Chapter 48

7.7K 867 52
                                    

Daniel menatap jam di pergelangan tangannya. Saat ini ia sedang berada didalam mobil. Sementara Marcello seperti biasa berada di sampingnya sambil mengemudikan mobilnya.

"Istrimu akan baik-baik saja, Adelard. Jangan khawatir."

"Bagaimana aku bisa tenang kalau kepala pelayan di mansion bilang istriku terlihat duduk bersama Claire?"

"Hanya duduk dan minum teh. Aku rasa tidak ada yang perlu di khawatirkan."

Daniel ingin menyela, tapi Marcello lebih dulu menanggapinya dengan senyuman santai.

"Jangan menganggap istrimu wanita yang tidak bisa apa-apa. Aku yakin dia tidak selemah itu apalagi takut. Seperti yang aku lihat, dia wanita pemberani termasuk mengambil resiko dengan menerima dirimu sebagai seorang suami." Marcello blak-blakan menyindir Daniel. Seperti sudah mengetahui gelagat Nafisah.

"Maksudmu?"

"Kau akan tahu."

"Suatu saat.." Lanjut Marcello dalam hati.

Butuh waktu kurang lebih 15 menit akhirnya Daniel tiba di mansion Alano. Seperti biasanya, kesunyian menyambut dirinya. Mansion sebesar ini jarang sekali di penuhi oleh suasana keakraban semenjak Orla tiada.

Dulu, sepulang Daniel dari luar rumah, sang Ibu menyambutnya. Bertanya padanya apakah sudah makan atau belum. Kalaupun sudah, maka Orla tetap memaksanya untuk menuju ruang makan untuk makan bersama. Kehangatan itu, membuat Daniel merindukannya.

Daniel menghela napas dengan kasar. Tersenyum miris mengingat semua itu. Tiba-tiba ia juga teringat Nafisah. Sepanjang jalan ia melangkah menaiki tangga utama mansion menuju lantai dua, Daniel sibuk memikirkan hal tadi. Berharap kalau pulang ke rumah, Nafisah menyambutnya hangat. Bertanya pada nya apakah sudah makan atau belum. Atau mungkin apakah kamu ingin secangkir teh atau kopi?

Tapi kenyataannya tidak. Nafisah tidak pernah melakukan itu padanya semenjak mereka menikah. Lagi, Daniel memaksakan senyumnya. Sadar kalau inilah resiko yang di hadapinya. Yaitu memaksa Nafisah hidup bersamanya, tanpa di awali dengan rasa suka apalagi mencintainya.

Dan Daniel akan berjanji pada dirinya sendiri, untuk berjuang meruntuhkan tembok tinggi yang telah di bangun Nafisah selama 5 tahun agar istrinya itu membuka hati padanya, seperti yang pernah mereka bahas sebelumnya.

"Daniel?"

Semua apa yang Daniel pikiran sejak tadi buyar ketika Evelyn memanggilnya. Padahal pria itu baru saja hendak menaiki tangga kedua.

"Ada apa?"

"Aku baru belajar membuat Baklava. Mau mencobanya?"

Daniel ingin menolak, dengan alasan bahwa dirinya lelah setelah urusan pekerjaan penyelidikannya dengan Marcello. Tapi sebelum Daniel menjawab, ternyata Evelyn sudah menyelanya duluan.

"Aku tidak ingin penolakan! Bukankah besok kau akan balik ke Indonesia? Anggap saja ini makan malam perpisahan."

Benar. Besok ia akan balik ke Indonesia bersama Nafisah. Sudah waktunya ia pulang. Bukankah sebentar lagi ia dan Nafisah akan melangsungkan resepsi pernikahan?

"Aku akan mengajak Naf-"

"Tidak!" Evelyn bersedekap sambil mengangkat dagunya. "Aku mau kau."

Mahram Untuk NafisahWhere stories live. Discover now