Beberapa jam yang lalu Nafisah menyuruh pelayan menyiapkan semuanya. Seperti niatnya sejak awal, memberi kejutan pada Daniel. Tapi sekarang, pria nggak tahu diri itu duduk santai sembari mengiris steak daging menggunakan pisau. Tapi tunggu, bukankah pria itu tadi di lantai bawah? Kenapa tiba-tiba secepat itu ada di sini?
Nafisah menggeleng pelan, memejamkan kedua matanya sembari bersedekap, salah satu tangannya memegang keningnya. Sadar kalau Daniel sejak dulu suka muncul tiba-tiba.

"Sudah selesai menguping di lantai bawah saat aku bersama Evelyn?"

Nafisah tersentak. Karena sudah ketahuan akhirnya ia mendekati meja dinner itu. Marah, ia masih marah dengan semua kelakuan Daniel yang tidak tahu diri.

"Menguping?" Nafisah gengsi mengakuinya. "Masih banyak kegiatan yang lebih bermanfaat yang harus aku lakukan ketimbang menguping."

Daniel menatap Nafisah dengan pandangan intimidasi, namun terkesan menggoda. Pria itu juga bersedekap, jakunnya naik turun. Bahkan ia menarik sudut bibirnya, tersenyum angkuh. Nafisah tidak terima.

"Lagian apa maksudmu menguping?!"

"Terima kasih makan malamnya. Aku suka kejutannya." alih-alih menanggapi Nafisah, Daniel malah tersenyum manis. Bahkan kelewat manis dan sanggup membuat Nafisah meleleh.

Tidak, dia harus kuat. Sudah menjadi resikonya memiki suami yang tampan dan seksi. Jadi ia akan terbiasa dengan semua pesona yang di berikan suaminya itu. Berbeda dengan reaksi yang di tunjukkan Daniel, pria itu malah membuka dua kancing kemeja hitamnya dan membiarkannya terbuka.

Panas. Pipi Nafisah memanas dan merona merah. Tidak, jangan sampai ketahuan. Lebih baik ia masuk kedalam sekarang juga. Tapi tiba-tiba Daniel mencegah kepergiannya, tanpa aba-aba langsung meraih pinggulnya dan memberinya ciuman. Kejutan. Ciuman ini seperti ucapan terima kasih untuknya. Dan juga kerinduannya terhadap Nafisah yang ia tahan seharian ini.

Nafisah terkejut, semua ini terlalu tiba-tiba. Mendadak otak Nafisah berhenti bekerja, begitu mendebarkan hatinya. Lagi, tembok itu terkikis perlahan. Hal-hal manis yang di lakukan Daniel terhadapnya sering kali membuat pendiriannya goyah.

"Maaf tidak bermaksud membuatmu cemburu. Tadi kami makan bertiga. Ada Omer, suami Evelyn. Lalu dia pergi menerima panggilan. Mungkin kamu menguping dan melihat di saat kami hanya berdua. Itu hanya kebetulan." bisik Daniel, tepat di depan bibir Nafisah.

Ntah kenapa perasaan lega langsung mengikis kemarahan Nafisah. Nafisah menatap iris biru laut Daniel yang memancarkan rasa cintanya yang besar untuknya. Nafisah tahu betul kalau Daniel mencintainya. Untuk menutupi semuanya, Nafisah tersenyum meremehkan.

"Oh ya? Untuk apa kamu menjelaskan sedetail itu padaku? Percayalah, aku tidak masalah sekalipun kamu makan berdua dengannya. Bukankah kalian saudara walaupun tiri?"

"Itu benar. Kami saudara tiri. Tapi bukan mahram kan? Khawatir ada yang memfitnah kalau kami sedang berdua, maka aku harus menjelaskannya padamu agar tidak salah paham. Bahkan setan pun bisa memfitnah seorang suami  agar istri nya itu seudzon pada suaminya sendiri. Jelaskan padaku, apa yang di katakan setan tadi di kepalamu? Apakah aku suami yang tak tahu diri duduk berdua dan makan malam bersama Evelyn?"

Nafisah terdiam. Kehabisan kata-kata. Ia ingin menjauh, tapi Daniel malah menahan pinggulnya semakin erat. Daniel benar, dengan melihat semuanya beberapa menit yang lalu Nafisah sudah menganggap Daniel adalah suami yang tidak tahu diri. Nafisah berusaha mengalihkannya.

Mahram Untuk NafisahWhere stories live. Discover now