Chapter 25

8.5K 752 39
                                    

Nafisah terdiam menatap dirinya di cermin. Apa yang telah terjadi, semua sudah kehendak Allah. Tatapan Nafisah beralih ke area lehernya. Disana, masih ada bekas merah yang Daniel tinggalkan disana. Tatapan Nafisah begitu datar. Ia benci kenapa dari sekian banyak wanita di dunia ini, kenapa harus dirinya yang menjadi pilihan pria itu?

Nafisah menundukkan wajahnya. Ia terisak pelan. Astaga, tiada hari tanpa menangis. Menangis lagi menangis lagi. Sudah jelas, semua ini akibat hubungannya dengan pria yang tidak berperasaan. Kenapa makhluk yang namanya pria suka menyakitinya?

Nafisah frustasi. Mengusap kasar lehernya. Berharap jejak menjijikan itu bisa hilang walaupun pasti akan membutuhkan waktu. Merasa gagal, Nafisah marah. Ia menghambur semua yang ada di meja rias penginapan tersebut. Beberapa benda berjatuhan ke lantai.

"Kalau tidak mengingat Allah, rasanya aku akan bunuh diri saja..."

Dengan amarah yang sudah tak bisa Nafisah bendung, akhirnya Nafisah melempar Vas bunga tersebut ke lantai. Pintu terbuka lebar, Zulfa syok.

"Nafisah! Ya Allah..."

Buru-buru Zulfa merengkuh Nafisah yang rapuh. Ia membantu Nafisah berdiri, mencoba menjauh dari semua kekacauan ini dengan duduk di pinggir ranjang. Zulfa memeluk erat tubuh Nafisah yang bergetar hebat. Mungkin karena sesama perempuan, akhirnya Zulfa tak mampu membendung air matanya sendiri.

"Naf, sudah. Kamu membuatku sedih... "

"Laki-laki brengsek itu yang sudah buat aku begini. Aku terpikir untuk meminta kematian pada Allah agar menyudahi semua hal pahit ini."

"Enggak, nggak, jangan Nafisah.." Zulfa memegang kedua pipi Nafisah. Saling menempelkan dahi. "Jangan meminta kematian. Ingat hadist yang di riwayatkan oleh Bukhari Muslim Abu Daud dan Tirmidzi yang kita dengar saat pengajian waktu itu di mesjid?"

"Jangan sekali-kali ada orang di antara kalian menginginkan kematian karena tertimpa suatu bencana. Namun, jika sangat terpaksa, maka sebaiknya ia mengucpkan doa: ‘Ya Allah, biarkanlah aku hidup sekiranya hidup itu lebih baik bagiku dan matikanlah aku sekiranya kematian itu lebih baik bagiku’.” tambah Zulfa lagi.

Zulfa kembali memeluk Nafisah erat. "Aku tahun semua itu berat. Tapi kita bisa lewatin ini bersama. Ada aku, Naf. Sejak 5 tahun yang lalu kita pertama kali bertemu dan berteman baik, aku sudah menganggapmu seperti sahabat. Kamu tahu nggak sih? Selain aku anak tunggal, seumur hidup dari jaman kecil sampai sekolah, aku belum pernah sedekat ini sama seorang teman. You're first for me. My bestie.."

Nafisah tidak tahu harus bereaksi apa. Apa yang Zulfa lakukan mengingatkannya pada masalalu yaitu almarhumah sahabatnya yang telah meninggal bernama Alina. Dan Nafisah merasa kalau Zulfa sama seperti Alina. Zulfa sudah baik padanya selama 5 tahun ini. Tapi apa yang di katakan barusan benar, semua ucapan Zulfa membuat hatinya perlahan memghangat.

"Terima kasih.. " ucap Nafisah akhirnya. "Aku nggak tahu harus apa kalau kamu nggak ada."

"Sudah jangan nangis." Zulfa menghapus air mata di pipi Nafisah. Nafisah tertawa pelan. Kedua mata Zulfa menatap leher Nafisah yang merah. Ia tahu itu tanda kissmark. Zulfa menatap Nafisah penuh simpatik.

"Aku harap Daniel segera di tangkap sama pihak kepolisian, Nafisah.."

*****

Mahram Untuk NafisahWhere stories live. Discover now