Pendekar Kidal (Cin Cu Ling)...

By JadeLiong

279K 6.4K 69

Lenyapnya Tong Thian Jong, tertua keluarga Tong di Sujwan yang terkenal dengan ilmu senjata rahasia dan racun... More

Jilid 1
Jilid 2
Jilid 3
Jilid 4
Jilid 5
Jilid 7
Jilid 8
Jilid 9
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
Jilid 17
Jilid 18
Jilid 19
Jilid 20
Jilid 21
Jilid 22
Jilid 23
Jilid 24
Jilid 25
Jilid 26
Jilid 27
Jilid 28
Jilid 29
Jilid 30
Jilid 31
Jilid 32
Jilid 33
Jilid 34
Jilid 35
Jilid 36
Jilid 37
Jilid 38
Jilid 39
Jilid 40
Jilid 41
Jilid 42
Jilid 43
Jilid 44
Jilid 45
Jilid 46
Jilid 47
Jilid 48
Jilid 49
Jilid 50
Jilid 51
Jilid 52
Jilid 53
Jilid 54
Jilid 55
Jilid 56
Jilid 57
Jilid 58
Jilid 59
Jilid 60
Jilid 61
Jilid 62
Jilid 63
Jilid 64
Jilid 65
Jilid 66
Jilid 67
Jilid 68
Jilid 69
Jilid 70
Jilid 71
Jilid 72
Jilid 73
Jilid 74
Jilid 75
Jilid 76
Jilid 77
Jilid 78
Jilid 79
Jilid 80
Jilid 81
Jilid 82
Jilid 83
Jilid 84
Jilid 85
Jilid 86
Jilid 87
Jilid 88
Jilid 89
Jilid 90
Jilid 91
Jilid 92
Jilid 93
Jilid 94
Jilid 95
Jilid 96
Jilid 97
Jilid 98
Jilid 99
Jilid 100
Jilid 101
Jilid 102
Jilid 103
Jilid 104
Jilid 105
Jilid 106
Jilid 107
Jilid 108
Jilid 109
Jilid 110 (TAMAT)

Jilid 6

4K 73 2
By JadeLiong

Hian-ih- lo-sat angsurkan kedua tangannya, kesepuluh jari2nya yang putih halus itu pelan2 ter-angkat, katanya tertawa riang. " Lihatlah kuku jariku!"

Kuku jarinya yang terpelihara baik itu ternyata masing2 dicat warna berbeda, ada merah, putih, hijau, biru, ungu dan lain2, siapapun yang menyasikannya pasti ketarik.

"Kau pandai main racun?" tanya Kun-gi ngeri.

"Syukurlah kalau kau tahu," ujar Hian-ih-lo-sat, "racun yang ada dikuku jariku ini cukup menggores luka kulit daging orang, kena pagi tidak lewat siang, kena siang tidak lewat petang," Tapi Kun-gi hanya mendengus: "Hm, memang ganas, tak heran kau berjuluk Hian-ih-lo-sat."

"Aku telah melukai punggung tanganmu, nanti pasti kuberi obat penawar, namun "

"Tidak perlu, aku tidak takut segala macam racun," tukas Kun-gi. "Kalau begitu boleh silakan pergi."

"Baik, cayhe mohon diri," dengan beberapa lompatan dia sudah berlari kencang menyusup ke-hutan.

Sekaligus dia menuju kejalan besar, baru saja dia ayun langkahnya, tiba2 di belakangnya seorang berteriak. "Anak muda, tunggu sebentar!"

Waktu Kun-gi berpaling, tidak jauh di belakangnya berlari sesosok bayangan tinggi besar, langkahnya enteng, seperti lambat gerakannya, namun kecepatan luncuran tubuhnya sungguh amat mengagumkan, se-olah2 kedua tapak kaki tidak menyentuh tanah.

Perawakan orang ini tinggi besar, wajahnya legam seperti besi, alisnya pendek gombyok. matanya sipit, hidung singa mulut lebar, jubah warna kuning tua sudah luntur dan sepanjang lutut, kaki telanjang, tampang dan dandanannya sangat aneh, nyentrik. kata orang jaman kini.

"Tuan memanggilku?" tanya Kun-gi dengan angkuh.

Bersinar tajam mata si gede menatap Kun-gi, katanya sambil manggut2: "Kalau bukan aku, memangnya siapa lagi?" .

"Tuan siapa, ada perlu apa memanggil cayhe?" tanya Kun-gi.

Terkekeh si gede, katanya dengan suara rendah: "Anak muda, besar nyalimu, menurut kebiasaan Lohu, kau hanya boleh menjawab tapi tidak boleh bertanya, tahu tidak?"

Melihat sikap orang yang sok berlagak tua, Ling Kun-gi menjadi geli, sikapnya semakin angkuh, katanya: "Itukan kebiasaanmu sendiri, tuan tahu peraturanku?"

Terbeliak mata si gede, tanyanya. "Kau juga punya peraturan segala?"

"Betul, menurut aturanku, peduli siapapun dia harus memperkenalkan namanya lebih dulu, setelah kupertimbangkan apakah dia setimpal bicara dengan aku barulah aku mau meladaninya," sudah tentu omongannya ini sengaja hendak memancing kemarahan orang.

Tak terduga setelah mendengar uraian Kun-gi, bukan saja tidak marah, si gede malah ter-bahak2. Gelak tawanya seperti suara gembreng pecah, begitu keras memekak telinga, semakin tawa suaranya semakin tinggi dan bergema laksana guntur menggelegar di lembah pegunungan.

Sedikit berobah rona muka Kun-gi, dia berdiri tegak tidak bergeming, namun hatinya kaget dan membatin: "Lwekang orang ini amat tinggi."

Lenyap gelak tawanya, mata sipit si gede melotot kereng dingin, katanya: "Kita sama mengukuhi peraturan sendiri, nah mari kita tentukan peraturan siapa lebih berguna ?"

Pelan2 lengan kanannya terangkat, dari lengan bajunya yang longgar itu terjulur keluar sebuah tangan aneh berwarna kuning legam, kelima jarinya menekuk laksana cakar elang, setiap jari2 tumbuh kuku sepanjang satu dim, runcing dan tajam laksana pisau, kiranya itulah sebuah tangan tembaga.

Ling Kun-gi pernah melihat tangan besi Hoa Thi-jiu, bentuknya menyerupai cakar. gunanya seperti alat senjata tajam umumnya, kelima jari2nya sudah tentu tidak bisa bergerak seperti jari2 tangan manusia umumnya. Tapi tangan tembaga yang dilihatnya sekarang ternyata tak berbeda dengan tangan manusia umumnya, kelima jarinya dapat terkembang dan mencengkeram dengan leluasa.

Pada saat2 genting itulah, mendadak sebuah suara merdu berseru dipinggir telinganya: "Saudara cilik, lekas mundur!"

Kun-gi mengenali yang berseru memberi peringatan itu adalah Hian-ih-lo-sat, namun sebelum membuktikan apa yang akan terjadi, mana dia mau mundur? la berdiri tegak tidak bergerak. Ia tunggu sampai cakar tembaga lawan yang aneh itu hampir mencengkeram dirinya, mendadak ia kerahkan tenaga pada telapak tangan kanan terus menangkis ke depan.

Gerak serangan tangan tembaga lawan memang pelan2, sedang tangkisan Kun-gi bergerak cepat, Tak tahunya begitu telapak tangannya menindih pergelangan tangan lawan terasa seperti membentur sebatang besi, sedikitpun tidak bergeming, cakar tembaga orang tetap bergerak pelan mengincar pundaknya.

Tangan kanan Ling Kun-gi yang menangkis terasa kesakitan, rasa linu kesemutan sampai menjalar ke atas pundak. keruan kagetnya bukan kepalang, sungguh dia tidak habis mengerti bahwa sebuah tangan tembaga bisa begini lihay, cepat dia menarik napas sembari melompat mundur.

Si gede tidak mengejarnya, wajahnya menyeringai puas, matanya melirik ke arah hutan, bentaknya: "Siapa itu di dalam hutan? Apa yang kau katakan kepada bocah ini?"

Tiba2 terendus bau harum terbawa angin lembut, waktu Ling Kun-gi menoleh, tahu2 Hian-ih-lo-sat sudah berdiri di sebelahnya.

" Untuk apa kau kemari?" semprot si gede.

"Apa aku tidak boleh kemari?" Hian-ih-lo-sat cekikikan, matanya mengerling tajam, tanyanya pula: "Kau mengenalku?"

"Lohu tidak kenal," ujar si gede.

Hian-ih-lo-sat tertawa, katanya: "Kau tak kenal aku, sebaliknya aku mengenalmu."

"Kau tahu siapa Lohu?"

"Kau adalah Lam-kiang-it-ki Thong-pi-thian--ong, betul tidak?"

"Thong-pi-thian-ong (raja langit lengan tembaga) ? Tak pernah Suhu menyinggung nama orang ini" demikian Kun-gi ber-tanya2 dalam hati.

Terbeliak mata Thong-pi-thian-ong, sesaat lamanya dia mengamati Hian-ih-lo-sat, katanya ke-mudian. " Kaum persilatan di Tionggoan ternyata ada juga yang kenal Lohu." 

Sampai di sini tiba2 dia manggut2, katanya pula: "Baiklah, Lohu tidak akan berurusan denganmu, boleh kau menyingkir."

"Kalau aku mau pergi, takkan kumuncul di sini," ujar Hian-ih-lo-sat. 

"Kau masih ada urusan apa?" Thong-pi-thian-ong menegas.

Hian-ih-lo-sat tidak menghiraukan pertanyaan orang, katanya berseri tawa kepada Kun-gi: "Agak-nya kau memang tidak gentar pada racunku."

"Cayhe tidak mati, kau merasa di luar dugaan?" ejek Kun-gi.

"Aku bermaksud baik, mengantar obat untukmu."

Merah muka Kun-gi, lekas dia menjura, katanya: "Kalau begitu, aku yang salah paham."

"Syukurlah," ujar Hian-ih-lo-sat, lalu menambahkan- "kau memang tidak keracunan, lekaslah pergi saja."

"Lohu tidak menyuruhnya pergi, siapa yang berani pergi?" bentak Thong-pi-thian-ong. Hian-ih-lo-sat cekikikan, katanya: "Memang-nya kau tidak dengar, aku yang menyuruhnya pergi?"

"Nyonya sudah tahu julukanku, tapi masih bertingkah dihadapanku, memangnya kau sudah menelan nyali harimau."

"Betul, kalau aku tidak punya nyali, mana berani kusuruh dia pergi." 

Lekas Kun-gi bersuara: "Kalau cayhe mau pergi segerapun bisa pergi, peduli amat dengan orang lain"

Hian-ih-lo-sat mengedip seraya berkata dengan Thoan-im-jip-bit (ilmu mengirim gelombang suara): "Thong-pi-thian-ong merajai Lam-kiang (wilayah selatan), saudara cilik, bukan aku merendahkan kau, tapi kau memang bukan tandingannya, biarlah aku mengadangnya sesaat, lekas kau pergi."

Jelilatan mata Thong-pi-thian-ong, teriaknya murka: "Dihadapan Lohu, kalian berani main bisik2, apa yang kalian perbincangkan?"

"Kudesak dia lekas pergi," ujar Hian-ih-lo-sat. 

"Tidak boleh," bentak Thong-pi-thian-ong, " bocah ini akan kutahan!" 

"Untuk apa kau menahannya?" 

"Lohu ingin tanya seseorang kepadanya." 

"Siapa yang kau tanyakan?" tanya Kun-gi. 

"Hoan-jiu-ji-lay di mana dia?"

"Cayhe tidak tahu."

"Kau bukan muridnya?"

"Kalau benar mau apa?Jika bukan kenapa pula?"

"Waktu kau bergebrak sama dia tadi, jelas yang kau mainkan adalah ilmu ajaran bangsat gundul itu, memangnya Lohu salah lihat?" Thong-pi-thian-ong terkekeh dingin.

Ternyata dia menyaksikan beberapa jurus gebrakan Kun-gi melawan Hian-ih-lo-sat tadi, maka dia mencegatnya di sini.

Kun-gi naik pitam mendengar orang memanggil gurunya 'bangsat gundul', katanya gusar: "Memang tidak salah, beliau memang guruku, ada urusan apa kau mencari beliau? Boleh kau bicara saja dengan aku."

Mendengar Ling Kun-gi adalah murid Hoan-ciu- ji-lay, tanpa terasa Hian-ih-lo-sat mengawasi lekat2.

Thong-pi-thian-ong tergelak2, katanya: "Ternyata betul kau murid bangsat tua itu, bagus sekali, lekas katakan, bangsat tua itu sekarang berada di mana?"

"Jejak beliau tidak menentu, tak mungkin cayhe menjelaskan," sahut Kun-gi. Thong-pi thian-ong mendesak selangkah, katanya sambil menuding Kun-gi: "Kau murid bangsat tua itu, masakah tidak tahu dia sembunyi di mana? Kalau tidak berterus terang, jangan salahkan Lohu tidak memberi ampun padamu."

Kun-gi gusar, serunya: "Anggaplah aku tidak mau menerangkan, kau bisa berbuat apa terhadap
diriku?"

Thong-pi-thian-ong terkekeh2, jari2 tembaga yang runcing tajam tiba2 mencengkeram, hardik-nya beringas: "Maka Lohu harus menahanmu, ka-lau yang cilik kuringkus, masakah yang tua tidak akan keluar dari kandangnya?"

"Nanti dulu" lekasi Hian-ih-lo-sat mencegah.

Tangan tembaga Thong-pi-thian-ong yang sudah terulur berhenti di tengah jalan, bentaknya sambil berpaling: "Ada apa kau?"

"Kau ingin mencari gurunya, kalau mampu pergilah cari sendiri, nama Thong-pi-thian-ong cukup beken, memangnya kau tidak malu berkelahi dengan anak murid orang?"

"Selamanya Lohu tidak peduli soal tetek- bengek. sudah 30 tahun Lohu mencari bangsat tua itu, kebetulan muridnya kebenturku di sini, betapapun Lohu takkan melepaskan dia pergi"

"Tidak bisa,"jengek Hian-ih-lo-sat, "tadi aku sudah suruh dia pergi, maka dia harus pergi."

Mendelik Thong-pi-thian-ong, dengan gusar dia tatap Hian-ih-lo-sat, katanya ter-kekeh2: "Nyonya muda, kau berani campur tangan . ." tangan yang bergerak dan sedianya hendak menyerang Ling Kun-gi tadi tiba2 bergerak pula pelan2 beralih ke arah Hian-ih-lo-sat.

Sementara itu Kun-gi sudah keluarkan pedang panjang dari buntalannya, hardiknya: "Tahan"

"Kau mau ajak Lohu mencari gurumu?" tanya Thong-pi-thian-ong.

Kun-gi berdiri kereng menenteng pedang, katanya: "Soal ini tiada sangkut pautnya dengan nona ini. Tidak sukar membawamu menemui guruku asal kau bisa mengalahkan pedang ditanganku "

Thong-pi-thian-ong coba pandang pedang di tangan Ling Kun-gi, mendadak ia tertawa lebar, katanya dingin: "Lohu ingin menahan-mu, sudah tentu harus mengalahkan kau lebih dulu."

"Adik cilik," seru Hian-ih-lo-sat, "kau bukan tandingannya, lekas menyingkir."

"Soal ini tiada sangkut pautnya dengan nona. lekas kau pergi saja," sahut Kun-gi.

"Anak muda, kau sudah siap?" Thong-pi-thian-ong tidak sabar lagi, kelima jarinya terkembang terus mencengkeram ke arah Kun-gi.

Sejak kecil Ling Kun-gi meyakinkan ilmu pedang warisan keluarganya. Cuma waktu dia hendak berangkat Suhunya pernah berpesan wanti2, kecuali terpaksa ilmu pedangnya dilarang sembarang ditunjukkan di depan umum. 

Sekarang dia menghadapi Thong-pi-thian-ong yang berilmu silat serba aneh, lengan tembaga dan telapak tangan tembaga pula, kerasnya laksana baja, kalau dirinya melawan dengan bertangan kosong, mungkin untuk mempertahankan diri saja sukar, maka terpaksa dia keluarkan pedangnya.

Kini melihat cakar tembaga lawan mencengkeram tiba, secepat kilat otaknya bekerja: " Lengan tembagamu memangnya tidak takut senjata tajam, tapi anggota badanmu yang lain, apa juga kebat senjata?" 

Sebat sekali ia berkelebat maju, pergelangan tangan menggentak. Pedangpun menabas miring. Serangan ini dilancarkan dengan badan miring sambil mendesak maju, orangnya tiba pedangpun mengancam. 

Walau jurus yang dan gunakan hanya tipu biasa Sian-niao-hoa-se (burung dewa menggores pasir), namun dilancarkan oleh seorang ahli seperti Ling Kun-gi, bukan saja lebih lincah dan hidup, gerakannyapun teramat cepat dan berbahaya.

Sepasang mata Hian-ih-lo-sat memancarkan sinar terang menyaksikan ilmu pedang yang tiada taranya ini. Selama hidup Hoan-jiu ji-lay tidak pernah menggunakan pedang, namun murid tunggalnya ini ternyata memiliki ilmu pedang yang tinggi dan lihay sekali.

Kelima jari tembaga Thong-pi-thian-ong terpentang, gerakannya seperti amat lamban, tujuannya semula hanya mau meringkus bocah kurang-ajar ini, tapi serta melihat gerakan pedang Ling Kun-gi yang hebat, tiba2 ia mendengus,jari2nya malah mencengkeram pedang yang menyamber tiba. Sungguh permainan aneh, perubahannyapun cepat tak terduga, lengan sedikit melintir, tahu2 batang pedang sudah berhasil dipegangnya, sementara jari tangan kiri berbareng menutuk ke pundak Kun-gi.

Terasa batang pedang mendadak tergetar, pergelangan tangan anak muda itupun kesemutan, telapak tangan lecet kesakitan, tahu2 kelima jari lawan yang beruji runcing juga menyerang tiba. Keruan bukan main kaget Kun-gi, kalau dirinya tidak lepas pedang serta melompat mundur, pundak sendiri pasti kena tertusuk, terpaksa dia lemparkan pedangnya, lalu dengan gerakan Hu-kong liang-in (cahaya mengambang melampaui bayangan) dia meloncat mundur ke belakang.

Dengan mencengkeram pedang di tangan kanannya, tutukan jari tangan kiri Thong-pi-thian--ong masih tetap mengarah ke depan, mulutpun membentak: "Anak muda, robohlah kau!!"

Jarinya yang menuding ke depan tetap diacungkan, tahu2 sarung jari tembaga yang terpasang diujung jarinya melesat ke depan membawa kesiur angin kencang, sasarannya tetap tidak berubah, pundak kiri Ling Kun-gi.

"Adik cilik, awas" Hian-ih-lo-sat berseru memperingatkan.

Hanya sekali gebrak. pedang terampas, dikala dia merasa bingung dan kaget, tahu2 selarik sinar kuning kemilau melesat ke arahnya, keruan Kun-gi tambah berang, serunya dengan tertawa lantang: "Bagus!"

Tangan kiri terangkat, dia incar selong-song jari tembaga itu terus menjentiknya sekali. Kali ini dia gunakan Tan-ci-sin-thong (selentikanjari sakti) salah satu dari 72 ilmu silat Siau lim-pay. "creng", selongsong jari tembaga itu kena dijentiknya mencelat beberapa tombak jauhnya.

Selama puluhan tahun belum pernah tutukan jari terbangnya ini mengalami kegagalan, kini kecundang di tangan seorang muda yang dianggapnya masih ingusan, tapi ternyata memiliki ilmu silat tinggi, sekilas dia melengak. 

Dengan pandangan liar dia tatap Ling Kun-gi, jengeknya sambil terkekeh: "Bagus, anak muda, agaknya seluruh kepandaian si bangsat tuapun telah diturunkan padamu."

Hian-ih-lo-sat cekikikan, selanya: "Babak ini kalian setanding alias seri, yang satu direbut pedangnya, yang lain selongsong jarinya terjentik jatuh, tiada pihak yang lebih unggul ."

"Omong kosong" bentak Thong-pi-thian- ong dengan mata melotot.

"Siapa omong kosong?" sikap Hian-ih-lo-sat tetap manis, " memangnya kau belum mengaku kalah setelah jari tembagamu terjentik jatuh?"

Thong-pi-thian-ong menggerakkan jari2 tembaga seperti mengancam, hardiknya gusar,

" Lekas engkau enyah dari sini!"

"Ada suatu hal ingin aku berunding dengan kau, entah kau mau tidak?" kata Hian-ih-lo-sat tetap sabar.

"Kata2ku sekukuh gunung, tiada soal berunding segala, betapapun Lohu harus menahan bocah
ini."

"Soal yang ingin kurundingkan tiada hubungannya dengan dia." Sebel rasa Thong-pi-thian-ong. "Soal apa ?" tanyanya tidak sabar.

Hian-ih-lo-sat unjuk senyuman manis, ujar-nya : "Kulihat kau memiliki ilmu silat tinggi, memiliki
lengan tembaga lagi, sungguh mencocoki seleraku " tawa yang manis menggiurkan di-tambah
dengan gerakan badan yang bergaya menantang.

Mata sipit Thong-pi-thian-ong menjadi terbeliak, apalagi mendengar kata2 "mencocoki selera-ku", keruan hatinya terasa syuur, senangnya bukan main .

Memang usianya sudah setengah abad, tapi selama ini dia tetap bujangan, sesaat dia mengawasi Kun-gi, ingin rasanya segera menggebahnya pergi. Tapi demi gengsi, tadi dia menahannya, kalau sekarang mengusirnya malah berarti menjilat ludah sendiri, maka sesaat mulutnya tak bisa bicara. 

Tapi wajahnya yang tadi merah padam sekarang tampak berseri senang, katanya dengan halus: "cayhe seorang yang suka berterus terang, Siau-nio-cu (nyonya muda) ada omongan apa, boleh silakan katakan saja."

Tadi dia membahasakan dia Lohu (aku orang tua ), sekarang diganti cayhe (aku yang rendah), kiranya dia merasa dirinya lebih muda beberapa tahun secara mendadak.

Hian-ih lo-sat melerok sambil mencibir, katanya tertawa genit: "Dengan adik ini kau tidak bermusuhan, biarkan dia pergi saja, nanti kita bicara lagi."

orang suruh Kun-gi pergi, tentu saja cocok dengan keinginan Thong-pi- thian-ong, dia berseri tawa, katanya. "Betul Siau-nio-cu, cayhe hanya mencari gurunya, Hoan-jlu-ji-lay, dulu aku pernah bentrok sama dia, maka sekarang ini ingin ku bereskan perhitungan lama. Hah, sebetulnya soal ini juga tidak penting, Siau-nio-cu mau mendamaikan soal ini, biarlah aku menurut saja," lalu dia berpaling ke arah Ling Kun-gi, teriaknya: "Anak muda, kau boleh lekas enyah!"

Sudah tentu Kun-gi maklum akan watak genit Hian-ih- lo-sat, agaknya dia sengaja hendak memikat Thong-pi-thian-ong dengan rayuannya, serta memperalat orang menjadi kaki tangannya.

Usia Thong-pi-thian-ong sudah setengah abad, tapi masih mata keranjang dan suka pipi halus. naga2nya laki perempuan ini memang sudah sama ketagihan- Karena merasa muak dan jijik, lekas Kun-gi jemput pedangnya, tanpa bersuara dia terus tinggal pergi.

Sudah seperti di kili2 hati Thong-pi- thian-ong, segera dia melangkah maju sambil memandang Hian-ih-lo-sat lekat2 se-akan2 ingin menelannya bulat2, katanya cengar-cengir: "Siau-nio-cu, bocah itu sudah pergi, ingin omong apa lekas kau katakan"

Hian-ih-lo-sat gigit bibir, mata mengerling penuh arti, katanya sambil tertawa:
"Kalau kukatakan, kau tidak marah bukan?"

Dalam jarak tiga kaki hidung Thong- pi-thian-ong sudah mengendus bau harum yang memabukkan, seketika jantungnya berdegup lebih cepat. 

Diam2 dia menyesali hidupnya selama lebih 20 tahun yang lampau secara sia2, kenapa sampai malam ini baru akan merasakan badan perempuan yang cantik dan harum menggiurkan- Lekas dia berkata: "Boleh katakan saja, cayhe pasti tidak akan... tidak akan marah."

Dengan sapu tangan menutup mulut, Hian-ih-lo-sat berkata, "Kalau kau tidak marah, biarlah aku bicara terus terang. Kulihat lenganmu ini kalau tidak salah terbuat dari campuran tembaga dengan emas, malah di dalamnya juga terpasang alat2 rahasia sehingga biaa digunakan secara bebas dan lincah, dibanding 12 tangan besi keluargaku jelas lebih sempurna, oleh karena itu "

" Karena itu apa?" tanya Thong- pi-thian-ong.

"Lengan tembaga bukankah setingkat lebih tinggi dari lengan besi? oleh karena itu aku ingin
mengundangmu menjadi kepala dari barisan tangan besi keluargaku ".

Ternyata dirinya hanya akan dijadikan kepala barisan segala, sungguh terlalu dan besar salah
wesel ini. seketika beruubah kelam air muka Thong-pi-thian-ong, dengus-nya: "Kau ingin Lohu
menjadi kepala barisan"

Hian-ih- lo-sat membetulkan letak rambutnya yang terurai, ujarnya: "Eh, kau tidak mau ? Atau merasa merendahkan derajatmu ? Bicara terus terang, setiap anggota barisan tangan besi adalah jago2 silat kelas tinggi diBu-lim, dibanding kau Thong-pi-thian-ong rasanya tidak lebih rendah, kuangkat kau menjadi kepala barisan mereka, karena kau punya lengan tembaga yang lebih sempurna, ini berarti aku telah mengangkat dan menghargai dirimu?"

Naik pitam Thong-pi-thian-ong mendengar kata2 orang, hardiknya beringas: "Perempuan bangsat, berani kau menggoda dan mempermainkan diriku?"

Mendadak berubah kaku wajah Hian-ih lo-sat, katanya dingin: "Aku sudah naksir lengan tembagamu itu, maka kau harus jadi kepala barisan lengan besi itu, kuundang kau secara hormat, kalau tidak mau terpaksa kugunakan kekerasan padamu." di mana tangannya melambai, tiba2 serangkum bau harum merangsang ke muka lawan.

Betapapun Thong-pi-thian-ong juga banyak pengalaman, dengan terkesiap cepat ia melompat mundur seraya menghardik: "Perempuan sundel " belum habis makiannya, tiba2 terasa di sebelah belakang ada apa2 yang tak beres, maklumlah betapa tinggi dan tangguh ilmu silat Thong pi-thian-ong, dalam jarak tiga tombak asal ada orang mendekati dirinya pasti diketahuinya.

Tapi kali ini panca inderanya bekerja lambat, waktu dia merasakan gejala tidak beres, orang di belakangnya sudah dekat. Dari suara napas orang ia tahu ada dua orang telah mengancam dirinya dari belakang. Diam2 dia membatin: " orang dapat mendekatiku dalam jarak setombak, agaknya kepandaian mereka memang tidak lebih rendah daripada diriku."

Cemerlang sinar mata Hian-ih-lo-sat, katanya sambil tertawa: "Baiklah, kalian saja yang menangkapnya." Berbareng ia lantas melompat mundur.

Kedua orang di belakang saling memberi isyarat, mulut masing2 bersiul sekali, lalu melompat maju bersama, kedua tangan masing2 bergerak menangkap ke tubuh Thong-pi-thian-ong .
Bukan kepalang gusar Thong-pi-thian-ong, sambil menghardik dia ayun lengan tembaga melayani serangan orang yang melabrak dari kiri, berbareng badan berputar, tahu2 kaki kanan melayang menyerampang lawan yang menubruk dari kanan.

Sekilas dilihatnya kedua orang yang melabrak dirinya adalah laki2 berbaju hijau, usianya kurang lebih 40-an, yang mengejutkan adalah tangan kiri mereka bersemu kehijauan, kelima jari tangannya laksana cakar yang mengkilap. kelihatan runcing tajam, dari sinar kemilau kehijauan itu jelas bahwa lengan mereka berlumur racun yang amat jahat.

Mau tak mau timbul rasa curiga Thong-pi-thian-ong, batinnya: "Tadi dia bilang keluarganya punya 12 orang berlengan besi, semuanya adalah tokoh2 Kangouw yang beken namanya, memangnya siapa dan bagaimana latar belakang orang2 ini?"

Hati membatin, sementara mulut menghardik: "Keparat, kalian bertiga maju bersama juga Lohu tidak pandang sebelah mata."

"Jangan kau takabur," jengek Hian-ih-lo-sat, "kalau tiba saatnya aku turun tangan, pasti aku akan turun gelanggang."

"Trang", suara benturan benda keras meme-kak telinga, lengan tembaga Thong-pi-thian-ong disambut oleh pukulan lengan besi orang sebelah kiri, keduanya sama terhempas mundur.

Maka laki2 baju hijau di sebelah kanan mendapat peluang untuk menubruk maju, lengan besi kirinya segera bergerak dengan tipu Hing-bok- liong- kan (mem-belah miring ulu naga), pinggang Thong-pi-thian-ong menjadi incaran.

Tak keburu berkelit, terpaksa Thong-pi- thian--ong kerahkan tenaga, ia sambut pula serangan lawan dengan lengan tembaganya, "Trang" begitu lengan tembaga, dan lengan besi beradu, laki2 baju hijau di sebelah sana terpental mundur tiga tindak. Thong-pi-thian-ong sendiri juga tak kuasa menguasai diri, iapun menyurut tiga tindak. diam2 batinya bertambah kejut, walau Lwekang kedua lawan bukan tandingannya, tapi terpaut tidak jauh.

Sementara lawan di sebelah kiri sudah merangsak maju pula, jari2 tangan besi kirinya bergerak laksana samberan kilat, telapak tangan kanan berwarna merah darah menyolok menyerang tiba bersama, jalan mundur Thong-pi-thian-ong sudah terkurung. Sebat sekali lawan di sebelah kananpun melompat maju pula, lengan besi menyerang dengan jurus No liong-sip-cu (naga marah menggondol mutiara), gerak lengannya lapat2 membawa bunyi gemuruh terus mencakar ke batok kepala Thong-pi-thian-ong.

Thong-pi-thian-ong murka sekali, ia membentak keras, sambil meloncat ke atas, di mana lengan bajunya mengebas, segera dia balas menyerang dengan gencar. Sebagai jago nomor satu di daerah selatan yang dijuluki Lam-kiang-it-ki, bukan saja lengan tembaganya lihay luar biasa, kepandaian silat lainnyapun terhitung kelas wahid di-kalangan Bu-lim. 

Tapi di luar dugaan bahwa ke-dua orang baju hijau yang dihadapinya sekarang juga gembong2 aliran hitam pilihan, ilmu silatnya sudah tentu tidak lemah.

Serang menyerang berlangsung dengan gencar, ketiganya tanpa menggunakan senjata, tapi pertempuran ini jauh lebih berbahaya dan sengit dari adu senjata. Gebrak dilakukan dalam jarak dekat -semakin tempur semakin sengit, sedikit lena tentu jiwa terancam, tidak mati juga pasti terluka parah.

Dalam sekejap 30 jurus telah berlalu. Sema-kin bertempur Thong-pi-thian ong semakin murka.. tapi juga semakin kaget, tadi dia mengira dalam 30 jurus pasti dapat mengalahkan kedua lawan-nya, tapi kenyataan kedua lengan besi lawan dapat bekerja sama sedemikian baiknya, serangan-pun gencar dan ganas. Setelah 30-an jurus ini ternyata dirasakan bahwa Lwekang sendiri semakin susut.

Sudah tentu keadaan ini semakin menciutkan nyali dan perbawanya, sekaligus menyadarkan benak-nya pula bahwa secara tidak disadarinya tadi dirinya sudah dikerjai oleh Hian-ih-lo-sat. Mendadak dia menggerung gusar, lengan tembaga sebelah kanan terayun ke atas, dari kelima ujung jari tembaganya itu serempak menyemperot keluar lima jalur air kuning yang deras.

Kiranya buatan lengan tembaga sebelah kanan Thong-pi-thian-ong lebih ringan, di dalamnya ada selongsong yang berisi air beracun, asal tekan tombolnya, air beracun akan menyemprot dari lubang di ujung jari. Semprotan air kuning itu dapat mencapai setombak jauhnya, sekali kulit badan manusia kena kesemprot, daging seketika membusuk. Apalagi serangan ini sering dilancarkan secata mendadak. maka ganasnya luar biasa.

Agaknya kedua laki2 baju hijau secara diam2 telah dikisiki Hian-ih-lo-sat dengan ilmu mengirim gelombang suara, begitu lengan kanan Thong-pi-thian-ong terayun ke atas, serempak dengan cepat luar biasa mereka melompatjauh menghindarkan diri. Begitu air kuning itu menyemprot bagai kabut tebal melanda ke empat penjuru, kedua orang itu-pun sudah mundur setombak lebih.

Maka terdengarlah suara mendesis ramai, air kuning itu muncrat bertaburan di atas tanah dan seketika menimbulkan kepulan asap kuning yang baunya teramat busuk. untunglah angin pegunungan lekas sekali meniupnya buyar.

Melihat semprotan air beracunnya gagal, amarah Thong-pi-thian-ong semakin memuncak, ia menuding Hian-ih- lo-sat dan membentak: "Sundel, berani kau kerjai Lohu?"

"Baru sekarang kau tahu" jengek Hian-ih-lo-sat cekikikan.

Berkerutuk gigi Thong-pi-thian-ong, hardiknya bengis: "Keparat, mampuslah kau, empat titik kemilau kuning laksana emas mendadak menjiprat ke keluar laksana sambaran kilat, itulah selongsong jari2 tembaga yang dia pasang pada ujung jari tangannya. 

Maka terdengar Hian-ih-lo-sat menjerit kaget, mendadak tubuhnya roboh ke belakang. Thong-pi thian-ong tertawa dingin, ejeknya: "Perempuan jalang, sebetutulnya tiada niat Lohu, membunuhmu, kau sendiri yang cari mampus, jangan salahkan Lohu kejam!"

Sembari bicara segera ia hendak memungut kembali selongsong jari tembaga, mendadak kepalanya pusing, badan yang sudah terbungkuk hampir saja jatuh terjerembab.

Pada saat yang sama, kupingnya mendengar tawa ringan merdu, berbareng jalan darah di belakang batok kepalanya terasa sakit tertutuk. mata menjadi gelap. seketika dia jatuh tersungkur dan tidak ingat diri.

Hian-ih-lo-sat berdiri di belakang sambil tertawa cekikikan, di mana tangannya mengulap. dua orang segera maju mendekat, kata mereka sambil meluruskan kedua tangan: "Siancu ((dewi) ada perintah apa?"

Hian-ih-lo-sat mengeluarkan sebuah botol porselin kecil serta menuang sebutir pil warna hijau, gelap. Diangsurkannya kepada kedua orang baju hijau, katanya: "Minumkan obat ini kepadanya."

Laki2 baju hijau sebelah kiri mengiakan, dia terima obat pil itu serta pencet dagu Thong-pi-thian-ong, pil itu terus dia jejal ke mulutnya. Hian-ih-lo-sat tertawa puas, katanya: "Bawa dia, sekarang kita boleh pergi"

oooooooooo

Sepanjang jalan Ling Kun-gi ber-lari2 kencang, waktu terang tanah dia sudah tiba di cin--siang, ia cari hotel terus masuk kamar, ia duduk semadi sampai lupa keadaan sekelilingnya.

Waktu mengakhiri semadinya, haripun sudah dekat tengah hari, kepada pelayan ia minta diantar makanan ke dalam kamar, setelah kenyang dia salin pakaian, menyoreng pedang, setelah bayar rekening terus berangkat.

Tengah hari ramai orang yang berlalu lalang dijalan raya, sudah tentu tak mungkin dia mengembangkan Ginkang, tapi dari cin-siang sampai ke Siau-sian, jaraknya kira2 ada 200 li, ter-paksa dia beli kuda untuk menempuh perjalanan jauh ini.

Kuda dibedal terus sampai kehabiaan tenaga dan berbuih mulutnya, sebelum magrib dia tiba di sebuah dukuh kecil, letaknya tidak jauh dari Pat-kong-san. 

Kebetulan di pinggir jalan ada sebuah gubug yang mengibarkan panji bertuliskan "arak", kiranya warung arak tempat orang berteduh dari terik matahari dan sekedar istirahat. Setelah menempuh perjalanan setengah hari, lapar dan dahaga perut Ling Kun-gi, maka dia tambat kuda pada pohon di luar warung terus memasuki warung arak itu.

Tampak seorang laki2 berpakaian kasar tengah membersihkan meja. Kiranya hari menjelang magrib, pejalan kaki buru2 melanjutkan perjalanan masuk kota, maka keadaan warung ini sepi.

"Pelayan, masih ada makanan apa, lekas keluarkan," begitu masuk Kun-gi terus minta makanan serta memilih tempat duduk.

Pelayan mengawasi Kun-gi sejenak. sahutnya: "Tuan tunggu sebentar, makanan masih ada" buru2 dia berlari masuk.

Melihat langkah orang enteng dan gesit, diam2 tergerak hati Kun-gi, batinnya: "Pakaian pelayan ini kelihatan kasar, gerak- geriknya kurang memadai, langkahnya gesit lagi, tempat ini sudah tidak jauh dari Pat-kong-san, bukan mustahil ini mata2 musuh? Aku harus berlaku hati." Demikian dia lantas waspada.

Lekas sekali pelayan tadi sudah keluar mem-bawa sepoci air teh dan sebuah cangkir, katanya sambil seri tawa: "Tuan, silakan minum dulu, bak-pau dan pangsit di warung kami memang selalu sedia, sebentar lagi selesai dipanasi."

Kun-gi manggut2, katanya: "Ada makanan apa pula boleh kau keluarkan saja."

Pelayan meng ia kan terus berlari masuk pula. Walau kerongkongan merasa kering, tapi Kun-gi tidak berani segera minum, ia keluarkan kantong sulam pemberian Un Hoan-kun dan ambil sebutir Jing-sim-tan terus dikulum dalam mulut, lalu dia tuang secangkir teh dan ditenggak habis.

Tak lama kemudian pelayan sudah keluar membawa sepiring pangsit dan bakpau, katanya tertawa: "Tuan silakan mencicipi dulu."

Setelah meletakkan piring, matanya mengerling, dilihatnya Kun-gi sudah menghabiskan secangkir teh, seketika wajahnya menunjuk rasa senang. 

Tersipu2 dia ambil poci serta menuang pula secangkir untuk Kun-gi, katanya tertawa: "Tuan menempuh perjalanan jauh, tentu haus, daun teh warung kami adalah Lo-san-teh keluaran Pat-kong-san yang segar dan nyaman rasanya, warnanya memang tidak sedap dipandang, tapi kental dan nikmat, cocok untuk menghilangkan dahaga."

Melihat gerak-gerik orang serta tutur kata-nya, Kun-gi tahu di dalam air teh pasti ditaruh apa2, namun dia sudah telan Jing-sin-tan, tak perlu takut muslihat orang, maka dia manggut2, kata-nya "Air teh ini memang enak rasanya." 

Secangkir penuh kembali dia tenggak habis, lalu bak-pau dan pangsit ganti berganti dia gasak pula.

Melihat secangkir teh habis pula, semakin riang hati pelayan, lekas dia tuang penuh pula se-cangkir. 

Sekejap saja Ling Kun-gi sudah lalap-habis sepiring bakpau dan pangsit, air tehpun entah sudah berapa cangkir masuk ke perut, katanya sambil angkat kepala: "Berapa duitnya?"

Habis berkata tiba2 dia pegang kepala sambil mengeluh ringan, katanya: " celaka, kenapa kepalaku jadi pusing?"

Sejak mula pelayan berdiri di samping melayaninya, segera dia unjuk seri tawa, katanya: "Mungkin tuan ter-buru2 menempuh perjalanan, badan penat tentu kepala pusing."

Sambil mengawasi pelayan, Kun-gi berkata: "Tidak mungkin, barusan aku segar bugar, kenapa
mendadak. bisa pusing? Mungkin kau mencampur apa2 di dalam air teh?"

Beberapa patah kata terakhir diucapkan dengan suara tidak jelas, badan menjadi lemas, kepala tertunduk ke atas meja terus pulas.

Pelayan itu tiba2 tertawa lebar, katanya puas: "Anak muda, bila kau sadar, tapi sudah terlambat."

Dari dalam warung tiba2 berlari keluar seorang laki2 pula, serunya: "Sudah kau tundukkan bocah itu?"

Pelayan itu tertawa: "Obatnya kutaruh satu lipat lebih banyak dari biasanya, memangnya kuat dia bertahan? Bocah ini memang luar biasa kekuatannya, orang lain seteguk saja pasti semaput, tapi dia hampir menghabiskan sepoci dan sepiring bak-pau dan pangsit, cit-ya bilang dia tidak takut racun, tadi juga aku kuatir kalau dia kebal dari Tip- gau-bi (masuk mulut semaput, nama obat bius)."

"Kau tunggu dia sebentar, aku akan lapor kepada cit-ya," kata laki2 yang baru datang. Lalu melangkah keluar.

Sudah tentu semua percakapan mereka didengar oleh Ling Kun-gi. baru sekarang dia tahu duduk persoalannya, bahwa yang mengundang dirinya ke Pat-kong-san ternyata memang betul Tong cit-ya adanya. Sudah tentu dia tidak berpeluk tangan membiarkan laki2 itu pergi memberi laporan- Diam2 jari tangan kanan menjentik, sejalur angin segera menerjang punggung laki2 yang sudah melangkah ke-luar pintu. Seketika laki2 itu mematung kaku di ambang pintu karena tertutuk Hiat-tonya.

Melihat temannya berhenti di depan pintu, pelayan itu segera mendesak: "Katanya mau lapor kepada cit-ya, kenapa tidak lekas berangkat, kuda tunggangan bocah ini ditambat di luar pintu, apa pula yang kau tunggu?"

Karena Hiat-to tertutuk. badan kaku tak mampu bergerak, sudah tentu mulutnya juga kaku tak dapat bersuara. Keruan laki2 yang menyamar pelayan itu menjadi heran dan menggerutu: "Hai, cui-losam, kenapa kau?"

Baru saja selesai bicara, kupingnya tiba2 mendengar suara halus berkata: "Losam kemasukan setan, lekas kau saja yang lapor kepada cit-ya."

Pelayan berjingkat kaget seperti disengat kelabang, mata jelilatan mengawasi sekelilingnya, tapi dalam warung hanya Ling Kun-gi seorang dan tetap mendekam di atas meja, sudah semaput minum obat biusnya lalu siapakah yang berbicara?

Tahu ada gejala2 ganjil, dengan jeri dia ber-kata: "Siapa kau?" Hanya dirinya yang masih segar bugar di dalam warung, tiada orang lain, sudah tentu tiada orang yang menjawab pertanyaannya.

Dengan membusungkan dada memperbesar nyail, pelayan ini menjura keempat penjuru, katanya keras: "Sahabat dari manakah yang bicara dengan cayhe? Kami dari keluarga Tong di Sujwan, atas perintah Tong cit-ya kami melakukan suatu pekerjaan di sini, mungkin sahabat kebetulan lewat, umpama air sungai tidak bercampur air sumur, kuharap sahabat tidak mencampuri urusan kami."

Kun-gi angkat kepala serta berkata tertawa: "Aku akan memberi ampun padamu, asal kau mau bicara terus terang."

Sudah tentu nelayan itu berjingkrak kaget pula, serunya dengan terbeliak: "Kau . . . . kau tidak semaput?" Ada niat lari, tapi entah mengapa kedua kakinya tidak mau turut perintah lagi.

Kun gi mengawasi orang dengan tertawa, ka-tanya, "Bukankah tadi kau bilang cit-ya mengatakan aku tidak takut racun? Kalau racun aku tidak gentar, apa lagi obat bius, memangnya aku gampang dibikin semaput?"

Gemetar badan pelayan itu, keringat dingin gemerobyos membasahi badannya.

"Saudara harap tenang2 saja, dihadapanku kau tidak bisa lari lebih tiga langkah," Kun-gi mem-peringatkan.

Laki2 itu memang tidak berani bergerak. katanya tergagap: "Toaya, kau kau tentu tahu, hamba hanya menjalankan perintah "

"Jangan cerewet, jawab pertanyaanku, di mana cit ya sekarang?"

"Cit-ya cit--ya sekarang berada di pat-kong- san."

"Pat-kong-san sebelah mana?"

"Di rumah keluarga Go."

"Siapa yang telah kalian culik?"

"Kabarnya seorang nona, dia adalah adik Toaya . ."

Heran hati Kun-gi, Entah nona siapa dan dari mana yang mereka culik, tapi orang mengatakan dia adikku? Maka iapun manggut2, katanya: "Baiklah, aku tidak akan menyakiti kalian, tapi kalian harus tetap di sini."

Sekali tuding dari kejauhan dia tutuk Hiat-to pelayan serta berkata dingin: "Hiat-to kalian hanya kututuk. setelah tengah malam nanti baru akan terbuka sendiri."

Dengan langkah lebar dia keluar dan cemplak kudanya terus dibedal ke arah Pat-kong-san..
Lekas sekali dia sudah tiba di Pat-kong-san, tampak sebuah jalan besar yang dialasi papan batu, rata memanjang langsung menuju ke rumah milik keluarga Go di atas gunung.

Hari sudah gelap, tapi mata Ling Kun-gi dapat melihat di tempat gelap. dilihatnya di depan ada sebuah hutan, di depan sana berdiri empat laki2 seragam hitam. 

Di sebelah belakangnya lagi adalah laki2 tua berjubah biru, usianya lebih dari setengah abad, kepalanya mengenakan topi yang bentuknya seperti semangka, mukanya kurus tepos, matanya bersinar terang, Thay-yang-hiat dikedua pelipianya menonjol, sekilas pandang orang akan tahu bahwa dia seorang jago kosen memiliki kekuatan luar dalam, Tangan laki2 tua bertopi memegang sebatang pipa cangklong panjang, sikapnya dingin, dengan seksama dia mengawasi Kun-gi tanpa bersuara.

Tetap duduk dipunggung kudanya Kun-gi berkata dengan sikap angkuh:
"Ada apa?"

Salah satu keempat laki2 seragam hitam bersuara: "Kau siapa dan mau ke mana ?" 

"Siapa aku dan mau kemana, peduli apa dengan kalian ?" 

Laki2 yang bicara menarik muka, katanya: "Kau tahu menjurus ke mana jalan ini?" "coba katakan, ke mana?"

"Jalan besar ini hanya menuju ke gedung keluarga Go." 

"Memang aku mau ke tempat keluarga Go."

Agaknya laki2 tua bertopi tidak sabar lagi, dia mengulap tangan menghentikan percakapan, katanya kepada Kun-gi: " Untuk keperluan apa tuan pergi ke tempat keluarga Go?"

Kun-gi tertawa dingin, jawabnya: " Untuk apa aku kemari? Kenapa kau tanya aku malah?"

"Kalau saudara tidak ingin kena perkara, kuharap lekas putar balik saja," ancam laki2 tua bertopi.

Menegak alis Kun-gi, tatanya: Justeru seba-liknya, keluarga Tong kalian yang sengaja cari perkara padaku."

Berubah air muka laki2 tua bertopi, katanya berat: "Setelah tahu siapa yang bertempat tinggal di tempat keluarga Go sekarang, tapi kau masih meluruk datang?"

Continue Reading

You'll Also Like

30.5K 4.1K 200
Dalam hal potensi: Bahkan jika kamu bukan jenius, kamu bisa belajar Teknik Misterius dan keterampilan bela diri. Kamu juga dapat belajar tanpa guru...
4.3K 534 157
Lanjutan dari Library of Heaven's Path Ch. 1001 - 2000
456K 3.5K 15
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
146K 1.7K 112
Pendekar Harum yang nama aslinya adalah Chu Liu Xiang (Coh Liu Hiang) adalah karakter yang diangkat dari novel karya Gu Long (Khu Lung) yang diterbit...