Pendekar Kidal (Cin Cu Ling)...

By JadeLiong

279K 6.4K 69

Lenyapnya Tong Thian Jong, tertua keluarga Tong di Sujwan yang terkenal dengan ilmu senjata rahasia dan racun... More

Jilid 1
Jilid 2
Jilid 3
Jilid 4
Jilid 5
Jilid 6
Jilid 7
Jilid 8
Jilid 9
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
Jilid 17
Jilid 18
Jilid 19
Jilid 20
Jilid 21
Jilid 22
Jilid 23
Jilid 25
Jilid 26
Jilid 27
Jilid 28
Jilid 29
Jilid 30
Jilid 31
Jilid 32
Jilid 33
Jilid 34
Jilid 35
Jilid 36
Jilid 37
Jilid 38
Jilid 39
Jilid 40
Jilid 41
Jilid 42
Jilid 43
Jilid 44
Jilid 45
Jilid 46
Jilid 47
Jilid 48
Jilid 49
Jilid 50
Jilid 51
Jilid 52
Jilid 53
Jilid 54
Jilid 55
Jilid 56
Jilid 57
Jilid 58
Jilid 59
Jilid 60
Jilid 61
Jilid 62
Jilid 63
Jilid 64
Jilid 65
Jilid 66
Jilid 67
Jilid 68
Jilid 69
Jilid 70
Jilid 71
Jilid 72
Jilid 73
Jilid 74
Jilid 75
Jilid 76
Jilid 77
Jilid 78
Jilid 79
Jilid 80
Jilid 81
Jilid 82
Jilid 83
Jilid 84
Jilid 85
Jilid 86
Jilid 87
Jilid 88
Jilid 89
Jilid 90
Jilid 91
Jilid 92
Jilid 93
Jilid 94
Jilid 95
Jilid 96
Jilid 97
Jilid 98
Jilid 99
Jilid 100
Jilid 101
Jilid 102
Jilid 103
Jilid 104
Jilid 105
Jilid 106
Jilid 107
Jilid 108
Jilid 109
Jilid 110 (TAMAT)

Jilid 24

2.3K 58 0
By JadeLiong

Segera bisikan suara itupun menerangkan lebih lanjut: "Thian-to-tiang-ho adalah sejurus ilmu pedang dari Bu-tong-pay, kau bisa mainkan tidak? Yaitu pedang tusuk lurus ke depan, lalu ujung pedang mendongak ke atas terus disendal saja begitu."

"Segampang itu?" seru Cu Jing tidak percaya.

"Kan maksudmu memisah? sudah tentu semakin gampang semakin bermanfaat. Ai, buyung, jangan banyak bertanya, cukup asal kau bergaya dan ber-pura2 saja, biar aku yang membantumu."

"Umpama berhasil memisah mereka, apakah mereka mau dilerai?" tanya Cu Jing.

"Setelah mereka kau pisah, bekerjalah lebih lanjut menurut petunjukku."

Dengan seksama Cu Jing dengarkan suara orang, terasa serak dan rendah berat, ia tahu pasti seorang Cianpwe kosen yang aneh tabiatnya, maka dia manggut2, katanya: "Baiklah, aku akan bekerja menurut petunjukmu " Setelah berpikir lalu dia bertanya pula "Apakah nanti kau tidak akan unjukkan dirimu?"

"Kau Buyung ini mewakilkan aku bekerja kan sudah cukup, muncul atau tidak bagiku sama saja. Nah, lekas maju, ingat jangan pedulikan jurus serangan apapun yang tengah mereka lancarkan, kau tetap gunakan jurus Thian-to-tiong-ho saja."

Dengan heran dan penuh tanda tanya Cu Jing keluarkan pedang terus mendekati gelanggang.

Waktu itu pertempuran Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa sudah mencapai babak genting menentukan, pedang mereka dengan berlomba kecepatan merobohkan lawan, lingkaran sinar pedang laksana kelebat kilat menyambar.

Ui-san kiam-hoat mengutamakan ketenangan dan kemantapan. Sebaliknya Liok-hap-kiam dari keluarga Kho yang tersohor mengutamakan tusukan dan menutuk, oleh karena itu murid didiknya semua menggunakan batang pedang yang tipis dan panjang, begitu ilmu pedang dikembangkan, bagai bintik2 sinar perak bertaburan. Konon kalau Liok-hap-kiam-hoat diyakinkan sampai taraf tertinggi, sejurus gerakan pedang sekaligus dapat menusuk telak 36 Hiat-to musuh, maka dapatlah dibayangkan betapa cepat gerak serangannya.

Kira2 tujuh kaki diluar gelanggang pertempuran Cu Jing sudah merasa silau dan tersampuk oleh angin kencang yang membendung langkahnya, bayangan orang dan sinar pedang sukar dia bedakan, sesaat ia berdiri melongo tak tahu apa yang harus dia kerjakan?

Baru saja ia merandek, suara tadi lantas mendesaknya: "Sudah kubilang jangan kau pedulikan mereka. Nah, bersiaplah, angkat pedangmu dan cungkil." - Begitu suara orang masuk telinga, tanpa kuasa tangan kanan Cu Jing yang memegang pedang tiba2 bergerak terus menyongkel ke depan.

Kalau dituturkan memang aneh, dengan serampangan pedangnya menyongkel, tapi justru menimbulkan kejadian aneh. Terdengar "trang-tring" dua kali, kedua batang pedang Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa yang sedang saling labrak dengan sengit itu lengket seperti tersedot oleh besi sembrani, semuanya menindih pada ujung pedang Cu Jing tanpa bisa bergeming lagi.

Keruan kedua orang sama terbelalak kaget, mereka kerahkan tenaga dan menarik sekuatnya, tapi pedang mereka seperti melengket di ujung pedang Cu Jing, tak kuasa mereka menariknya.

Merah mata Ban Jin-cun, serunya: "Cu-heng, aku takkan hidup berjajar dengan dia, lebih baik jangan kau turut campur."

Kho Keh-hoa juga menggerung murka, teriaknya:. "Apa2an maksud saudara ini?"

Pada saat itulah, suara tadi mengiang pula ditelinga Cu Jing: "Buyung, sekarang beritahu mereka bahwa atas perintah gurumu, kau disuruh melerai perkelahian mereka."

Cu Jing merasa heran, batinnya: "Masa kedua orang ini juga tidak melihat bahwa dibelakangku ada orang?" Maka sambil menuding pedangnya ia berkata: "Kalian harap berhenti dulu, atas perintah guru Cayhe sengaja kemari untuk melerai permusuhan keluarga kalian."

"Cu-heng," kata Ban Jin-cun, "Sakit hati kematian orang tua setinggi langit, ini bukan permusuhan biasa, buat apa Cu-heng mencampuri urusan ini."

"Betul," jengek Kho Keh-hoa, "aku pantang berdiri sejajar di dunia ini dengan dia, kalau bukan aku yang gugur, biar dia yang mampus, tak usah orang lain melerai segala."

Cu Jing tersenyum, katanya: "Kalian sama2 menuduh ayah lawan menyerbu rumah kalian serta membunuh segenap anggota keluarganya, kukira dalam peristiwa ini ada latar belakang .. . .."

Tiba2 suara tadi terkekeh di pinggir telinganya, katanya: "Tepat sekali ucapanmu Buyung."

"Memang betul omongan Cu-heng, ayahku almarhum sudah meninggal setahun yang lalu karena sakit, mana mungkin memimpin orang menyerbu ke Ciok-bun segala, keparat ini hanya membual belaka."

"Kaulah yang membuat," maki Kho Keh-hoa, "Sudah terang bapakmu membawa gerombolan penjahat menyergap rumah kami, seluruh keluargaku tiada yang ketinggalan hidup, ayahku jelas meninggal di bawah pedang bangsat she Ban, mana mungkin membawa orangnya menyerbu ke Ui-san, jelas kau memfitnah dan cari alasan belaka untuk menista pihak kami, aku bersumpah takkan hidup berdampingan dengan keluarga Ban kalian. Keparat, lihat pukulan!"

Karena pedang mereka lengket dengan pedang Cu Jing dan tak kuat ditarik kembali, saking murka Kho Keh-hoa lantas ayun kepalan menggenjot ke muka Ban Jin-cun, Sudah tentu Ban Jin-cun tak mau kalah, jengeknya: "Memangnya aku takut padamu?" iapun ayun tangan kiri balas menyerang.

Jarak kedua orang cukup dekat, maka kedua pihak lantas beradu pukulan. Tapi begitu kepalan saling sentuh, seketika mereka merasakan sesuatu yang ganjil, hakekatnya kepalan sendiri tidak bersentuhan dengan kepalan lawan, ditengah antara mereka se-olah2 ada lapisan lunak yang tidak kelihatan membendung pukulan mereka, musuh jelas terlihat didepan mata, tapi pukulan sukar mencapai sasaran. Hati mereka sama2 mencelos, pikirnya: "Entah siapa orang she Cu ini? Usianya masih begini muda, tapi membekal Lwekang begini tinggi."

Sudah tentu Cu Jing juga menyaksikan dengan jelas, dia tahu bahwa tokoh dibelakang dirinya yang memisah pukulan kedua orang, dan anehnya mereka berdiri disamping dirinya, kenapa tidak melihat tokoh yang ada dibelakangnya.

Maka didengarnya suara tadi berkata pula: "Nah, sekarang boleh kau turunkan pedangmu, katakan: "urusan ada pangkal ujungnya, utang bisa ditagih, kalau mau berkelahi juga boleh setelah terang persoalannya,"

"Harap kalian berhenti dulu," kata Cu Jing menurut petunjuk itu, "utang jiwa bayar jiwa, utang uang harus ditagih, kalau mau berkelahi boleh juga, tapi urusan harus dibikin terang lebih dulu." Lalu pelan2 dia turunkan pedangnya.

Begitu pedangnya ia tarik, kedua orang segera merasa longgar, cepat mundur seraya menurunkan pedang.

Kata Ban Jin-cun: "Cara bagaimana Cu-heng hendak membikin terang urusan kami?"

Belum Cu Jing menjawab, suara tadi sudah berkata: "Suruh mereka menceritakan kejadian yang menimpa keluarga mereka masing2?"

Cu Jing lantas berkata: "Siaute kemari atas perintah guru, soalnya urusan kalian terlalu janggal, banyak liku2 yang mencurigakan, sudikah kalian menuturkan dulu peristiwa yang menimpa keluarga kalian masing2?"

Terpaksa kedua orang memasukkan pedang kedalam sarung serta mundur lagi selangkah. Ban Jin-cun lantas berkata: "Boleh Cu-heng suruh dia menjelaskan lebih dulu."

Kho Keh-hoa menyeringai dingin: "Boleh saja, kenyataan terpampang di depan mata, memangnya kau dapat mungkir?"

"Marilah kita duduk disini," ajak Cu Jing.

Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa menurut, mereka bersimpuh diatas rumput tanpa bicara.

Terdengar suara tadi membisiki pula: "Suruhlah bocah she Kho tuturkan pengalamannya."

"Kho-heng," kata Cu Jing segera, "boleh kau bercerita lebih dulu."

Terpancar sinar beringas dari mata Kho Keh-hoa menatap Ban Jin-cun, katanya penuh kebencian.

"Pada suatu malam kira2 setengah bulan yang lalu, baru kentongan pertama, tanpa sengaja pamanku kedua melihat bayangan puluhan orang bergerak di bawah gunung dan ber-lari2 naik ke puncak, waktu itu jaraknya masih beberapa li dari rumah kami, paman tidak tahu pendatang kawan atau lawan? Cepat ia memberitahukan kepada ayah disamping memberi peringatan kepada semua orang untuk bersiaga. Di bawah pimpinan paman sendiri bersama beberapa Centeng sembunyi di depan rumah, kami ingin tahu siapakah pendatang itu . .. . ." sekaligus bicara sampai disini baru ia berganti napas: "malam itu kebetulan tanggal 14, bulan terang benderang, baru saja aku bersama paman dan lain menyembunyikan diri, puluhan orang itupun sudah tiba, tampak yang berlari paling depan adalah seorang laki2 tegap bermuka merah berjambang hitam, mengenakan baju hijau, menenteng pedang beronce kuning, begitu melihat orang ini paman lantas bersuara heran, cepat dia melompat keluar menyongsong, serunya: 'Ban bengcu malam2 berkunjung, Siaute Kho Cin-sing terlambat menyambut, harap dimaafkan'. Dari seruan paman itu aku baru tahu bahwa pendatang adalah Thok-tah-thian-ong Ban Tin-gak, yang dulu pernah menjabat Bu-lim Bengcu, maka akupun melompat keluar ikut menyambut."

Belum orang selesai bicara tiba2 Ban Jin-cun menyengek: "Kukira tidak benar, ayahku sudah meninggal setahun yang lalu, mana mungkin orang yang sudah mati setahun lamanya muncul di Ciok-bun?"

"Apa yang kututurkan adalah kejadian yang nyata," teriak Kho Keh-hoa gusar. "Memangnya aku mengarang cerita bohong?"

Terdengar suara tadi berkata: "Suruhlah bocah she Ban itu tidak menyela lagi, dengarkan dulu cerita bocah she Kho sampai selesai."

Cu Jing lantas berkata: "Kalian tidak usah ribut, disinilah kejanggalan yang kumaksud tadi, sementara harap saudara Ban bersabar, dengarkan dulu cerita saudara Kho sampai habis."

Kho Keh-hoa meneruskan ceritanya: "Melihat pamanku, Ban Tin-gak manggut2 sambil balas hormat, tanyanya: 'Kho ji-heng jangan sungkan, apakah kakakmu dirumah?' Paman mengangguk sambil berpesan padaku: 'Keh-hoa, lekas lapor pada Toa-ko, katakan Ban-bengcu dari Ui-san datang.' -Belum lagi aku sempat mengiakan Ban Tin-gak telah berkata pula dengan nada berat: 'Tak usahlah.' Belum habis dia bicara, mendadak ia melolos pedang terus menusuk paman, karena sedikitpun tidak bersiaga dan tidak menduga, kontan paman tertusuk mati . . . ."

"Waktu itu saudara Kho kan berdiri dibelakang pamanmu, kau tidak sempat turun tangan?" tanya Cu Jing.

"Waktu paman bicara padaku, aku sudah melangkah setindak, jadi berdiri disamping paman, tapi tusukan Ban Tin-gak memang amat cepat, apalagi kejadian teramat mendadak dan diluar dugaan, baru saja aku mendengar suara pedang terlolos, sinar pedang sudah berkelebat laksana kilat, tahu2 pamanpun roboh mandi darah, keruan kagetku bukan main, waktu aku mendelik ke arah Ban Tin-gak, bangsat tua itu menyeringai, katanya: 'Lohu mengampuni jiwamu, supaya keluarga Kho kalian tidak putus turunan.' Menyusul telapak tangan terayun ke arahku . . . ."

"Tanpa membalas saudara Kbo lantas terluka?" tanya Cu Jing.

Gemeretak gigi Kho Keh-hoa. "Entah gerakan apa yang digunakan bangsat tua itu? Hanya terasa dadaku seperti dipukul godam, badan lantas mencelat tiga tombak jauhnya, pikiran masih sadar, tapi tenaga habis badan lunglai, Lwekang dan kepandaianku telah punah dalam sekali pukul tadi, maka dengan mata terbelalak aku hanya bisa mengawasi bangsat tua itu pimpin anak buahnya menerjang ke dalam rumah, keadaan menjadi kacau-balau, suara benturan senjata berkumandang, sungguh mengenaskan 28 jiwa penghuni perkampungan kami itu tiada satupun yang ketinggalan hidup oleh sergapan mendadak ini, ayah-bunda mati tertusuk pedang . . . ."

Terdengar suara tadi berkata: "Suruhlah dia berpikir cermat, adakah bagian ceritanya yang ketinggalan?"

Cu Jing segera menurut, tanyanya, "Coba saudara Kho pikir lagi lebih seksama, adakah kejadian lain yang terlepas dari ceritamu tadi."

Kho Keh-hoa berpikir sejenak, katanya: "Tiada lagi, kerja gerombolan itu cukup rapi, di antara 28 korban yang meninggal, kecuali ayah bundaku yang terbunuh oleh pedang, yang lain terluka oleh berbagai macam senjata. ada senjata rahasia beracun lagi, tapi tiada satupun senjata rahasia yang kutemukan, tiada pula tanda2 lain yang mencurigakan."

Sampai disini, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran, katanya sambil menuding Ban Jin-cun: "Dendam kesumat sedalam lautan ini, kaulah yang harus melunasinya."

Kuatir kedua orang timbul keributan lagi, lekas Cu Jing membujuk: "Harap Kho-heng bersabar sebentar, sekarang giliran Ban-heng menceritakan pengalamannya."

"Akhir musim semi tahun yang lalu," demikian Ban Jin-cun mengawali ceritanya, "ayahku keluar menyambangi sahabat, kira2 setengah bulan kemudian beliau pulang diantar seorang paman angkatku, katanya dibokong orang, waktu pulang sampai rumah sudah tak mampu bicara, akhirnya beliau meninggal karena tidak terobati."

Terdengar suara tadi berkata kepada Cu Jing "Tanyakan Tok-tah-thian-ong dibokong oleh siapa, dimana letak luka2nya?"

Cu Jing lantas bertanya: "Entah siapakah yang melukai ayahmu, dibagian mana letak luka2nya?"

"Setiba di rumah ayah sudah tak bisa bicara," demikian tutur Ban Jin-cun lebih lanjut, "menurut paman, ayah dibokong orang pada suatu pegunungan, setelah beliau terluka dan lukanya cukup parah, tak mungkin buru2 pulang ke rumah, maka beliau berlari ke Kim-keh-ce, tempat kediaman pamanku itu, dia hanya bilang terkena pukulan Bu-sing-ciang, jiwanya pasti mangkat dalam tujuh hari, beliau minta paman suka melindungi keluarganya ... . ."

"Siapa paman angkat yang Ban-heng maksudkan?" tanya Cu Jing.

"Pamanku she Cek bernama Seng-jiang, kenalan turun temurun, sejak kecil pamanku itu sudah angkat kakekku sebagai ayah angkat, pernah dia menjabat suatu pangkat dalam pemerintahan, sekarang dia sudah pensiun dan menikmati hari tuanya dirumah."

Terdengar suara orang tadi tidak sabar lagi, dia mendesak: "Suruh dia lekas tuturkan persoalannya, aku masih ada urusan lain."

"Kapankah keluarga Ban-heng mengalami sergapan musuh?" tanya Cu Jing segera.

"Pada tanggal 16 malam," sahut Ban Jin-cun.

Kho Keh-hoa segera menjengek: " Keluargaku mengalami petaka pada tanggal 14 malam, jadi ayahku sudah meninggal dua hari lamanya, bagaimana mungkin beliau membawa orang menyerbu ke Ui-san membunuh keluargamu?"

Ban Jin-cun tidak hiraukan ucapan, orang tuturnya lebih lanjut: "Sejak ayah meninggal, ibu sangat sedih dan menangis terus menerus, akhirnya beliau jatuh sakit dan tak bangun lagi, malam itu kira2 baru lewat kentongan pertama, baru saja aku keluar dari kamar ibu hendak kembali ke kamarku, mendadak kudangar suara ribut dan bentakan orang ramai serta benturan senjata, waktu aku memburu keluar, tampak puluhan laki2 berkerudung sedang lari kian kemari, melihat orang lantas bunuh, banyak korban sudah berguguran, gerombolan itu semua berkepandaian tinggi, cara turun tangannya juga amat kejam. Liok-siok (paman keenam) Lui-kong (aki petir) Ban Liok-jay tampak sedang berhantam dengan seorang laki2 berjambang dan berpedang, kudengar paman mencaci dengan murka: 'Kho Cin-hoan, keluarga Ban kami ada permusuhan apa dengan Liok-hap-bun kalian? Tanpa hiraukan peraturan Kangouw malam2 kau bawa gerombolan penjahat menyerbu kemari, membantai keluarga kami ......"

"Mungkin dia sedang herhantam dengan setan," ejek Kho Keh-hoa.

Terdengar suara tadi berkata: "Tanyakan, apakah hanya Liok-hap-kiam Kho Cin-hoan saja yang tidak berkerudung?"

Cu Jing lantas tanya: "Ban-heng melihat jelas, diantara sekian banyak gerombolan berbaju hitam itu, hanya Liok-hap-kiam Kho Cin-hoan saja yang tidak berkedok?"

"Ya, dia tidak memakai kerudung."

"Suruh dia melanjutkan," pinta suara tadi.

"Akhirnya bagaimana"" tanya Cu Jing segera,

"Sudah tentu aku amat murka," tutur Ban Jin-cun, "waktu aku melolos pedang, mendadak kudengar seorang membentak disampingku, 'robohlah kau.' Batok kepalaku seperti ditempeleng sekali, kontan aku jatuh semaput, waktu aku siuman kembali hari sudah terang tanah, kawanan penjahat sudah tak kelihatan bayangannya, tapi anehnya setelah semaput setengah malaman, waktu siuman, aku tidak kurang suatu apa2, sampai sekarang aku masih tak habis mengerti, kenapa orang itu tidak membunuhku? Sedang seluruh penghuni rumahku semuanya mati dalam keadaan yang mengenaskan. Cepat aku lari ke kamar ibu, kedua pelayan pribadi ibu terbunuh dengan senjata rahasia beracun dan ibuku . . . ."

Menyinggung ibunya, tak tertahan air mata bercucuran saking sedih, tuturnya lebih lanjut. "Beliaupun rebah kaku di atas ranjang, darah hitam meleleh dari pundak kirinya, jelas beliaupun terbunuh oleh senjata beracun, tapi tak kutemukan senjata rahasia apapun . . . . akhirnya setelah pikiran agak tenang baru kudapati jari tangan kanan ibu menggenggam kencang, ternyata dalam telapak tangannya menggenggam sebuah senjata rahasia."

Tak tahan Kho Keh-hoa menyela: "Liok-hap-kiam selamanya tak pernah memakai senjata rahasia, apalagi beracun, entah senjata rahasia macam apakah itu?"

"Suatu benda berbentuk bintang sebesar biji melinjo, berwarna hitam legam."

Suara tadi berbunyi pula ditelinga Cu Jing: "Tanyakan apa dia membawa senjata rahasia itu, suruh dia keluarkan supaya kulihat."

"Entah senjata rahasia itu Ban-heng bawa atau tidak sekarang?" tanya Cu Jing.

"Selalu kubawa kemanapun aku pergi," sahut Ban Jin-cun.

"Bolehkah Ban-heng perlihatkan padaku?" tanya Cu-Jing.

"Sudah tentu boleh," ujar Ban Jin-cun. Lalu di merogoh kantong mengeluarkan sebuah buntalan kecil.

Pada saat itulah, mendadak bayangan seseorang laksana burung elang menukik dari angkasa meluncur turun cepat dan hinggap di depan Ban Jin cun, dimana sinar berkelebat, sebatang pedang tipis panjang tahu2 menyongkel ke depan, maka buntalan kain di tangan Ban Jin-cun seketika mencelat ke atas, sekali samber orang itu menangkapnya dengan tangan lain, berbareng kedua kaki menjejak tanah, tubuhnya mencelat pula ke udara.

Kejadian ini terlalu mendadak, gerakan orang pun teramat cepat dan tangkas lagi, hakikatnya tiga anak muda itu tidak melihat jelas bayangan siapa orang tadi dan tahu2 buntalan ditangan Ban Jin-cun sudah direbut orang.

Sudah tentu Ban Jin-cun yang paling kaget, cepat ia membentak seraya berdiri, baru saja dia hendak mengudak, tiba2 dilihatnya bayangan orang yang sudah melambung ke udara itu berjumpalitan beberapa kali di atas terus melayang turun pula dan "bluk", jatuh dengan keras di tanah.

Baru sekarang mereka bertiga sempat melihat jelas orang itu berpakaian hitam, bertubuh tinggi kurus, wajahnya kuning, gerak-geriknya gesit, dengan tangkas dia melejit bangun terus hendak melarikan diri pula, tapi baru saja dia lari beberapa tindak, mendadak badannya bergetar terus berhenti dan mematung kaku di tempatnya.

Sudah tentu Cu Jing bertiga menyaksikan dengan melongo keheranan.

Mendadak terdengar suara serak tua bergelak tertawa. katanya: "Dihadapan aku orang tua, dengan sedikit kepandaianmu ini berani kau bertingkah?" - Suara ini bergema seperti berkumandang dari angkasa, tapi seperti juga bicara disamping mereka bertiga, keruan Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa melongo kaget. tanpa janji mereka celingukan kian kemari, tapi mana ada bayangan orang?

Cu Jing maklum Hiat-to laki2 kurus baju hitam ini terang ditutuk oleh orang tua yang sejak tadi bicara dengan dirinya itu, diam2 ia kaget dan kagum luar biasa, bayangan orang tua ini tidak kelihatan, entah dengan cara apa dia menundukkan orang barbaju hitam ini?

Terdengar orang berbaju hitam mencaci maki dengan beringas: "Bangsat tua, siapa kau? Main sembunyi, terhitung orang gagah macam apa? Memangnya kau tidak cari tahu siapa tuan besarmu ini!"

Suara serak tua itu ter-gelak2, ujarnya: "Kau bocah ini belum setimpal tanya siapa aku orang tua ini. Tapi berani kau kurang ajar padaku, maka kau harus kuhukum. Nah, sekarang gamparlah mulutmu sendiri!"

Sungguh aneh, mendadak si baju hitam angkat kedua tangan sendiri, "Plak-plok," berulang kali ia benar2 menggampar mukanya sendiri.

Cu Jing bertiga yakin si baju hitam terang tak rela menggampar muka sendiri, sorot matanya tampak menampilkan rasa kebencian, tapi juga jeri dan tak berani bersuara lagi. Keruan ketiga anak muda yang menyaksikan itu sama tertegun.

Terdengar suara serak itu berkata "Nah, urusan kedua keluarga kalian akupun tidak perlu banyak mulut, kalian tidak perlu saling bunuh pula, sebab musabab peristiwa yang menimpa keluarga kalian boleh tanyakan pada kunyuk hitam ini, aku orang tua hendak pergi."

Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa menengadah ke atas, tanyanya dengan hormat: "Terima kasih atas petunjuk Locianpwe, mohon tanya siapakah gelaran engkau orang tua yang mulia?"

Tapi sekelilingnya sunyi senyap, kiranya Cianpwe kosen yang terdengar suara tapi tak terlihat bayangannya itu sudah pergi entah kemana.

Ban Jin-cun lantas menjura kepada Kho Keh-hoa, katanya: "Kho-heng, perihal permusuhan keluarga kita, berkat petunjuk Locianpwe itu, bukan saja telah menghimpas kesalah pahaman kita berdua, beliaupun telah menawan seorang musuh, pada dirinyalah kita harus menuntut balas dan menyelidiki siapa gerangan biang keladi dari semua petaka yang menimpa keluarga kita ini."

"Apa yang dikatakan Ban-heng memang benar," ujar Kho Keh-hoa.

Mereka lantas menghampiri si baju hitam, Ban Jin-cun merogoh kantong orang mengambil balik buntalan kainnya tadi dan dibuka, isinya memang benda hitam berbentuk bintang sebesar biji melinjo.

Haru dan pedih hati Ban Jin-cun, katanya berlinang air mata: "Silakan periksa Kho-heng, inilah senjata rahasia yang kuperoleh dari tangan ibuku."

"Simpanlhah dulu saudara Ban," kata Kho Keh-hoa, "tawanan hidup ada di depan mata, memangnya berani dia tidak mengaku."

Ban Jin-cun segera bungkus lagi senjata rahasia itu dan disimpan dalam baju.

Dengan ujung pedangnya Kho Keh-hoa ancam tenggorokan orang berbaju hitam, desisnya dengan penuh dendam: "Kau sudah berada di tangan kami, mau hidup atau ingin mati, terserah padamu mau tidak menjawab pertanyaan kami."

Waktu mereka mendekat, orang kurus berbaju hitam lantas pejamkan mata tanpa bersuara sekecap pun.

Dingin suara Ban Jin-cun: "Apa yang dikatakan saudara Kho sudah kau dengar bukan? Yang ingin kami cari adalah biang keladinya, asalkan kau terangkan siapa perencana peristiwa ini, kami akan ampuni jiwamu."

Orang itu tetap berdiri tegak, bibirnya tetap terkancing rapat, se-olah2 buta dan tuli, anggap tidak dengar semua pertanyaan mereka.. .

Kho Keh-hoa naik pitam, ujung pedangnya yang mengancam tenggorokannya bergetar, bentaknya: "Keparat, dengar tidak pertanyaan kami?"

Betapa runcing ujung pedangnya itu, sedikit menggunakan tenaga saja kulit daging tenggorokan si baju hitam sudah terluka, tampak darah hitam membasahi dada.

Manusia umumnya berdarah merah, tapi laki2 kurus berbaju hitam ternyata mengeluarkan darah warna hitam, darah hitam kental seperti tinta.

Tergerak hati Ban Jin-cun, katanya gugup: "Kho-heng, agak ganjil keadaannya."

Kho Keh-hoa melongo, tanyanya: "Apanya yang ganjil?"

Hanya beberapa patah kata bicara, tertampak darah kental hitam yang mengucur dari tenggorokan laki2 baju hitam itu semakin deras membasahi sekujur badan, segera hidung mereka mengendus bau busuk. Sebetulnya tenggorokannya hanya tertusuk sedikit, tapi dalam sekejap luka itu sudah melebar dan membusuk, darah yang meleleh keluar semakin banyak, bau busuk semakin keras dan menjalar ke sekujur badan.

Ban Jin-cun jadi curiga, tanyanya: "Kho-heng, pedangmu kau lumuri racun?"

Kho Keh-hoa sendiri terkesima sahutnya gugup: "Belum pernah kulumuri racun pedangku ini. . . . ." sembari bicara dia angkat pedangnya, ternyata ujung pedangnya telah berwarna hitam legam, seketika ia bersuara kaget dan heran.

Sudah tentu Ban Jin-cun juga kaget dan heran pula, mendadak tergerak pikirannya, tanpa bicara dia angkat pedang dan menggores pundak serta lengan laki2 baju hitam, kembali darah hitam meleleh keluar.

Ternyata ujung pedang Ban Jin-cun juga segera berubah hitam legam, mirip dengan ujung pedang Kho Keh-hoa, seperti pernah direndam dalam racun. Tak kepalang kagetnya, serunya: "Racun yang jahat sekali!"

"Memangnya dia sudah mampus?" tanya Kho Keh-hoa.

"Ya, mungkin tahu tiada harapan hidup, dia telan racun yang keras sekali bekerjanya."

Kho Keh-hoa menghela napas, katanya: "Dia sudah mati, tak mungkin dimintai keterangan lagi."

"Dia meninggalkan sebatang pedang," ujar Ban Jin-cun, "tidak sukar mencari tahu asal usulnya dari senjatanya ini." Tiba2 mulutnya bersuara seperti ingat apa2, katanya pula: "Saudara Cu kemari atas perintah gurunya untuk melerai permusuhan kita, kukira gurunya pasti tahu siapa musuh kita bersama?"

Bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

55.3K 7.6K 200
Novel ini karya Jing Wu Hen, Saya hanya menterjemahkan saja, semua kredit untuk pengarang aslinya. Di Provinsi Sembilan Langit, jauh di atas langit...
30.5K 4.1K 200
Dalam hal potensi: Bahkan jika kamu bukan jenius, kamu bisa belajar Teknik Misterius dan keterampilan bela diri. Kamu juga dapat belajar tanpa guru...
25.3K 361 47
Sudah lazim jika dinasti berganti maka akan muncul pahlawan-pahlawan yang disatu sisi membela kebenaran dan sisi lainnya adalah menghancurkan peradab...
4.3K 534 157
Lanjutan dari Library of Heaven's Path Ch. 1001 - 2000