"Bukankah selama ini dia menjadi penghubung antara aku dan Mas Hanif?"

"Iya, itu benar, Naf. Masalahnya.. "

Bahkan untuk memberi tahu semuanya saja rasanya Hanif tak sanggup. Nafisah belum mendapatkan buktinya dan waktu yang di berikan sudah 1 bulan lebih lamanya. Apakah Hanif bisa terus-terusan menyembunyikam kenyataan Ivana yang sebenarnya?

"Mas Hanif! Jawab aku! Masalahnya apa?!"

Sesuai apa yang Nafisah rasakan. Ternyata benar. Ada sesuatu yang sedang terjadi tanpa ia ketahui sama sekali. Nafisah mulai panik.

"Jawab aku, apa.. Yang.. Sebenarnya.. Terjadi.. Soal, Ivana.. " tanya Nafisah sekali lagi, di akhiri dengan nada penuh tekanan.

"Ivana sudah mati."

"Apa?"

"Dia mati tertembak sewaktu di Italia. Mungkin saat itu dia tidak bersamamu. Aku yakin, dia pasti mendengar sesuatu yang penting sehingga nyawanya melayang."

Nafisah seperti tidak bisa berdiri dengan sempurna. Kedua kakinya langsung lemas. Perlahan, Nafisah memundurkan langkahnya dengan tubuh yang limbung. Tapi secepat itu juga ia berpegangan pada dinding.

"Di.. Dia.. Ivana.. Ivana sudah mati?"

"Iya Nafisah. Maaf baru memberitahumu. Kejadiannya memang sudah sebulan. Aku hanya tidak ingin menambah kecemasanmu waktu itu. Tapi setelah ini, kita sudahi saja."

"Maksud, Mas?"

"Nafisah, sungguh, aku tidak sanggup dan aku menyerah dengan rencanaku yang meminta tolong padamu selama ini. Aku akan melanjutkan tugas ini sendiri-"

"Ivana sudah mati. Berarti selama ini yang membalas pesanku dan berkomunikasi padaku siapa?" nada suara Nafisah terdengar getir, bahkan ketakutannya semakin menjadi-jadi.

"Apa katamu?" Hanif terbelalak kaget. Syok. Ia benar-benar syok! Ada yang tidak beres.

"Nafisah, aku perintahkan padamu untuk berhenti. Oke? Apalagi kamu belum menemukan bukti apapun dari Daniel kan? Aku rasa kamu tetap aman, Naf, identitasmu terjaga.."

Salah! Hanif salah besar.

Nafisah menggeleng lemah. Air mata menetes di pipinya. Rasanya ia ingin berteriak dan menyalahkan Hanif. Tapi, bukankah sejak awal ia juga salah karena mau menerima rencana ini? Panggilan sudah berakhir, Nafisah sadar, seseorang di luar sana sudah mengetahui siapa dirinya.

****

Karena penasaran siapa yang memegang ponsel Ivana, akhirnya Nafisah berinisiatif mencari tahu sekaligus penasaran.

Nafisah : "Ivana, bisa kita bertemu sekarang?"

Pesan singkat dari Nafisah baru saja masuk. Sementara wanita berlipstik merah itu hanya tersenyum sinis.

"Ck, ini sudah kesekian kalinya dia minta bertemu."

Alih-alih membalas pesan Nafisah, wanita itu malah menghubungi seseorang.

"Ada apa?"

"Ini sudah ke 5 kali dia mengajakku bertemu. Jadi apa yang harus aku lakukan? Aku sudah bosan harus berbohong terus!"

Pria di seberang panggilan itu tertawa geli. "Kau jangan bosan, manis. Jika pekerjaanmu ini berakhir, maka hubungan one night stand kita juga akan berakhir. Bagaimana, kau mau malam-malam kesenangan kita juga ikutan selesai?"

"Justru kau yang ingin mengakhirinya setelah mendapatkan kehormatan gadis itu! Cih, bilang saja kau sudah bosan denganku, Marcello."

"Kau sangat pintar untuk mengetahuinya. Sekarang gadis asia itu sepertinya membuatku teralihkan darimu. Maaf membuatmu kecewa."

Suara Marcello terdengar sok dramatis. Dan wanita berlipstik merah ini tahu benar kalau Marcello adalah benar-benar pria playboy brengsek. Pria yang tak pantas di harap apalagi soal urusan cinta.

"Hentikan, kau menganggumiku hanya di atas tempat tidur. Dasar laki-laki bajingan.."

Marcello tertawa nyaring. Setelah panggilan berakhir wanita itu akhirnya memberi balasan pesannya pada Nafisah.

****

"Tenang Nafisah tenang.. "

Nafisah mencoba untuk tidak panik. Kalau sebelumnya Hanif menyuruhnya berhenti, maka maaf sekali Nafisah tidak bisa menuruti perkataan itu.

Masalahnya, Nafisah harus mencari tahu siapa yang sudah menjebaknya seperti ini walaupun terlalu beresiko untuk di hadapi.

Pesan notifikasi masuk bertepatan saat Nafisah tiba di sebuah bangunan bertingkat yang kebetulan tidak selesai dalam proses pembangunan. Lokasinya jauh dari keramaian kota sesuai dengan share lock yang di beri tahu Ivana palsu.

Nafisah meneguk ludahnya dengan gugup sembari mengedarkan pandangannya. Tapi Nafisah tidak menunggu waktu hingga 1 menit kedepan begitu kedua matanya menatap seorang wanita berdiri menunggunginya.

"Sejak kapan Ivana lebih tinggi dariku?"

Yang Nafisah ingat, tinggi Ivana sama seperti Zulfa. Tapi secepat itu juga Nafisah memejamkan kedua matanya sembari berkacak pinggang.

"Ya ampun, aku lupa kalau Ivana memang sudah tidak ada. Yang berdiri disana sudah jelas bukan Ivana."

Maka Nafisah pun akhirnya mengeluarkan ponselnya, menghubungi wanita itu dari jarak kejauhan. Rasanya ia ingin melampiaskan amarahnya pada wanita itu karena sudah berhasil menjebaknya. Cepat atau lambat, Nafisah harus bertindak kalau perlu membuat kesepakatan agar kejahatan Daniel tidak bocor sampai ke pihak kepolisian.

"Halo, Ivana, ini aku ada di-"

"Sekarang aku mengerti kenapa Marcello benar-benar membenci keberadaanmu."

Tiba-tiba suara sahutan panggilan itu  terdengar seorang pria. Kedua telinga Nafisah juga mendengar secara bersamaan antara panggilan di ponsel dan suara nyata yang ada di belakangnya.

Suara yang sangat Nafisah kenali siapa pemiliknya. Perlahan, Nafisah menurunkan ponselnya meskipun panggilan itu masih terhubung. Nafisah membalikkan badannya. Apa yang ia takutkan akhirnya terjadi.

Pria itu berdiri dengan tatapan yang terluka meskipun ponsel yang ia pegang masih ada di dekat telinganya. Tidak ada lagi raut wajah ramah dan senyuman meneduhkan itu yang biasanya mampu menggetarkan jiwa dan hati seorang Nafisah.

"Mas Daniel?"

****

😔 Dulu Nafisah yang terluka. Sekarang, malah dia yang ngelukain perasaan orang yang mulai membuatnya jatuh cinta :(

Makasih sudah baca. 1 atau 2 chapter lagi akan bersambung ke cerita baru 😊

Jgn lupa follow IG lia_rezaa_vahlefii aku untuk lihat spoiler next chapter nya bsk ya, Terima kasih 🙏🥰

Mahram Untuk NafisahDonde viven las historias. Descúbrelo ahora