9b. Berjumpa Riwut (2)

320 74 6
                                    


"Beken, Mina! Kami bukan mata-mata. Kami tersesat, sungguh!" bela Urai. (Bukan, Tante! - Dayak Ngaju)

Tak berapa lama, pekerjaan angkut-mengangkut itu pun selesai. Kaus polo abu-abu Deka sudah basah kuyup oleh keringat. Blus brokat Urai juga telah lusuh dan kehilangan auranya. Pemuda yang memerintah mereka tadi mendekat, lalu memberi kode dengan tangan agar Deka, Jala, serta Urai mengikuti langkahnya. Ketiga tahanan itu kembali membuntuti si pemuda, seperti anak bebek mengikuti induknya. Ternyata, mereka tidak hanya berempat. Ada rombongan dua ibu-ibu, seorang gadis muda, dan seorang lelaki berjalan di belakang mereka.

Jalan setapak yang mereka lalui menembus hutan kecil yang tidak terlalu lebat. Ada batang-batang pohon besar di sepanjang jalan. Saat Deka memandang ke atas ke atas, menelusur batang yang menjulang lurus dan tinggi, matanya melebar seketika. Ternyata itu pohon durian dan terdapat banyak pohon sejenis di area itu. Lihatlah buahnya yang bergelantungan di dahan-dahan dengan mudah diamati karena bentuk daun durian yang kecil-kecil dan tidak terlalu rimbun.

Urai melangkah dengan terseok. Jalan setapak itu terlalu kasar bagi telapak kakinya yang tidak terbiasa tanpa alas. Suatu saat, ia tersandung akar pohon.

"Auh!" pekik Urai. Tangannya secara refleks meraih tangan Deka yang berjalan di depannya. Lelaki itu menghentikan langkah dan menoleh.

"Kenapa?" tanyanya, khawatir melihat Urai mengernyit kesakitan.

"Kakiku sakit!"

Deka menoleh ke bawah dan menemukan darah di ibu jari kaki kanan Urai. Ia berjongkok untuk memeriksanya. Ternyata ujung ibu jari itu terkelupas sedikit.

"Nanti dibersihkan di sungai. Lain kali hati-hati kalau jalan. Di sini nggak ada obat, tahu! Kalau infeksi gimana?"

Kedua rahang Urai mengatup rapat. Teganya Deka mengomel di saat seperti ini. "Aku juga nggak mau tersandung!" cetusnya, hampir menangis.

Melihat itu, Deka bangkit, lalu mengulurkan lengan. "Ya, sudah. Jalan pelan-pelan sambil pegangan tanganku!"

Wajah Deka masih datar dan nada bicaranya tetap ketus. Namun, hati Urai mengembang penuh bunga. Tanpa ragu, diraihnya tangan Deka dan digenggam erat. Status tahanan gubuk pun terlupakan sejenak. Segalanya berubah cerah. Alam seperti menyanyi di telinga Urai. Sambil berjalan tertatih, ia beberapa kali menoleh ke samping untuk memandangi wajah imut-imut Deka dan hidung mancungnya.

"Hei! Lepaskan!" hardik si penjaga sambil memukul tangan Urai dengan sarung mandau.

Gadis itu kontan mengaduh sambil mengusap tangannya. Deka segera menarik Urai ke belakang tubuhnya.

"Jangan pukul dia!" seru Deka.

"Dia istrimu?" tanya si pemuda.

"Dia tanya apa aku istrimu," bisik Urai.

"Bukaaan!" sahut Deka panik.

"Bukan. Kami bersaudara," jawab Urai lirih. Padahal hatinya tadi sudah sempat berharap akan diakui sebagai istri oleh Deka walaupun cuma pura-pura.

"Kalian kakak beradik?" Si penjaga memandang bolak-balik antara Urai dan Deka, mencari kemiripan. Namun, ia hanya mendapati keganjilan. "Ah, terserah! Cepat jalan, sebentar lagi gelap!"

Pemuda itu mendorong Deka ke depan sehingga kini ia berada di antara Deka dan Urai. Diam-diam, Urai kecewa. Pegangan pada lengan hangat Deka mendadak menjadi kenangan saja.

Jala mendekat, lalu berbisik di telinga Urai, "Seharusnya bilang saja kalian suami istri supaya kamu aman."

"Maksudnya?" tanya Urai.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang