47b. Melintasi Waktu (2)

253 75 18
                                    

Deka perlahan membuka mata sambil bertanya-tanya dalam hati apakah nyawanya masih berada di dalam badan. Setelah mengerjap beberapa kali, matanya mulai melihat dengan jelas. Pemandangan pertama yang tampak adalah daun-daun hijau, tinggi di sisi atas pohon. Ada berkas sinar matahari yang berhasil menerobos sela-sela dedaunan dan menimpa wajahnya. Rasa hangat itu membuat kesadarannya pulih dengan cepat.

Deka berusaha menggerakkan kepala. Ia mengerang karena lehernya terasa kaku. Kondisi ini seperti saat ia jatuh ke dunia masa lalu. Tangannya bergerak dan berusaha menggapai tempatnya terbaring. Ia bersyukur jatuh di tanah kering, di antara akar pohon besar.

Seiring dengan kesadarannya yang pulih, Deka teringat Urai. Seketika rasa kalut menyelimuti hatinya.

"Rai, Urai!" Deka berusaha bangkit sambil menahan rasa pening. Ia baru tahu telah mendarat di tengah hutan. Sejauh mata memandang hanya perdu dan pepohonan tinggi yang tampak.

"Raaaai!" panggilnya panik.

Deka memutari batang pohon besar itu. Ia menemukan Urai terbaring di salah satu sisi. Tubuhnya tergolek di antara akar pohon. Dadanya naik turun, menandakan gadis itu masih bernyawa. Ia segera berjongkok di sisinya, lalu mengguncang bahu gadis itu. "Rai, Rai! Kamu nggak pa-pa?"

Urai mengerang lirih sambil memegang kepala yang pening. Ia berusaha bangkit, namun posisi pantatnya terjepit di antara akar pohon. "Auch! Aku nggak bisa keluar!"

Deka mengalungkan lengan Urai ke bahunya, lalu merengkuh punggungnya. Wajah mereka berdekatan hingga pipi mereka bersentuhan. Detik itu juga, dada Deka bergemuruh, namun ia segera menepis perasaan itu. Dengan sekali usaha, ditariknya tubuh Urai keluar dari ceruk akar. Urai berhasil dikeluarkan, namun Deka belum rela melepaskan rengkuhan. Hal itu membuat Urai keheranan.

"Kodeka?" bisiknya. Matanya menemukan sorot teduh yang membahayakan irama jantung.

"Ada yang sakit?" tanya Deka. Ia heran sendiri suaranya berubah lembut. Apa benar ini dirinya yang dulu?

Urai dibuat merinding oleh nada aneh yang keluar dari mulut Deka. Ia segera mendorong dada Deka hingga lelaki itu terjengkang ke belakang. "Kamu kok jadi begini!" pekiknya.

"Hah?" Deka ternganga kaget. "Kamu kenapa, sih?" tukasnya, tak kalah nyaring.

"Kamu, kamu!" Urai mengerjap, mengamati lelaki di depannya. Aneh saja melihat Deka mendadak lembut dan menatap syahdu.

"Aku kenapa? Dibantuin malah ngamuk!" omel Deka. Matanya membulat lebar dengan kedua alis terangkat. Bibirnya menguncup, khas Deka bila kambuh penyakit judesnya.

Urai meringis. Kalau seperti ini, si Nyinyir Deka sudah kembali. "Aku cuma kaget," ucapnya asal.

Deka bangkit, lalu mengulurkan tangan untuk membantu Urai berdiri. Ia menyempatkan diri memeriksa badan gadis itu kalau-kalau ada luka atau serangga hutan menempel. Setelah yakin semuanya aman, ia membungkuk sedikit untuk membersihkan daun dan lumut dari kain tapih Urai.

Perhatian kecil itu ternyata sangat mengena. Pipi Urai sukses merona merah muda. "Aku baik-baik saja, Kodeka," bisiknya.

Suara lembut bernada dalam itu seketika menghentikan gerakan Deka. Ia menegakkan tubuh. Mata mereka pun beradu. Debar-debar di dalam dada kembali bertalu dan kini saling menyahut. Terdorong oleh perasaan, Deka mengusap lengan Urai dengan lembut. "Syukurlah."

Urai baru tahu Deka bisa mengusap selembut ini. Bibirnya sampai kebas. "K-kamu gimana?"

"Aku baik-baik aja," ucap Deka sambil menahan debaran dada. Ia hampir mencium pipi Urai, namun tidak jadi karena takut gadis itu mengamuk.

"Kita di mana?" tanya Urai. Diam-diam, ia ingin mencium pipi Deka yang kemerahan karena panas dan entah apa lagi. Namun, ia takut dikata-katai tukang nyosor.

Keduanya terpaksa meredam gemuruh hati dengan memandang sekeliling. Hutan itu sangat asing. Bukan hutan ulin di Matang Kaladan, bukan pula rawa-rawa gambut di Kapuas. Suasana pun sangat sunyi.

"Kodeka, kita sudah kembali ke zaman kitakah?" tanya Urai.

"Aku nggak tahu. Kita keliling, yuk."

Mereka menemukan tas ransel Urai di sisi lain pohon. Semua isinya masih lengkap. Bahkan kain dan tabung bambu bakar berisi nasi dan daging pemberian Damang batu masih utuh.

"Hapemu masih ada?" tanya Deka.

Urai mengangguk, lalu mengeluarkan benda itu dari tas. Layarnya mati. "Baterainya habis. Aku nggak bawa powerbank."

"Aku selalu bawa powerbank, tapi masalahnya, ranselku hilang." Kepala Deka semakin pening saat teringat apa saja isi ranselnya. "Astaga! Kunci mobil pun ada di situ."

Tiba-tiba, Urai menegakkan tubuh. "Kodeka, kamu dengar itu?"

Deka menajamkan telinga dan batin. Sayup-sayup, terdengar suara mesin di kejauhan. Mereka sangat hafal mesin apa itu.

"Kelotok!" seru mereka bersamaan.

Deka segera menggandeng tangan Urai dan bergegas pergi ke arah datangnya suara. Tak lama kemudian, kepadatan hutan semakin berkurang. Cahaya terang dari arah depan meyakinkan mereka bahwa di sekitar tempat itu terdapat sungai. Benar saja. Tak lama kemudian, mereka sudah berada di tepi sungai besar yang airnya keruh kecokelatan.

"Kodeka, ada jala orang di sana!" Urai menunjuk deretan pengapung di tepi sungai.

"Wah, pelampungnya dari botol plastik!" seru Deka. Baru kali ini ia melihat botol plastik dengan perasaan sebahagia ini.

"Kita sudah kembali! Yeay!" Urai meninju udara saking senangnya.

"Tapi Rai, kita di mana?"

"Kita duduk di pinggir sungai aja, Kodeka. Kita tunggu kelotok lewat, lalu bertanya pada mereka," usul Urai.

"Yuk!" Deka belum melepaskan tangan Urai dan gadis itu pun tidak berniat menarik tangannya.

☆Bersambung☆

Jangan lupa memberi bintang, komen, dan share 😊😊😊

Tindakan sepele bagi Pembaca, tapi sangat bermanfaat bagi lapak ini buat menghasilkan karya-karya yang seru.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualOnde histórias criam vida. Descubra agora