho, bangunannya megah dan angker, letaknya di atas puncak yang menghadap danau dan membelakangi pegunungan yang indah permai.

Meski kota pegunungan, tapi Seng-tek merupakan pusat pemerintahan di daerah ini. Terutama kaisar Khong-hi sering liburan disini, tamasya dan berburu binatang. Kehidupan dalam kota cukup makmur ramai, meski kurang sepadan dibanding kotaraja, tapi tak kalah ramai dan makmurnya dari pada ibu kota propinsi lain.

Kota ini merupakan pusat berkumpulnya suku bangsa Han, Mancu, Monggol, Tibet dan Uigur, orang2 yang berlalu lalang di jalan raya sama mengenakan pakaian adat suku bangsa masing2, meski berbeda bahasa dan tata cara, tapi mereka dapat bergaul dan bersahabat dengan rukun, masing2 berusaha menurut lapangan kerja sendiri, tak pernah terjadi pertikaian.

Jadi kota gunung ini seperti sebuah perkampungan besar dari lima suku bangsa yang campur aduk, keadaan yang luar biasa ini takkan terdapat di-kota2 lain.

Jalan raya yang menjurus ke arah timur terhitung tempat yang paling ramai di seluruh kota, pedagang, restoran, berbagai macam toko serba ada disini. Maklumlah Seng-tek merupakan kota terbesar di daerah Ko-pak-gau, kaum pedagang dari segala penjuru sama berpusat disini, kalau bukan berbelanja juga mesti menginap dan bertamasya di kota pegunungan yang sejuk dan nyaman ini, sudah tentu keadaan dalam kota semakin ramai.

Di jalan raya timur yang agak menjurus ke ujung sana terdapat sebuah gang kecil yang melintang bernama Tam-hoa-pui, agar mengikuti perubahan jaman, gang kecil ini sekarang dinamakan Khek-can oh-hui, karena di gang kecil ini banyak terdapat hotel atau losmen.

Disini ada sembilan hotel besar kecil, yang terbesar adalah Tang sun-can, pintu luarnya saja begitu luas sampai menggunakan tujuh sayap pintu masuk, di dalamnya beberapa lapis pekarangan dan bangunan, bukan saja kamar2 disini cukup baik, pelayanan pun istimewa, Tang-sun-ting-yang terletak dibilangan paling depan merupakan bangunan yang mewah untuk tempat makan minum. tamu2 yang tidak menginap juga boleh makan disini sesukanya. Kalau jalan raya timur ini paling ramai diseluruh kota, maka gang kecil dengan restoran Tang sun-ting dari Tang-sun-can ini adalah paling menonjol dibilangan jalan raya timur ini.

Padahal dalam satu gang kecil itu ada sembilan hotel yang sama membuka restoran pula, konon setelah Tang-sun-ting penuh sesak dan tak kuasa melayani arus tamunya baru tamu2 yang datang belakangan mau masuk ke restoran yang lain, tapi restoran yang lain setiap hari juga selalu penuh sesak.

Usaha dalam satu bidang adalah jamak kalau bersaing, saling sirik dan dengki, tapi cukong atau pemilik Tang-sun-can ini kabarnya mempunyai asal-usul yang tidak sembarangan, bukan saja di seluruh wilayah Jiat-ho dia cukup terpandang, dikalangan pemerintahan juga dia cukup dihargai, hubungan cukup intim dengan para pejabat yang berkuasa dari kelas rendah sampai tingkat tinggi, kabarnya majikan Tang sun-can memang punya tulang-punggung yang kuat di kotaraja.

Seorang tokoh yang kaya raya, yang puya tulang punggung para pejabat lagi adalah jamak kalau tersohor dan dikenal baik oleh khalayak ramai di Jiat-ho, kenyataan justeru tidak demikian. Anehnya, sampaipun pegawai Tang-sun-can sendiri, kecuali tahu majikan mereka dipanggil Kan-loya, segala sesuatu prihal majikannya tiada seorangpun yang tahu. Kan-loya se-olah2 tokoh misterius, orang yang cuma berada dibelakang tabir, maka tiada seorang pun yang tahu dan pernah melihat mukanya.

Oleh karena itu timbul rekaan orang bahwa pemilik Tang sun-can adalah salah seorang pembesar di kotaraja yang menanam modalnya disini, sementara Kan-loya tidak lebih hanyalah salah seorang budak yang dipercaya saja untuk mengurusi perusahaannya. Sudah tentu ini hanya rekaan saja, siapapun tiada yang bisa membuktikannya.

Pada siang hari itu, di depan pintu Tang-sun-can datang seorang laki2 bermuka merah, usianya paling2 baru empat likuran, mengenakan jubah biru yang sudah luntur warnanya, tapi kuda yang ditungganginya ternyata seekor kuda pilihan yang gagah kekar. Sekilas pandang orang akan tahu bahwa dia kaum persilatan.

Pelayan yang bertugas di luar pintu segera menerima tali kendali, sementara seorang pelayan lagi maju menyambut sambil menjura: "Tuan mau menginap atau mau makan siang sekedar melepas lelah?"

"Mau menginap," sahut laki2 muka merah.

"Tuan silakan!" pelayan munduk2 sambil menyilakan tamunya masuk ke dalam.

Laki2 muka merah segera melangkah masuk ke dalam, pelayan berkata pula: "Tuan mau kamar istimewa atau kamar biasa?"

"Kamar istimewa," sahut laki2 muka merah singkat.

Mendengar orang mau menginap di kamar istimewa, semakin lebar tawa pelayan, berulang dia mengiakan, katanya: "Tuan tamu she apa dan datang dari mana."

Laki2 muka merah kurang senang, katanya: "Apa2an, nginap di hotel juga harus laporan segala?"

"Harap tuan tidak salah paham," lekas pelayan menjelaskan, "soalnya pihak berwenang disini semalam mengeluarkan maklumat, barang siapa menginap dihotel harus didaftar, nama dan asal usul serta alamat asalnya, memang demikianlah ketentuan setiap tahun bila tiba musimnya orang berburu, bagi tuan2 tamu lama pasti sudah paham, mungkin tuan baru sekali ini datang ke Jiat-ho?"

"O," laki2 muka merah mengangguk maklum. "Baiklah, aku Lim Cu-jing, datang dari Kanglam. Sudah cukup?"

"Tuan memang suka berterus terang, soalnya daftar harus dilaporkan, harap tuan tidak kecil hati. Mari kutunjukkan kamarnya." pelayan segera bawa Lim Cu-jing memasuki sebuah kamar kamar istimewa dari Tang-sun-can memang betul2 istimewa, bukan saja kamarnya besar luas, jendelanya juga berkaca dan pintu angin serba ukiran, perabotnya mewah dan antik, kain seprei dan bantal guling semuanya baru.

"Bagaimana dengan kamar ini tuan?" tanya pelayan.

Lim Cu-jing manggut, pelan2 dia melangkah masuk. Pelayan segera menuang secangkir teh dan disuguhkan, katanya: "Tuan masih ada pesan apa?"

"Sudah tiada," sahut Lim Cu-jing. Pelayan segera mengundurkan diri sambil menutup pintu dari luar.

Lim Cu-jing merebahkan diri di ranjang sesaat lamanya, kemudian membuka pintu dan keluar menuju ke Tan-sun-ting. setelah makan siang baru dia tanya kasir dimana letak jalan "Rejeki", sudah itu lalu dia berlenggang ke jalan raya.

Letak jalan Rejeki sudah mendekati pintu gerbang kota selatan, disini keadaan agak sepi dan tenang, kecuali ada sebuah toko buku dari toko kelontong, tiada orang lain lagi yang berjualan.

Sebetulaya Lim Cu-jing sudah jauh2 hari mencari tahu keadaan disini, sudah tentu keadaan ini tidak membuatnya heran, sengaja dia mondar-mandir beberapa kali di jalan raya situ baru pelan2 memasuki toko buku, langsung dia menjura kepada seorang tua yang duduk di kursi serta menyapa dengan tawa: "Selamat siang Lotiang."

Laki2 tua itu sedang ber-angin2 sambil mengisap pipa cangklongnya, melihat Lim Cu-jing memasuki tokonya segera dia menyambut sambit tertawa lebar: "Siangkong mau membeli buku apa?"

"Cayhe bukan mencari buku, mohon tanya kepada Lotiang, di jalan Rejeki ini ada sebuah Tin-wan Piaukiok, entah kemana sekarang pindahnya?"

Laki2 tua memandang Lim Cu-jing sekilas lagi, katanya: "Agaknya tuan baru pertama kali datang ke Jiat-ho sini? Tin-wan Piaukiok sudah lama tutup pintu."

Lim Cu-jing pura2 melengak kaget, katanya menegas: "Tin-wan Piaukiok sudah tutup pintu?"

"Kira2 dua bulan yang lalu, Lo-piauthau Lim Tiang-khing meninggal dunia, maka perusahaan itu pun menghentikan usahanya."

Hou-pian-liong jiau (cambuk harimau cakar naga) Lim Tiang-khing terhitung jago silat kenamaan di lima propinsi utara, Liong-hou-ki (panji naga-harimau) dari Tin-wan Piaukiok sudah jauh menjelajah keluar perbatasan selama tiga puluhan tahun dan belum pernah mengalami musibah apapun.

Lim Cu-jing mengunjuk rasa kecewa, katanya sambil menjura: "Kalau begitu banyak terima kasih atas keterangan Lotiang," segera dia mengundurkan diri.

Beruntun dua hari Lim Cu-jing tinggal di hotel, karena iseng, maka dia sering keluyuran di jalan raya.

Hati ketiga tengah hari, waktu dia pulang ke hotel, baru saja dia melangkah masuk, pelayan lantas berlari menghampiri, katanya: "Lim-ya, pagi tadi datang seorang Jin-ya mencarimu, hamba bilang engkau sedang pergi, maka Jin-ya itu bilang siang ini akan datang lagi."

Lim Cu-jing heran, di Jiat-ho boleh dikatakan dia tidak punya seorang kenalan siapapun, maka dia bertanya: "Apa dia tidak memperkenalkan namanya?"

"Tidak, Jin-ya itu cuma bilang teman baikmu."

Lim Cu-jing berpikir katanya. "Aneh, Cayhe selamanya tidak punya teman she Jin."

"Mungkin engkau lupa, untung dia tadi bilang mau datang lagi siang ini."

Lim Cu-jing mengiakan dan kembali ke kamarnya. Pelayan segera mengaturkan minuman.

Lim Cu-jing tidak tahu siapa orang she Jin itu? Untuk keperluan apa pula mencari dirinya? Sehabis minum baru saja dia duduk di kursi di dekat jendela, didengarnya orang mengetuk pintu, pelan2 daun pintu terpentang, kepala pelayan tadi tampak menongol, katanya dengan tertawa: "Lim-ya, tuan Jin itu sudah datang mencarimu lagi."

Waktu Lim Cu-jing berdiri, pelayan sedang berkata pula di luar pintu: "Silakan Jin-ya!"

Maka tertampaklah seorang laki2 berusia sekitar lima puluhan mengenakan jubah sutera panjang warna biru tua melangkah masuk dengan perlahan.

Lim Cu-jing yakin dirinya tidak pernah kenal laki2 ini, tapi karena orang sudah masuk terpaksa dia menyambut kedatangannya. Sebelum Lim Cu-jing buka suara laki2 itu sudah tertawa sambil menjura, katanya: "Tuan ini tentunya Lim-tayhiap?"

"Cayhe memang betul Lim Cu-jing."

"Aku yang rendah Jin Ji-kui, pagi tadi aku sudah kecelik. majikan kami sudah tak sabar lagi, baru saja habis makan siang kami didesak pula datang kemari, syukurlah bisa ketemu dengan Lim-tayhiap. Haha, berhadapan muka lebih jelas dari pada mendengar namanya, sungguh menyenangkan dapat berkenalan dengan Lim-tayhiap."

Melihat sikap orang yang ramah dan berseri, kata2nya mengumpak lagi, diam2 Cu-jing merasa bingung, lekas dia balas menjura dan berkata, "Jin-lotiang terlalu memuji, pagi tadi Cayhe ada urusan dan keluar hingga tuan kecelik, untuk ini Cayhe mohon maaf, mari silakan Jin-lotiang duduk."

Mereka lalu duduk berhadapan di dekat jendela. Lim Cu-jing menuang secangkir teh, katanya: "Jin-lotiang silakan minum."

Jin Ji-kui menerima dengan kedua tangan, tawanya semakin lebar, katanya: "Terima kasih."

"Kedatangan Jin-lotiang entah ada petunjuk apa?" tanya Lim Cu-jing kemudian.

"Cayhe pengurus surat2 di balai kota, atas perintah majikan sengaja kemari menyampaikan salam kepada Lim-tayhiap," kiranya dia adalah sekretaris walikota disini.

Tampak serius muka Lim Cu-jing, katanya: "Kiranya Jin-lotiang adalah sekretaris walikota yang berkuasa, mohon maaf akan kelancangan cayhe ini."

"Ah, kenapa Lim-tayhiap bilang demikian, semalam majikan menerima surat dari istana, baru kami tahu bahwa Lim-tayhiap telah berada di Jiat-ho, maka tadi pagi Cayhe lantas diutus kemari, Jiat-ho memang daerah kecil, tapi Lim-tayhiap adalah tamu terhormat dari majikan kami, apa pun tidak pantas kalau menginap di hotel."

Diam2 Lim Cu-jing, sudah maklum apa yang dinamakan surat kiriman dari istana pasti kiriman Pho Kek-pui. Maka dia balas menjura. katanya: "Berat kata2 Jin-lotiang, kedatangan Cayhe ke Jiat-ho ini, tujuan semula adalah cari pekerjaan pada seorang paman. Ini urusan pribadi yang sepele, mana berani kubikin repot pada majikanmu?"

"Surat dari istana sudah menjelaskan bahwa Lim-tayhiap punya seorang paman yang membuka Piaukiok di Jiat-ho, Lim-tayhiap diundang untuk membantu usahanya. maka Lim-tayhiap tidak mau bekerja di kotaraja. Tapi dengan bekal kepandaian Lim-tayhiap kalau sampai terbenam di kalangan Kangouw kan terlalu sayang, dalam surat majikan kami ada pesan betapapun diharuskan memanfaatkan kehadiran Lim-tayhiap serta bakatmu yang tinggi, waktu Cayhe datang tadi, majikan sudah siap menunggu kedatanganmu, harap sudi kiranya Lim-tayhiap datang dan bicara langsung dengan beliau, bagaimana kalau sekarang juga Lim-tayhiap berangkat?"

Lim Cu jing ragu2 katanya: "Cayhe adalah rakyat kecil . . . ."

Sebelum Cu-jing habis bicara, Jin Ji-kui telah menukas: "Kenapa Lim-tayhiap begini sungkan dan merendah diri, majikan kami adalah anak buah setia yang ditugaskan disini oleh istana, adalah tugas kami untuk mengundang Lim-tayhiap kesana, toh kita sudah terhitung satu keluarga. kalau terlalu banyak bicara akan merenggangkan hubungan malah." -Sampai disini dia mendahului berdiri. "Lim-tayhiap, marilah berangkat sekarang, jangan membuat majikan menunggu terlalu lama,"

Karena didesak, terpaksa Lim Cu-jing ikut berbangkit, katanya: "Jin-lotiang sudah bicara sejelas ini, baiklah Cayhe menurut saja."

Jin Ji-kui ter-gelak2, katanya: "Lim-tayhiap kembali sungkan lagi. Haha, terus terang, entah mengapa, walau baru pertama kali ini kita bertemu, baru bicara beberapa patah kata saja, namun Cay-he merasa Lim-tayhiap sebagai teman lama layaknya, agaknya kita memang berjodoh."

"Malah Jin-lotiang, yang terlalu mengagulkan Cayhe selanjutnya harap Lotiang suka membantu."

Tidak kepalang senang hati Jin Ji-kui karena diumpak, katanya dengan tertawa: "Kita sekali bertemu seperti kenalan lama. selanjutnya memang harus saling bantu." -Tiba2 dia berseru tertahan seperti ingat sesuatu, katanya: "Eh, panggilan Lim-tayhiap tak berani kuterima, usiaku memang lebih tua beberapa tahun, kalau sudi boleh kau membahasakan saudara tua padaku, selanjutnya akan kupanggil kau Lote, bagaimana pendapat Lim-tayhiap?"

"Loko sudi mengalah, baiklah Siaute menurut saja." sahut Cu-jing.

Jin Ji-kui semakin girang, dia pegang kencang tangan Lim Cu-jing, katanya: "Baiklah, selanjutnya aku menjadi saudara tua," -Sembari bicara mereka lantas beranjak keluar.

Tiba diluar tampak seorang perajurit menunggu di luar pintu sambil menuntun kuda. Sementara kacung kuda tadi juga sudah mengeluarkan kuda tunggangan Lim Cu-jing. Serdadu itu bantu Jin Ji-kui naik ke punggung kuda, setelah Lim Cu-jing juga cemplak ke atas kudanya, kata Jin Ji-kui: "Lim-lote, biar Lokoko menunjukkan jalan bagimu." -Lalu dia mengulap tangan.
Serdadu itu segera menarik tali kendali dan jalan di depan, Lim Cu-jing jalankan kudanya pelan2 mengikuti dibelakang. Tidak lama mereka sudah tiba di balai kota.

Tampak di depan pintu gerbang yang megah itu berdiri sebuah tiang bendera besar dan tinggi, bendera kebesaran walikota ber-kibar2 ditiup angin. Di undakan pendopo berjajar enam serdadu yang berdinas jaga, semuanya menyoreng golok dipinggang. kelihatan garang dan gagah.

Setelah turun dari kuda, Jin Ji-kui mengajak tamunya masuk lewat pintu sebelah kanan. Tiba di dalam, mereka berada di sebuah serambi panjang yang menembus ke pintu kedua, di depan pintu berdiri dua serdadu, waktu Jin Ji-kui datang serentak mereka berdiri tegak memberi hormat.

Jin Ji-kui tidak hiraukan mereka, dia terus jalan ke dalam membawa Lim Cu-jing memasuki sebuah serambi yang berpagar kayu warna merah, diluar pagar adalah taman bunga, di bawah emper ada beberapa sangkar yang berisi berbagai macam jenis burung yang sedang berkicau, suasana disini terasa tenteram dan sejuk, harum bunga dan kicau burung terasa mengasyikkan.

Sembari jalan Jin Ji-kui berkata lirih: "To Swe mungkin sudah menunggu di kamar buku, biar langsung kubawa engkau kesana saja."

"Loko, sampai detik ini Cayhe masih belum tahu siapa she dan nama To swe?"

"To swe (walikota) she Pho, satu marga dengan yang kuasa di istana, namanya Bin-thay."

"To-swe sedang memeriksa surat dan menyelesaikan urusan dinas di kamar buku. disanalah letak kantornya pula yang penting, cuma kau boleh tak usah menggunakan adat pemerintahan, biasanya jarang dia terima tamu dikantornya itu, soalnya beliau pandang Lote bukan orang luar lagi."

"Ya, berkat kebijaksanaan To-swe," ucap Lim Cu-jing.

Kebetulan mereka sudah tiba di depan kamar buku, tampak di depan taman bunga ada sebaris rumah2 mungil yang dipajang serba antik dan indah, kerai bambu menjuntai turun, suasana disini sunyi senyap. Disini terdapat empat pintu panjang, tembok memanjang mengelilingi bangunan dan taman, pada setiap pintu berjaga dua orang serdadu.

Jin Ji-kui langsung mendekati pintu, ia bersuara lirih: "lote tunggu dulu sebentar, biar Lokoko masuk memberi laporan." -Setelah itu dia meluruskan kedua tangan, dia membasahi kerongkongan lalu menjura ke arah dalam sambil berseru: "Hamba Jin Ji-kui mengiringi Lim Cu-jing siap menghadap To-swe."

Baru habis dia bicara, tampak seorang pengawal baju hijau menyingkap kerai muncul diambang pintu, sekilas dia lirik kedua orang lalu berkata: "Tay-jin mempersilakan!"

Cepat Jin Ji-kui angkat sebelah tangannya, "Silakan Lim-lote!"

"Cayhe baru datang, silakan Lokoko dulu," ucap Lim Cu-jing.

Jin Ji-kui terpaksa melangkah masuk dulu, kiranya itulah sebuah ruang tamu yang cukup besar dan luas. disini terasa nyaman, pajangan serba serasi, di bagian dalam ada sebuah pintu rembulan, melewati pintu bundar ini baru tiba di kamar, buku. Kebetulan dari balik pintu rembulan ini beranjak keluar seorang laki2 bermuka putih bersih, alisnya gombyok, matanya besar tajam. Orang ini terang adalah walikota she Pho adanya. Dengan pakaian preman yang sederhana, sikapnya kelihatan angker dan berwibawa menandakan bahwa dia seorang yang disegani.

Bergegas Jin Ji-kui membungkuk sembilan puluh derajat, katanya sambil mengunjuk Lim Cu-jing: "Lapor Tayjin, tuan inilah Lim Cu-jing adanya."

Lim Cu-jing ikut menjura, katanya: "Rakyat kecil Lim Cu-jing menyampaikan hormat kepada To-swe Tayjin."

Pho-tu-jong (walikota she Pho yang sekaligus memegang kekuasaan miter) menatap Lim Cu-jing sekian lamanya, mukanya yang putih menampilkan secercah senyum, katanya sambil mengangguk: "Lim-congsu tak usah banyak adat, silakan duduk." -Lalu dia menghampiri kursi besar berlapis beludru dan duduk disana.

Lim Cu-jing menjura pula tanpa bergerak, katanya: "Dihadapan Tay-jin, rakyat kecil macamku ini mana berani . . . ."

sebelum dia habis bicara Pho-tu-jong telah menyela: "Lim-congsu jangan sungkan, disini kamar bukuku, biasanya Lohu tidak suka peradatan, silakan duduk saja."

"Memang," timbrung Jin Ji-kui ber-muka2, "To-swe Tayjin paling suka bebas, Lim-congsu boleh duduk saja untuk bicara."

Setelah menyatakan terima kasih, terpaksa Lim Cu-jing duduk di kursi samping Pho-tu-jong.

"Ji-kui," ucap Pho-tu-jong, "kaupun duduklah."

Jin Ji-kui mengiakan dengan munduk2, lalu duduk di kursi sebelah Lim Cu-jing.

Pengawal tadi segera menyuguhkan dua cangkir minuman terus mengundurkan diri.

Pho-tu-jong mengelus jenggot, katanya dengan tertawa: "Semalam Lohu menerima surat dari istana, baru kuketahui bahwa Lim-congsu telah tiba di Jiat-ho, menurut Thio-po yang mengantar surat, kedatangan Lim-congsu ke Jiat-ho ini berniat mencari kerja di sebuah Piaukiok milik pamanmu? Piaukiok manakah milik pamanmu itu?"

"To-swe harap maklum, paman membuka Tin-wan Piaukiok di Jiat-ho ini."

"O, maksudmu Hou-pian-liong-jiau Lim Tiang-khing." ucap Pho-tu-jong, lalu berpaling ke arah Jin Ji-kui: "Kalau tidak salah Lim piauthau juga pernah bekerja untuk urusan dinas kita."

Jin Ji-kui berdiri dan menjura, katanya: "Ya, Tin-wan Piaukiok pernah dua kali mengawal upeti, malah Lim-piauthau sendiri yang membawanya kemari dari Ki-lin."

"Ehm," Pho-tu-jong bersuara puas, lalu berpaling pula, katanya kepada Lim Cu-jing: "Masih ada sedikit kesan Lohu atas Lim-piauthau, apakah dia keluarga semarga dengan Congsu?"

"Bukan, hanya kebetulan saja beliau sahabat karib ayahku almarhum," sahut Lim Cu-jing.

"Jadi kau bermaksud kerja di perusahaan pengawalan itu?"

"Bulan lima tahun ini beliau pernah tulis surat padaku supaya aku datang ke Jiat-ho, tapi kemarin waktu aku mendatanginya di jalan Rejeki, konon Piaukiok itu sudah tutup usaha, malah Lim-piauthau sudah meninggal dua bulan yang lalu, keluarganya entah pindah kemana."

Sambil mengelus jenggot kambingnya, Pho tu-jong bertanya: "Hok-ti keke sengaja suruh Thio-po menyusul kemari, kepada Lohu dia perkenalkan Lim-congsu karena Lim-congsu memiliki Kungfu yang luar biasa, sayang kalau bakat sebaik ini di-sia2kan, kini Tin-wan Piaukiok sudah tutup usaha, biarlah sementara Lim-congsu bekerja dikantor Lohu saja, biar nanti kuperiksa dan kucarikan lowongan yang sepadan dengan bakat dan kemampuan Lim-congsu."

Waktu mendengar Hok-ti-keke tadi sekilas Lim Cu-jing melengak, baru sekarang dia mengerti surat dari "istana" yang dimaksudkan kiranya dari Hok-ti-keke, hakikatnya dia sendiri tidak tahu dimana Hok-ti (istana marga Hok itu serta siapa pula orangnya. Cuma dia tahu "keke" adalah panggilan bahasa Boan untuk seorang puteri raja).

Mungkinkah Pho Kek-pui? Betul dia she Pho, nama palsu ini sengaja pakai "Kek" yang senada dengan "Ke", jelas yang di maksud adalah "Keke" itu. Tanpa terasa merah muka Lim Cu-jing, sesaat dia jadi bingung dan tak mampu bersuara.

Pho-tu-jong memandanginya dengan tertawa, katanya pula: "Dari Thio-po kudapat tahu bahwa Keke ada menulis surat perkenalan supaya Congsu kemari mencariku, bila seorang gila pangkat dan kedudukan, sebelum kuundang tentu dia sudah mencariku, namun hal ini tidak kau lakukan, dari hal ini dapatlah kunilai bahwa Lim-congsu seorang yang tak acuh terhadap pangkat dan nama, sungguh harus dipuji."

Karena orang sudah bicara blak2an, terpaksa Lim Cu-jing keluarkan surat perkenalan yang ditulis sendiri oleh Pho Kek-pui. Sikapnya sedikit kikuk dan risi, katanya ragu2: "Karena paman sudah meninggal dan menghentikan usahanya, semula aku berniat pulang saja, maka surat perkenalan inipun tidak jadi kusampaikan, kepada To-swe, harap dimaklumi."

Meski dalam hati dia menduga "Keke" yang dikatakan Pho-tu-jong ini adalah Pho Kek-pui, tapi sebelum hal ini terbukti dia tidak berani menyinggung Pho Kek-pui dan tidak berani tanya siapakah Keke itu?

Bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

32.8K 1.5K 57
Novel translate by google translate Author : 怕冷的火焰 Sinopsis : Teman sekelas Zhong Kui tanpa sengaja mendapat produk super-teknologi dari domain asin...
4.2K 268 200
Long Chen, seorang pemuda cacat yang tidak bisa berkultivasi, terus-menerus menjadi sasaran dan diintimidasi oleh sesama ahli waris bangsawan. Setela...
101K 2.3K 54
Bagaimanakah jika tiga orang wanita yang bukan hanya sangat cantik tetapi memiliki kesaktian, kekuasaan, kecerdikan luar biasa mencintai seorang pria...
294K 19.3K 173
Lanjut Bab 581 - 1384 END Ye Qingyu, sejak kematian orang tuanya empat tahun lalu, telah ditertawakan oleh seluruh kota Deer. Sedikit yang orang tah...