Chapter 32

3.4K 485 57
                                    


Zulfa menatap Daniel dengan sinis setelah pria itu membukakan pintu untuknya. Daniel sadar, tapi ia memilih tidak perduli.

"Ya Allah Nafisah!!! Dengan cepat Zulfa mendekati Nafisah. Duduk di sebelah wanita itu. "Kamu baik-baik aja, kan? Hati kamu gimana? Aman?"

Nafisah tersenyum meskipun wajahnya masih pucat. "Jangan berlebihan. Alhamdulillah aku baik."

Tak tinggal diam, Zulfa langsung memeluk Nafisah. Seperti takut kehilangan. Karena wanita ini adalah bestie yang sudah ia sayangi. Nafisah sampai terkejut dengan pelukan Zulfa yang sangat tiba-tiba.

"Jangan membuatku takut, Naf. Kamu tahu nggak? Begitu melihat tanganmu yang terluka, darah banyak, sampai netes-netes kemana-mana. Rasanya aku mau pingsan. Bukan takut sama darah, tapi aku nggak bisa bayangin bagaimana kehilangan dirimu."

Nafisah mengelus pelan punggung Zulfa. "Maaf. Aku khilaf. Aku menyesal sudah melakukan tindakan bodoh itu."

Zulfa menatap Nafisah lagi. Kini mereka saling melepas pelukan. "Janji ya, jangan begitu lagi?"

"Kita ini bestie. Semenjak kita berteman selama 5 tahun, aku sudah menganggapmu saudara sekandung, sedarah, walaupun beda rahim."

"Ah, kenapa kamu begitu sweet? Sayang sekali wanita menggemaskan ini belum ada calonnya. "

Zulfa merengut. "Untuk sekarang aku nggak mikir calon. Untuk apa? Malah bikin puyeng hati dan pikiran."

"Jadi Hanif sudah bikin kamu puyeng?" tebak Nafisah tepat. Zulfa mengerutkan dahinya, ia mengangkat dagunya dengan sombong. "Dih, Hanif? Allahuakbar.. Please deh, Naf. Pria gagal move on percuma di deketin, males, bikin makan hati.. "

"Jadi bener nih?"

"Apanya yang bener?" skeptis Zulfa.

"Kamu suka sama Hanif?"

Zulfa terdiam sesaat. Tapi secepat itu ia mengubah topik pembicaraan. "Kok kita bicarain dia sih? Daripada bicarakan dia, mending kita tanya deh hati kamu. Ini hati gimana? Aman?"

Nafisah terdiam lagi. Hatinya? Aman? Tentu saja tidak! Alih-alih berkata jujur, Nafisah tersenyum tipis.

"Aman, tenang. Sudah aku gembok biar siapapun nggak ada yang bisa buka."

"Benarkah?" Tiba-tiba suara Daniel menyahut. Astaga, hampir saja Nafisah dan Zulfa lupa kalau Daniel masih ada di ruangan situ. Daniel bersedekap, bersandar di dinding.

Dan Nafisah yakin, siapapun yang melihat Daniel sekarang, pasti akan memuji ketampanannya. Bahkan cara berdirinya saja sudah mirip seperti model pria tampan able yang siap menjalani pemotretan. Nafisah merasa kesal, sampai-sampai ia menyenggol tangan Zulfa menggunakan kakinya yang tertutup selimut. Merasa tidak suka kalau Zulfa menatap Daniel sampai segitunya. Zulfa sadar, menoleh ke arah Nafisah. Tatapannya seperti

Kenapa sih?

"Kenapa menyahut?" alih-alih mengabaikan Zulfa, Nafisah memilih sinis terhadap Daniel. "Ini obrolan para wanita. Pria tidak boleh ikut!"

"Hati dan perasaanmu memang di gembok. Hanya bibirnya saja yang masih bisa terbuka untuk mengomel denganku." Daniel menatap Zulfa dan Nafisah bergantian."

Dan Daniel sekarang terlihat sombong. "Kalau tidak, mana mungkin kamu bisa membalas ciuman romantis dariku."

"Daniel!" Nafisah melotot, pipinya merona merah. Merasa malu apalagi itu adalah privasinya bersama Daniel. Zulfa sampai melongo dengan wajahnya yang lebay penuh ke dramatisan.

Mahram Untuk NafisahWhere stories live. Discover now