40a. Gencatan Senjata

212 62 1
                                    




Tombak prajurit Punan menembus udara, mengarah ke jantung Riwut. Pemuda itu tak kalah gesit. Ia berkelit ke kanan sehingga tombak itu hanya menyasar udara. Mandau Riwut pun menghajar batang kayu ulin itu. Bunyi "krak" nyaring merebak ke udara saat mandau Riwut berhasil mematahkan tombak.

Prajurit Punan terbelalak melihat senjatanya tinggal separuh. Dengan mendengkus keras, dibuangnya benda itu, lalu mencabut mandau.

"Jiaaaaah!" Pekikan sang Prajurit berkumandang, menyertai loncatan gesit dan ayunan mandau ke arah Riwut.

Di saat genting itu, sebuah iring-iringan perahu besar dan beberapa rakit yang mengangkut kerbau, babi, dan beras muncul dari arah hilir. Di belakangnya, sebuah kapal yang memiliki cerobong uap di bagian tengah lambung berlayar dengan anggun. Kapal itu membunyikan peluit yang mendengung membelah udara hutan, mengagetkan semua orang yang tengah bertempur.

Orang Punan yang akan menebaskan mandau ke arah Riwut, menarik senjatanya. Riwut pun batal untuk melancarkan serangan. Keduanya berdiri dan menatap keheranan pada iring-iringan panjang itu.

"Hooooi, berhenti!" Seorang lelaki berambut putih berdiri di haluan perahu terdepan. Wajahnya berwibawa. Tubuhnya yang kurus tinggi, masih kencang walau telah lanjut usia.

"Damang Batu!" Riwut menggumam.

Orang-orang Punan itu juga mengenal sang Damang. Mereka seketika menghentikan perkelahian. Anehnya, Silas dan teman-temannya justru bergegas kembali ke sampan mereka. Silas hendak berlari ke tempat Riun terbaring, namun ditahan salah satu rekannya.

"Jangan, Kak. Dia membawa masalah. Cari saja gadis lain." Pemuda itu memberi kode dengan dagu ke arah Damang Batu yang tengah menepikan perahu.

Silas langsung memahami isyarat itu. Mereka pernah mengalami suatu peristiwa tidak enak dengan damang satu itu sehingga tindakan paling bijak adalah angkat kaki secepatnya dari tempat ini. Tanpa bisa menutupi kekecewaan, Silas segera menyusul anak buahnya ke sampan. Gerakan itu tertangkap oleh mata Damang Batu yang masih awas.

"Hei, kalian di sini rupanya!" Damang Batu berkacak pinggang sambil mendelik ke arah kelompok Silas. "Kembalikan kerbau dan babi kami!"

Damang Batu memerintahkan beberapa anak buahnya memburu gerombolan yang telah mencuri harta mereka beberapa bulan yang lalu. Padahal, binatang-binatang itu dikumpulkan dengan susah payah untuk menjamu tamu pada rapat damai nanti.

Sebuah jukung kecil pun meluncur mendahului rombongannya, memburu Silas. Namun, perahu Silas melaju lebih cepat.

Lelaki itu berdiri sambil menyeringai. "Kami tidak mencurinya, Damang! Kerbau-kerbau dan babi-babi itu kami temukan di ladang!"

"Kurang ajar! Mana mungkin pencuri mengaku?" seru anak buah Damang Batu.

Perahu Silas meluncur ke hulu, ke arah sebuah ceruk di dekat kelokan. Mereka menukik ke dalam, lalu menghilang. Pengejarnya hanya bisa termangu di depan ceruk. "Mereka menghilang!"

"Hoi, sudah! Biarkan saja!" seru Damang Batu untuk memanggil anak buahnya kembali.

Sementara itu, di tepi sungai, tersisa prajurit Punan dan kepala suku mereka yang ternganga.

"Hah? Ke mana mereka?" tanya sang Kepala Suku.

"Mereka membuka pintu rahasia ke kawasan gaib," sahut Riwut. "Istrimu diambil mereka setelah terlepas dari tangan Jala."

"Desa gaib?" sang Kepala Suku semakin keheranan.

"Iya. Sudah jelas bukan kami penculiknya!" ucap Riwut.

Sang Kepala Suku tertegun. Sekarang, pertanyaan mengapa mereka bisa menemukan Jala, namun tidak bisa mendeteksi keberadaan Riun terjawab sudah. Semuanya masuk akal.

Melihat kondisi gencatan senjata itu, Riwut segera membebaskan Siun. Sang Kepala Suku membiarkannya. Agaknya, telah terjadi kesepahaman tanpa kata di antara mereka. Kepala suku yang masih muda dan tak kalah tampan dari Silas itu berlari menghampiri istrinya yang sedang dipangku oleh Jala.

"Hei, serahkan istriku!" hardik Kepala Suku.

Jala mendongak. Wajahnya memelas dan basah oleh air mata. "Dia sekarat! Tolonglah! Biarkan aku membawanya pulang ke Mahuroi."

"Tidak bisa! Dia harus kembali ke tempatku, Long Beraneh!"

Dua prajurit Punan berusaha membebaskan Riun dari pelukan Jala. Pemuda itu belum mau menyerah dan terus memeluk Riun walau dipukuli.

Damang Batu dan beberapa Marsose asal Banjar turun dari kapal. Karena sungkan pada sang Damang, Kepala Suku Punan menyuruh anak buahnya berhenti memukuli Jala. Ia berlari ke tepi sungai untuk menyambut tetua Dayak itu. "Damang, apa kabar?"

"Jojang! Tak disangka berjumpa lagi di sini," sahut sang Damang sambil menepuk-nepuk bahu kepala suku muda itu. Ia mengenalnya sejak kecil dan juga akrab dengan mendiang ayahnya, Kepala Suku Punan Murung[1] yang terdahulu.

"Tidak baik, Damang. Istri saya diculik orang itu!" Jojang, sang Kepala Suku Punan menunjuk Jala dan Riun.

"Pertempuran apa tadi?" tanya Damang Batu.

"Orang dari desa gaib juga menculik istri saya."

"Hoh, berapa istrimu?"

"Satu saja, Damang, tapi diculik oleh dua orang."

Walau keheranan mendengar keterangan Jojang, Damang Batu mendatangi Riun dan Jala. Wajah tuanya mengerut saat melihat tapih yang bersimbah darah. "Kenapa dia?"

"Saya tidak tahu. Saya menemukannya sudah seperti ini," sahut Jojang.

"Bukankah ini anak Bapa Apui dari Mahuroi?"

"Benar, Damang. Dia diculik di tengah pesta pernikahan," sahut Jojang.

"Anak ini penculiknya?" Damang Batu menunjuk Jala.

"Benar."

"Saya tidak menculiknya!" bantah Jala. "Kami sudah berjanji sehidup semati sebelum Riun dinikahkan dengannya!"

"Hei, Budak! Tutup mulutmu!" Jojang mendelik, namun segera menunduk saat mata tajam Damang Batu melibasnya.

"Jojang, kamu mau membunuhnya?" tanya Damang Batu dengan suara bas yang berwibawa.

________________

[1] Punan Murung adalah suku Dayak Murung yang tinggal di daerah Murung, hulu Sungai Barito, Kalimantan Tengah.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now