Chapter 44

3K 508 33
                                    

Flashback, beberapa jam sebelum Nafisah pergi ke Negara tempat dimana Ayah Alano tinggal...

*
Saat itu, Hanif alias Axel sedang menjenguk Nafisah dirumah sakit, berbicara berdua dengan Nafisah

"Kemana Daniel? Belum nyampe kesini setelah asik berdua-duaan dengan Sofia di cafe?"

"Aku tidak tahu."

"Lah, bukankah dia suamimu? Mestinya tahu dong dianya kemana." nada suara Hanif terdengar sensi. Tapi sebenarnya Nafisah juga sadar kalau sepupunya ini terselip rasa cemburu.

"Kenapa Mas Hanif ingin tahu? Tanya aja sama dia! Kenapa jadi ke aku?"

"Kamu istrinya. Salahnya dimana?"

"Hanya di surat dan status. Tapi tidak dengan urusan hati."

"Cemburu nggak nih, sama hasil jepretan foto yang aku kirim tadi?"

"Enggak, B aja."

Hanif tertawa kencang. Dan Nafisah kesal karena Hanif bukannya menjenguk dan mendoakannya agar cepat sembuh justru malah memanas-manasinya.

Setelah itu, baik dan Hanif keduanya sama-sama terdiam satu sama lain. Saat ini keduanya berada di taman rumah sakit.

Nafisah menatap punggung tangannya yang sudah terpasang plester dari rumah sakit. Tanda kalau bekas jarum infus di tangannya sudah tercabut. Siang ini ia di perbolehkan pulang ke rumah. Sementara Papanya dan Daniel belum datang, maka buru-buru Hanif berinisiatif mendatangi Nafisah lebih awal.

"Kamu bisa menolaknya. Bawa perkara ini ke pengadilan. Katakan kalau kamu tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Mudah kan?"

"Mudah katamu? Yang benar saja! Semua ini tidak mudah seperti yang di lihat. Apalagi Daniel pilihan Papa. Aku yakin Papa ada alasan lain kenapa tiba-tiba nikahin aku dengan pria itu meskipun tidak bertanya padaku terlebih dahulu."

"Jadi apa rencanamu?"

"Aku tidak tahu." Nafisah menatap ke arah depan dengan pandangan sendu. Perjuangannya selama 5 tahun menyembuhkan hati yang terluka sepertinya sia-sia. Hanif sendiri juga diam, duduk di sebelah Nafisah sambil menatap Danau yang di beri pembatasan pagar dan posisinya ada di belakang rumah sakit.

"Aku bisa membantumu."

Nafisah terlihat tidak bersemangat saat ini. Semua karena hati dan keadaan yang memaksanya untuk kembali menjalani pernikahan yang mengejutkan dan tidak di inginkan

"Kamu sudah tahu identitasku, Pekerjaan yang sudah 5 tahun ini aku lakukan tanpa di ketahui siapapun."

"Termasuk Pak De dan Bude?"

Hanif mengangguk. "Iya. Kamu orang pertama yang mengetahuinya."

"Apakah tidak ada pekerjaan lain selain itu? Kenapa harus menjadi intel sih?"

Hanif hanya tersenyum tipis. Sejujurnya ia tidak ingin menjelaskannya pada Nafisah. Alih-alih menjawab pertanyaan Nafisah, ia memilih memposisikan dirinya menghadap Nafisah.

Mahram Untuk NafisahWhere stories live. Discover now