29b. Perjalanan Malam (2)

203 60 8
                                    

"Terus terang kalau disuruh memilih, aku lebih suka ewah karena tidak gerah," bela Pandih. "Tapi semua orang kota memakai celana dan baju. Itulah alasan aku mengikuti cara ini."

"Ah, pusing membahas pakaian," tukas Simpei, lalu mengayuh dayung dalam diam.

"Tempat siapa yang akan kita singgahi di Kahayan?" tanya Pandih setelah beberapa saat hening.

"Namanya Salundik. Dia masih terhitung sepupu denganku. Kita lebih aman bila sudah berada di daerah mereka. Besok, kita bisa tidur barang setengah hari di sana."

"Kita tetap akan menyerang Belanda di Tumbang Miri?" tanya Pandih. "Kita hanya berdua."

Simpei kembali menjawab dengan keheningan. Pandih semakin khawatir perjuangan mereka akan menemui jalan buntu.

"Simpei, lebih baik kita mengumpulkan bantuan dari Kotawaringin. Kabarnya, beberapa pendukung mendiang Pangeran Antasari dan Gusti Matseman bersembunyi di sana."

Simpei menggeleng. "Aku tidak tahu soal itu. Lagi pula, kita tidak punya banyak waktu. Belanda pasti sudah memulai pertemuan damai itu saat kita sampai di Kotawaringin."

"Kalau begitu, kita ikut saja ke Tumbang Anoi. Kita ajak semua utusan suku melawan Belanda," usul Pandih dengan gegap gempita.

Simpei kontan mendelik. "Kita mewakili suku mana, bodoh? Tetua-tetua suku yang membela Belanda pasti akan menyingkirkan kita begitu hidung kita muncul di depan mereka."

"Ah, aku tidak memikirkan itu." Pandih menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Belum lagi kalau kita dianggap musuh oleh para pengayau itu. Tidak sempat berkedip, kepalamu sudah menggelinding di tanah!" imbuh Simpei.

"Lalu apa rencanamu?"

"Kita nanti singgah di Tangkahen, lalu Miri. Semoga kita menemukan anak-anak muda yang mau diajak bertempur dari kedua desa itu."

Pandih sejenak mengangkat dayung saat menemukan banyak percabangan di depan. "Duh, kita membelok ke mana?"

"Ambil jalur yang paling besar," jawab Simpei penuh keyakinan karena sudah pernah melewati jalur ini sebelumnya.

"Kamu yakin?"

"Ya!"

☆☆☆

Sampan melaju di bawah penerangan cahaya obor dan bulan hingga puncak malam. Apa yang ditakutkan Pandih akhirnya terjadi. Alih-alih mencapai Sungai Kahayan, mereka malah terjebak dalam labirin rawa-rawa gambut. Kelima penumpang sampan kini berdiri di haluan sambil menatap nanar jalur-jalur sempit dan gelap di depan mereka.

"Sial, kita tersesat!" keluh Simpei.

"Sebaiknya kita tidur di sini sambil menunggu pagi," usul Pandih.

Simpei berdecak kesal. Ia tidak ingin menyiakan waktu. Bergerak dalam kegelapan malam sangat efektif untuk menghindari pengintaian pasukan Marsose.

"Kodeka, mereka tersesat. Kamu bisa membantu?" bisik Urai di telinga junjungannya.

Deka diam-diam mengeluarkan beras dari kantong. Ia harus berhemat sekarang, tidak boleh lagi meraup segenggam, cukup beberapa butir saja. Sebentar kemudian, ia memejamkan mata dan mengheningkan pikiran.

Ya, Pemilik Semesta, bantulah kami menemukan jalan.

Deka mengulang-ulang permintaan itu dalam hati. Akhirnya, butiran beras tergelincir dari telapak tangan, lalu jatuh berjajar di lantai sampan. Arahnya menunjuk ke sebuah celah sempit dan gelap.

"Tarus ja sadikit lagi. Kaina di muka belok sabalah kiri," ucap Deka kepada Simpei dan Pandih. (Terus saja sedikit lagi. Nanti di depan belok ke sebelah kiri. – bahasa Banjar)

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now