Pendekar Kidal (Cin Cu Ling)...

By JadeLiong

279K 6.4K 69

Lenyapnya Tong Thian Jong, tertua keluarga Tong di Sujwan yang terkenal dengan ilmu senjata rahasia dan racun... More

Jilid 1
Jilid 2
Jilid 3
Jilid 4
Jilid 5
Jilid 6
Jilid 7
Jilid 8
Jilid 9
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
Jilid 17
Jilid 18
Jilid 19
Jilid 20
Jilid 21
Jilid 22
Jilid 23
Jilid 24
Jilid 25
Jilid 26
Jilid 27
Jilid 28
Jilid 29
Jilid 30
Jilid 31
Jilid 32
Jilid 33
Jilid 34
Jilid 35
Jilid 36
Jilid 37
Jilid 38
Jilid 39
Jilid 40
Jilid 41
Jilid 43
Jilid 44
Jilid 45
Jilid 46
Jilid 47
Jilid 48
Jilid 49
Jilid 50
Jilid 51
Jilid 52
Jilid 53
Jilid 54
Jilid 55
Jilid 56
Jilid 57
Jilid 58
Jilid 59
Jilid 60
Jilid 61
Jilid 62
Jilid 63
Jilid 64
Jilid 65
Jilid 66
Jilid 67
Jilid 68
Jilid 69
Jilid 70
Jilid 71
Jilid 72
Jilid 73
Jilid 74
Jilid 75
Jilid 76
Jilid 77
Jilid 78
Jilid 79
Jilid 80
Jilid 81
Jilid 82
Jilid 83
Jilid 84
Jilid 85
Jilid 86
Jilid 87
Jilid 88
Jilid 89
Jilid 90
Jilid 91
Jilid 92
Jilid 93
Jilid 94
Jilid 95
Jilid 96
Jilid 97
Jilid 98
Jilid 99
Jilid 100
Jilid 101
Jilid 102
Jilid 103
Jilid 104
Jilid 105
Jilid 106
Jilid 107
Jilid 108
Jilid 109
Jilid 110 (TAMAT)

Jilid 42

2K 59 1
By JadeLiong

Tidak nampak secercah senyum pada wajah keriput Ciok-lolo atau nenek Ciok: "Tidak usah sungkan, lekas kalian naik ke atas."

So-yok aturkan terima kasih dan ajak Kun-gi masuk. Kini mereka berada di sebuah kamar batu berbentuk lonjong persegi, di depan ada undakan batu, di sebelah kiri ada sebuah pintu, agaknya di sanalah kamar tidur Ciok-lolo.

Dari atas dinding So-yok menurunkan sebuah lampion, setelah menyulutnya dia berkata tertawa: "Ling-kongcu, ikutilah aku." Dia mendahului naik ke undakan batu. Undakan batu cukup lebar, ia menenteng lampion, maka tidak perlu bergandeng tangan lagi.

Undakan batu ini melingkar naik ke atas, langkah mereka dipercepat, setiba di ujung undakan kembali mereka dihadang dinding batu.

Diam2 Kun-gi menghitung sedikitnya dia sudah naik lima-enam ratus undakan.

Di depan dinding So-yok menekan dua kali, terdengar suara berkeriat-keriut, muncul sebuah pintu di dinding itu, pandangan mereka menjadi silau oleh benderangnya sinar matahari.

So-yok tiup padam lampion dan menggantung di atas dinding, lalu katanya: "Silakan Toako."

Kun-gi tidak rikuh2 lagi, segera dia melangkah keluar, terasa angin menghembus semilir, semangat seketika terbangkit. So-yok mengintil dibelakangnya, setelah berada diluar, dia menekan dinding dua kali pula, pintu batu pelan2 menutup sendiri.

Di luar pintu batu ini letaknya di sebuah paseban dilamping gunung, paseban ini besar dan megah, enam sakanya berwarna merah cukup sepelukan satu orang. Bunga bertaburan disegala pelosok memenuhi lereng yang terbentang luas, anehnya bunga yang tak diketahui namanya ini beraneka macam jenis dan warnanya, semuanya, mekar semerbak. Tepat di tengah paseban ini dipasang sebuah panggung batu kecil bulat halus mengkilap menyerupai meja bundar dikelilingi kursi bundar yang berbentuk menyerupai gendang, semuanya terbuat dari batu gunung..

Setelah pintu merapat, tampak di pagan batu yang besar itu, setinggi setombak berukir empat. huruf yang berbunyi "Pek-hoa-thing-kip".

"Tempat apakah ini?" seru Kun-gi heran.

"Inilah Pek-hoa-kok (lembah seratus bunga)," sahut So-yok. "Hayolah, setelah membelok ke lamping gunung sana, kau dilarang buka suara lagi."

Lalu dia mendahului jalan menyusuri jalanan yang dilandasi pagar batu.

Sambil mengikuti langkah orang Kun-gi bertanya: "Kenapa?"

"Thay-siang tidak senang kalau ada orang suka bertanya, apalagi beliau sudah berhasil meyakinkan Thian-ni-thong, setelah membelok pengkolan gunung itu, semua pembicaraan kita akan terdengar olehnya."

Kun-gi manggut2. Langkah mereka dipercepat, setelah keluar dari pengkolan gunung, seluas mata memandang lembah ini bagai bertaburkan bunga, beraneka warnanya, diantara bayang2 pepohonan sana ada bangunan rumah bersusur, dengan berbagai bentuk artistik, jauh di atas sana, seperti ada jembatan gantung yang menghubungkan satu rumah berloteng dengan bangunan megah yang lain. Sungguh pemandangan permai yang menyegarkan semangat dan perasaan.

Tak tertahan Kun-gi menarik napas panjang, katanya memuji: "Bile Cayhe tidak tahu tempat ini adalah tempat semayam Thay-siang, melihat keadaan lembah yang permai dan teratur rapi ini tentu membayangkan bahwa pemiliknya pasti seorang aneh dan memiliki kepandaian yang jauh melebihi orang."

Mendengar Kun-gi buka suara. So-yok tampak kaget, mau mencegah tapi tak sempat lagi. Syukurlah yang didengar adalah kata2 pujian, barulah lega hatinya.

Tapi pada kejap lain ia mendengar seseorang mendengus sajup2 dari kejauhan.

Suara dengus ini kedengarannya sangat jauh, tapi seperti juga sangat dekat sehingga sukar orang meraba dari mana datangnya.

Yang terang So-yok berubah air mukanya, seketika dia bergidik, katanya lirih: "Lekaslah!" Bergegas dia masuk ke lembah sana.

Sudah tentu Kun-gi tahu suara dengus tadi dikeluarkan seorang yang memiliki Lwekang tinggi dan dia pasti Thay-siang adanya.

Ucapan Kun-gi tadi juga diutarakan secara spontan karena melihat panorama lembah yang mempesona ini, padahal kata2 pujiannya diucapkan setulus hati, memangnya kenapa orang mendengus?. Ini berarti bahwa jiwa Thay-siang rada nyentrik, wataknya, pasti aneh dan menyendiri, tak heran Pek-hoa-pangcu dan So-yok berpesan wanti2 dihadapan Thay-siang nanti supaya dirinya tidak banyak bicara kalau tidak ditanya.

Cepat sekali mereka sudah tiba di depan sebuah rumah berloteng yang dibangun amat megah. So-yok berhenti, katanya menoleh: "Ikutilah aku." Dia bawa Kun-gi mesuk ke sebuah kamar tamu yang bentuknya agak kecil, katanya pula: "Ling-kongcu duduklah menunggu disini, aku akan masuk memberi laporan kepada Thay-siang, sebentar ku-kembali."

"Hu-pangcu boleh silakan," ucap Kun-gi.

Tanpa bicara lagi So-yok beranjak keluar. Seorang diri Kun-gi duduk di kursi, dia kira So-yok akan segera kembali, tak tahunya ditunggu setanakan nasi masih belum keluar, lambat laun hatinya menjadi gundah dan tidak tenteram, sambil menggendong tangan dia mondar-mandir melihat lukisan di dinding.

Cukup lama juga dia meneliti setiap lukisan itu baru didengarnya langkah ringan seseorang mendatangi. Cepat Kun-gi membalik badan, tampak yang datang adalah seorang gadis berpakaian kain kembang.

Usia gadis cilik ini sekitar 12-an, tapi wajahnya tampak ayu jenaka, rambutnya dikuncir, bagian depannya dipotong poni, bibirnya yang merah delima tampak mungil dan mengulum senyum, kelihatannya masih kanak2. Waktu dia melangkah masuk kebetulan Kun-gi membalik badan, biji mata yang jeli dan bening itu seketika menatap Kun-gi dengan tajam, langkahnya pun berhenti, pipinya yang putih halus seketika bersemu merah, cepat dia menunduk malu.

Maklumlah, sejak kecil nona ini dibesarkan di lembah nan sunyi dan putus hubungan dengan dunia luar, kapan dia pernah melihat seorang laki2, apalagi laki2 seperti Kun-gi yang cakap ganteng ini, karena malu, hampir saja dia tidak kuasa berbicara.

Kun-gi malah bersuara dulu dengan tertawa: "Apakah Hu-pangcu suruh nona memanggil Cayhe?"

Setelah tenang hatinya baru gadis cilik itu manggut2 dengan malu2, katanya: "Jadi kau ini Ling-kongcu? Thay-siang mengundangmu."

"Silakan nona tunjukkan jalan," kata Kun-gi.

Sambil menunduk gadis cilik itu membalik terus melangkah pergi, katanya: "Marilah Ling-kongcu ikut aku." . .

Keluar dari ruang tamu dia belok ke kiri adalah serambi panjang yang menjurus ke lembah di seberang sana, pemandangan menghijau permai, air terjun mencurah deras di ujung timur sana, seluruh pemandangan didasar lembah terlihat amat jelas.

Pada ujung puncak di atas lembah itulah dibangun rumah lima tingkat, yang ditengah merupakan pendopo luas dari besar, kelihatannya seperti ruang sembahyang, tepat di tengah ada sebuah meja panjang dengan patung Hud-co yang terbuat dari batu jade putih. Kiranya Thay-siang yang diagungkan itu beragama Buddha.

Gadis berpakaian kembang membawa Ling Kun-gi masuk ke ruang sembahyang, terus menuju ke pintu di sebelah timur dan berhenti di depan sebuah kamar, dari luar kerai dia membungkuk serta berseru. "Lapor Thay-siang, Ling-kongcu telah tiba!"

Terdengar seorang perempuan tua bersuara dari dalam: "Suruh dia masuk."

Gadis baju kembang segera menyingkap kerai dan berkata lirih: "Silakan masuk, Ling-kongcu."

Sedikit membungkuk badan Kun-gi melangkah masuk. Kiranya disinilah Thay-siang bermukim, di sebelah sana adalah sebuah dipan yang berukir, bantal guling lengkap, serba baru bersih dan rapi, di atas dipan inilah duduk seorang perempuan berpakaian serba hitam. Wajahnya berkeriput tua, tulang pipinya sedikit menonjol, kulit badannya putih, rambutnya bercampur uban, tapi disisir rapi berminyak, jidatnya terikat selarik kain hitam bersulain indah dan tepat diantara kedua alisnya dihiasi sebutir mutiara.

Melihat sikap duduk orang yang kelihatan angker berwibawa meski wajahnya tidak kelihatan marah, jelas perempuan tua inilah Thay-siang-pangcu dari Pek-hoa-pang.

So-yok tampak berdiri dibelakangnya, kedua tangan lurus ke bawah, sikapnya kelihatan amat hormat dan patuh. Di kedua sisi dipan ada delapan kursi, tepat di tengah ada sebuah meja segi delapan, di atas meja terletak semangkuk getah beracun dan sebotol air obat buatan Kun-gi.

Tak heran setelah So-yok masuk sekian lamanya baru mengundang dirinya, kiranya ia hendak mencoba dulu kasiat obatnya dihadapan. Thay-siang.

Baru saja Kun-gi melangkah masuk, suara So-yok lantas berkumandang: "Ling-kongcu, inilah Thay-siang dari Pang kita." Karena dia berdiri dibelakang Thay-siang, maka dengan leluasa dia bisa memberi kedipan mata dan monyongkan mulut kepada Ling Kun-gi, maksudnya supaya Kun-gi lekas menyembah.

Kun-gi justeru anggap tidak tahu, ia maju dua langkah dan hanya menjura dengan membungkuk badan, serunya: "Cayhe Ling Kun-gi, menyampaikan hormat kepada Thay-siang."

Thay-siang duduk diam saja, kedua biji matanya setajam ujung pisau menatap Kun-gi lekat2, se-akan2 dari wajah orang dia hendak menemukan apa2, sesaat lamanya baru dia berkata: "Kau duduklah!"

"Dihadapan Thay-siang, mana Cayhe berani duduk?"

Terunjuk rasa dongkol pada sinar mata Thay-siang, suaranya lebih dingin: "Kusuruh kau duduk, maka kau harus duduk, ada pertanyaan akan kuajukan."

Sorot mata So-yok tampak gelisah dan tidak tenteram, beberapa kali dia berkedip kepada Kun-gi. Maksudnya menganjurkan supaya anak muda itu menurut dan lekas duduk.

Kun-gi tertawa dengan tabah, katanya: "Terima kasih." Ia lantas duduk dikursi sebelah kiri, lalu bertanya: "Thay-siang memanggil, entah ada keperluan apa, Cayhe siap mendengarkan."

Tertampak rasa dongkol pada rona muka Thay-siang, katanya tidak sabar, "Kau she Ling? Kelahiran mana?"

"Ya, hamba dilahirkan di Cin-ciu dan sejak kecil tinggal disana."

"Siapa nama ayahmu?"

Kun-gi heran, agaknya Thay-siang amat memperhatikan riwayat hidupnya, malah diwaktu mengajukan pertanyaan matanya menatapnya lekat2, mimiknya menunjukkan sikap yang kurang bersahabat. Memangnya dirinya pernah melakukan kesalahan terhadapnya? Tapi dengan kalem dia menjawab: "Ayah bernama Ling Swi-toh." .

"Ling Swi-toh?" Thay-siang mengulang nama itu dengan suara lirih, lalu bertanya pula: "Ayahmu sudah marhum? Berapa tahun dia meninggal?"

"Waktu ayah wafat aku berumur tiga tahun, sampai kini sudah 19 tahun."

"Di waktu hidupnya apa kerja ayahmu?" pertanyaannya semakin aneh dan ber-belit2, So-yok yang berdiri dibelakangnya pun melongo heran.

"Ayah hidup bercocok tanam dan belajar membaca."

"Siapa pula keluargamu?"

"Hanya ibunda seorang saja."

"Ibumu she apa?"

Pertanyaan semakin jelas dan teliti, mau tidak mau timbul kewaspadaan Ling Kun-gi, maka sekenanya dia menjawab: "Ibu she Ong." Setelah menjawab baru hatinya mencelos, mendadak ia ingat pernah memberitahukan kepada Pek-hoa-pangcu bahwa ibunya she Thi, untung Thay-siang tidak memperhatikan....

== Halaman Hilang ==

dijaman ini, tokoh Bu-lim yang tiada bandingannya pula, sudah lama Losin mengaguminya, sayang tiada jodoh bertemu, Ling-siangkong adalah murid kesayangan Taysu, Losin merasa beruntung dapat bertemu denganmu."

Ling Kun-gi berdiri dan menyatakan tidak berani dan bersyukur juga. Dilihatnya So-yok yang berdiri dibelakang Thay-siang menunjuk mimik aneh, kaget, heran, tidak percaya dan berbagai perasaan yang campur aduk, selamanya belum pernah dia mendengar Thay-siang bicara seramah ini, apalagi merendah diri terhadap orang lain, lambat laun sorot matanya yang menatap Ling Kun-gi berubah menjadi tatapan melamun, wajahnya pun berseri tawa.

Lebih lanjut Thay-siang berkata: "Ling-siangkong berhasil membuatkan obat penawar getah beracun itu, sungguh Losin amat senang dan berterima kasih." Setelah batuk2 kering dengan sikap rikuh dia menambahkan-. "Bolehkah Ling-siangkong sekalian memberitahu resep obatnya kepada Losin?"

Sebetulnya hal ini sudah dalam pikiraan Kun-gi, cuma sejauh ini dia belum berhasil menemukan alasan apa untuk menolak, apalagi dia memang tidak punya resep segala, sesaat dia jadi ragu2, sahutnya: "Ini. . . . ."

So-yok segera menyeletuk: "Thay-siang, agaknya Ling-siangkong sungkan bicara, biar Tecu saja yang menjelaskan."

"Baiklah, coba katakan," ucap Thay-siang sambil menoleh.

Berseri tawa So-yok, Kun-gi dipandangnya lekat2, katanya: "Tecu pernah tanya soal resep itu kepada Ling-kongcu, katanya keselamatan jiwa raganya ditempat kita ini susah diramalkan, kalau resep obat diserahkan, dia kuatir kita mengambil tindakan yang merugikan dirinya."

Ternyata Thay-siang tidak marah, malah manggut2, katanya: "Liku2 kehidupan Kangouw memang serba-serbi, penuh kejahatan dan berbahaya, memang cukup beralasan kekuatiran Ling-siangkong, tapi selama hidup ini Losiu sudah patuh akan ajaran agama, Pek-hoa-pang yang kudirikan inipun khusus untuk menghadapi kelaliman Hek-liong-hwe, mungkinkah sampai melakukan perbuatan sekotor dan sekejam itu?"

"Tecu juga bilang demikian," ujar So-yok.

Kun-gi menjura, katanya: "Harap Thay-siang tidak salah paham, sebetulnya tiada maksud apa2 Cayhe terhadap Pek-hoa-pang kalian, Cuma. . sebetulnya. . . . ."

"Ling-siangkong ada kesulitan apa, silakan bicara saja," tatap Thay-siang dengan mata bersinar.

Dasar otak Kun-gi memang cerdas, tiba2 berkelebat suatu ilham dalam benaknya, seketika terpikir olehnya jawaban atas pertanyaan orang. Soalnya wajah Thay-siang tadi berubah dan kini sikapnya pun berganti ramah tamah setelah dirinya menyebut nama kebesaran gurunya, biarlah soal resep obat ini dikatakan berada ditangan gurunya.

Maka dia lantas berkata sambil sedikit membungkuk: "Harap Thay-siang maklum, resep obat ini diperoleh guruku dari seorang pendeta asing dari benua barat, memang khusus uutuk memunahkan segala racun aneh dan jahat di kolong langit ini, Cayhe hanya bisa membuat obat itu menurut catatan, soal resepnya kalau belum memperoleh izin langsung dari guru, Cayhe tidak berani membocorkan kepada siapapun, untuk ini harap Thay-siang suka memaafkan." Alasannya memang tepat dan dugaan Kun-gi ternyata tidak meleset.

Mendengar resep obat itu milik Hoan-jiu-ji-lay yang dirahasiakan, Thay-siang tidak tanya lebih lanjut, katanya dengan tertawa lebar: "Ling-siangkong tidak usah rikuh, setiap aliran mempunyai ilmu yang dirahasiakan, Losiu takkan main paksa, untung Ling-siangkong sudah bikin dua guci besar obat penawar itu, kukira cukup berkelebihan untuk digunakan."

"Thay-siang," sela So-yok, "Ling-siangkong bilang, dua guci obat hasil buatannya itu hanya berkasiat selama tiga bulan saja."

"Ya, itu dapat dimengerti," ujar Thay-siang, "kalau obat itu dibuat dari air, maka tidak boleh disimpan lama2." Mendadak ia seperti teringat sesuatu, katanya pula: "Ada sebuah permintaan Lo-sin, entah Ling-siangkong sudi memberi persetujuan tidak?"

"Berat kata2 Thay-siang," Kun-gi merendah, "Thay-siang ada pesan apa, silakan katakan."

Berkata Thay-siang dengan kalem: "Pek-hoa-pang aku yang mendirikan, maka seluruh anggota dimulai dari Pangcu sampai para dayang dan semua pembantunya adalah murid-muridku semua, tapi Pang kita juga ada puluhan Hou-hoat-su-cia, mereka adalah murid2 dari aliran ternama yang berhasil kami undang. Ling-siangkong didikan Hoan-jiu-ji-lay, soal watak dan kepandaian silat jelas tidak perlu diragukan lagi, tapi Losiu juga tahu, Pek-hoa-pang sebagai organisasi kecil terdiri dari kaum hawa ini mungkin sukar untuk menahan Ling-siangkong disini meski kami mengangkatmu sebagai Hou-hoat-su-cia segala, Tapi terus terang, dalam lubuk hatiku amat ingin bantuan Ling-siangkong terhadap Pek-hoa-pang, maka menurut hemat Losin, bagaimana kalau Ling-siangkong kita angkat sebagai kepala dari para Houhoat itu, entah bagaimana pendapat Ling-siangkong?"

Continue Reading

You'll Also Like

30.5K 4.1K 200
Dalam hal potensi: Bahkan jika kamu bukan jenius, kamu bisa belajar Teknik Misterius dan keterampilan bela diri. Kamu juga dapat belajar tanpa guru...
427K 36.9K 57
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
4.2K 268 200
Long Chen, seorang pemuda cacat yang tidak bisa berkultivasi, terus-menerus menjadi sasaran dan diintimidasi oleh sesama ahli waris bangsawan. Setela...
59.5K 10.3K 40
Edisi BeckFreen...