Chapter 51

3.1K 570 38
                                    

"Alhamdulillah. Akhirnya kita pulang..." Nafisah mendesah pelan dengan rasa lelahnya. Pakaian masih melekat pada tubuhnya, tetapi Nafisah langsung merebahkan dirinya ke atas tempat tidur.

Daniel melihat ke arah Nafisah. Tersenyum pelan begitu istrinya itu berbaring terlentang, sementara sebagian wajahnya di tutupi lengannya.

Tiba-tiba Nafisah merasakan sesuatu begitu Daniel malah membuka kaus kakinya di atas tempat tidur tanpa di mintain tolong sebelumnya.

"Daniel aku bisa sendiri.." tolak Nafisah, mencoba untuk bangun tapi Daniel mencegahnya tubuhnya lebih dulu.

"Tidak apa-apa. Bukankah istriku yang manis ini harus istirahat?"

Benak Nafisah langsung menghangat. Dengan telaten Daniel juga memijit telapak kakinya. Nafisah merasa nyaman. Seolah-olah Daniel begitu ahli dalam merelaksasi urat dan saraf pada kakinya.

"Bule ahli sekali dalam memijit. Boleh juga." goda Nafisah lagi, ia masih memejamkan kedua matanya sembari tersenyum.

"Bule juga manusia. Kamu lupa aku adalah suami yang bisa di andalkan?"

Nafisah ingin membuka mulutnya, menjawab lontaran suaminya yang memuji dirinya sendiri itu. Tapi lagi-lagi Daniel menyela lebih dulu.

"Termasuk membuatmu jatuh cinta. Itu tugasku. Selama hampir setengah bulan, apakah tembok jelek itu sudah runtuh, Hm?"

"Tembok jelek?" Nafisah langsung memposisikan dirinya untuk bangun. Wajahnya langsung masam. "Jadi maksud kamu aku jelek?"

"Kamu yang bilang ya, bukan aku. Kalau aku bilang tembok sialan jadi ucapan kotor, kan? Maka aku menyebutkan tembok jelek. Justru karena jelek itu harus segera ku singkirkan."

Daniel menatap Nafisah penuh kemenangan. Bahkan wajahnya terlihat sombong, sementara tangannya masih memijit kaki Nafisah. Sekarang pijitan itu perlahan naik ke bagian lututnya yang masih terbalut celana legging.

"Coba saja kalau bisa!" Nafisah memeletkan lidahnya dan kembali tidur. Baru saja Nafisah ingin tidur tiba-tiba perutnya terasa terguncang melilit. Seperti sesuatu yang penuh dan sesak ingin keluar melalui kerongkongannya. Saat itu juga Nafisah langsung bangun dan berlari ke toilet.

Lagi, Nafisah mual. Di saat yang sama Daniel juga kesal karena Nafisah terlalu keras kepala untuk periksa ke dokter.

"Mau sampai kapan begini?"

Nafisah tetap mual. Kepalanya pening
Peluh keringat membanjiri keningnya. Ia berdiri didepan wastafel, merunduk sambil mual-mual.

"Kalau mau berdebat sebaiknya jangan. Aku sedang tidak baik-baik saja."

"Sudah seminggu, kamu mual-mual begini. Katanya masuk angin. Tapi kenapa tidak sembuh-"

Nafisah memberi kode dengan mengulurkan tangannya untuk berkata 'stop jangan di lanjutkan' tanpa harus menoleh ke belakang.

Daniel menyerah. Ia tidak ingin mendebat lagi selain mendekati Nafisah sembari membantu membersihkan sedikit liurnya di ujung bibirnya menggunakan tisu. Daniel juga membantu Nafisah kembali memasuki kamar mereka. Setelah itu mengganti bajunya agar lebih nyaman.

"Tidurlah sejenak. Kamu butuh istirahat."

"Boleh di temani?"

Sesaat, Daniel merasa Nafisah tiba-tiba berubah menjadi manja dengannya. Reaksi yang di perlihatkan Daniel saat ini hanyalah mengerutkan dahinya hingga membuat Nafisah jadi kesal. Meskipun akhirnya Daniel berusaha menaham senyuman gelinya.

"Kalau nggak mau, sana pergi."

Merajuk. Nafisah merajuk. Tiba-tiba ia jadi sensitif dan penuh emosional. Ada apa dengannya? Pms kah? Tunggu, mendadak Nafisah ingat mengenai datang bulannya. Seharusnya minggu lalu dia haid kan? Kenapa belum haid juga? Semua pikiran itu sukses membuat Nafisah risau.

Mahram Untuk NafisahWhere stories live. Discover now