Chapter 27

8K 740 34
                                    

DOR! 

Suara letusan senjata terdengar nyaring dan memekikkan telinga. Nafisah masih sama seperti sebelumnya, kedua matanya terpejam rapat. Tapi yang membuat Nafisah heran adalah kenapa tidak ada rasa sakit apapun di tubuhnya? Perlahan, Nafisah memundurkan dirinya ke belakang dan bersandar pada dinding yang begitu terasa dingin mengenai punggungnya.

"Argh!!"

Daniel menghampas pistolnya ke lantai. Merasa marah pada dirinya sendiri. Kenapa semua ini begitu berbeda? Kenapa ia merasa lemah didepan wanita asing ini? biasanya, jika sesuatu datang mengancamnya, maka Daniel tidak perduli siapapun lawannya. Hatinya seperti terkoneksi dengan wanita bercadar ini begitu dia menyebut namanya sewaktu didalam ballrom tadi. Daniel memilih untuk memunggungi wanita itu.

Ada apa dengan dirinya? peluru itu sengaja tidak arahkan ke wanita bercadar ini. Tetapi ia arahkan ke lantai yang ada di belakang wanita itu.

TOK! TOK! TOK!

"Nafisah? apakah kamu di dalam? ini aku, Zulfa." Suara gedoran pintu utama toilet terdengar. "Apakah kamu di dalam sana? Aku sempat meminta tolong ke bagian area cctv untuk melacak keberadaan dirimu. Hasil rekaman terlihat dengan jelas kalau kamu berlari memasuki toilet pria. Ya ampun Naf, apa yang sudah kamu pikirkan?! Kenapa harus ke toilet laki-laki? Jangan membuatku khawatir dan sulit mencarimu. Kamu lupa, kalau kamu sudah membuang ponselmu ke sungai?"

Tidak ada jawaban apapun dari Nafisah. Sekarang, rasanya ia ingin menjewer telinga Zulfa kenapa dia bisa datang terlambat menyelamatkan situasinya!? Sudah begitu blak-blakan pula bicara semuanya.

Daniel langsung menoleh ke belakang dengan cepat begitu mendengar semuanya. Di lihatnya Nafisah sekarang merubah posisinya dengan meluruh ke lantai sambil duduk memeluk lututnya sendiri. Nafisah menyembunyikan wajahnya dan terisak disana. Dan Daniel menyesal, kenapa ia sudah melakukan semua ini pada wanita yang di cintainya? Daniel mendekati Nafisah, ia bersimpuh, menyamakan posisinya dengan wanita lemah ini.

"Sekarang aku sadar, kenapa sekarang aku begitu lemah di depan seorang musuh." Daniel menyentuh pelan bahu Nafisah. Tubuh wanita itu terasa bergetar kecil. "Seolah-olah hatiku seperti terhubung denganmu bagaikan magnet. Dan ternyata benar, hampir saja aku melakukan tindakan bodoh yang dapat membuatku menyesal seumur hidup. Belum pernah aku melihat seorang musuh yang mudah menyerah begitu saja ketika terancam, itu yang aku lihat sekarang. Kamu terlihat pasrah."

Akhirnya Nafisah mengangkat wajahnya. Terlihat jelas kalau cadarnya sudah basah oleh air mata "Aku kiriman. Kenapa tidak menembakku saja?"

"Nafisah?!!" TOK ! TOK ! "Ayo cepat keluar. Semua sudah aman. Kejadian di ballroom tadi murni kesalahan teknis karena ada korsleting listrik. Kamu tidak mau kan, penyamaran kamu ketahuan sama Daniel? Sudah cukup kita ingin memukul wajahnya begitu melihatnya bersama wanita lain. Jangan menambah beban pikiran kita, Nafisah!!"

Nafisah dengan sikapnya yang masih keras kepala. Sudah jelas kalau wanita yang mengetuk pintunya diluar sana adalah Zulfa dan sedang mencarinya. Tapi masih saja Nafisah tidak mau mengakui dirinya. Dan rasanya Nafisah ingin menyumpal mulut Zulfa saat ini juga!

Astaga, tamatlah riwayatnya..

Perlahan, Daniel melepaskan ikatan cadar Nafisah yang sempat menundukkan wajahnya. Setelah terlepas semuanya, terlihat jelas kalau Nafisah sedang menangis. Daniel menatapnya sendu. Ia memegang dagu wanita itu dan membuatnya saling bertatapan.

"Maafkan aku, aku membuatmu takut." Daniel menghapus air mata di pipi Nafisah. "Benar. Kamu adalah kiriman. Kiriman tulang rusuk yang bengkok untuk melengkapi hidupku yang menyedihkan ini." Daniel memegang kedua pipi Nafisah, jarak wajah mereka begitu dekat.

Mahram Untuk NafisahWhere stories live. Discover now