11b. Napas Sungai (2)

291 67 6
                                    

"Siapa musuh kalian?" tanya Urai.

"Banyak!" sahut Riwut. "Selain orang Dayak dari suku lain, ada Inggris di utara. Belanda di barat, selatan, dan timur. Kamu orang mana? Kenapa tidak tahu kita dijajah orang kulit putih?"

Urai terdiam. Lagi-lagi ia salah bicara. Semoga saja Riwut tidak curiga.

"Ada musuh yang bersenjata, tapi sesungguhnya ada pula ancaman tanpa senjata," ucap Riwut. Wajahnya mendadak muram dan ia menerawang ke arah hutan.

"Ancaman tanpa senjata? Berbahayakah itu?" tanya Urai.

"Orang-orang dari luar pulau berdatangan ke tanah Dayak ini. Mereka menguasai perdagangan di pesisir dan muara sungai. Semakin lama, kami semakin terdesak ke pedalaman."

Mendengar keterangan itu, Urai mulai memahami carut-marutnya situasi di tanah Kalimantan saat ini. Selain perang antar suku dan melawan Belanda, orang-orang pedalaman ini juga menghadapi tantangan pergeseran budaya akibat kedatangan orang asing. Entah mengapa, Urai merasa kondisi itu tidak asing. Bukankah ia juga mengalaminya di masa modern?

"Hei, jangan sedih," ucap Riwut tiba-tiba. Senyumnya kembali terkembang sehingga Urai tertegun karena tidak menyangka akan dihibur oleh pihak yang menawannya. "Aku dan semua lelaki di sini akan menjaga rumah dan isinya agar selamat melewati pertempuran itu," ucapnya dengan tegas.

Urai mendadak merasa lemas. Alasan mengapa dirinya dan Deka terseret ke dalam lorong waktu dan terlempar ke masa lalu masih menjadi misteri. Ternyata mereka pun terjebak dalam situasi peperangan.

Seperti memahami ketakutan Urai, Riwut mengusap kepala gadis itu seperti anak kecil. "Aku janji akan membawamu keluar dari tempat ini dengan selamat bila peperangan itu sungguh terjadi."

Urai ternganga. "Kenapa kamu sebaik itu pada tawanan seperti aku?"

Riwut tampak tertegun sejenak, lalu menghela napas sebelum menjawab, "Entah. Kamu tidak seperti tawanan, tapi seperti ... keluarga sendiri."

☆☆☆

Lamunan Urai buyar saat bahunya didorong dengan kasar. Seseorang menyuruhnya duduk di samping Deka dan Jala yang telah lebih dulu bersila di tengah kerumunan orang banyak, tepat di hadapan Datu Penyang dan Deong. Sedangkan Riwut menempatkan diri antara para tawanan itu dan ayahnya.

"Kami menangkap mereka di hutan dekat rumah," lapor Riwut. Berkali-kali ia menatap dalam pada Urai sehingga membuat gadis itu tertunduk dengan jantung berpacu kencang.

Datu Penyang memberi isyarat agar ketiga tawanan orang itu dibawa lebih dekat padanya. Mereka pun beringsut beberapa inci ke arah sesepuh kampung itu. Sejenak semua diam dan ruangan itu menjadi lengang mencekam.

"Kalian berdua orang mana?"

"Ikei bara Banjar, Datu," jawab Urai. (Kami dari Banjar, Datu - bahasa Dayak Ngaju).

"Banjar?" Datu Penyang seperti tidak percaya.

"Iyoh, Datu. Bapaku uluh Kapuas. Induku uluh Meratus, tukep Danau Loksado." (Iya, Datu. Ayahku orang Kapuas. Ibuku orang Meratus, dekat Danau Loksado - bahasa Dayak Ngaju)

"Hoooh, uluh itah ikau!" seru Datu Penyang. "Lantas mengapa kamu menjadi mata-mata? Siapa yang mengirim kalian?" (Hoooh, kamu orang kita juga! - Dayak Ngaju)

Urai sontak kalang kabut dan segera membuat tanda dengan kedua tangan. "Tidak, tidak! Kami bukan mata-mata, tapi tersesat."

"Tersesat? Melihat baju kalian, pasti kalian anak buah orang kulit putih. Jujur saja, misi apa yang kalian jalankan dan bagaimana kalian bisa tersesat di sini?"

Urai melirik Deka untuk meminta pendapatnya. "Aku boleh cerita apa adanya?" bisiknya.

Deka mengangguk. "Ceritakan saja. Mereka mau percaya baik, enggak pun bukan masalah lagi."

Mendengar Deka berkata-kata dalam bahasa asing, Datu Penyang keheranan. "Heh, kamu tidak mengerti bahasa Ngaju. Orang mana kamu?"

"Dia keturunan Cina, Datu. Tapi lahir di Banjar," jawab Urai.

"Hm, dia pedagangkah? Jualan apa?"

"Beras," sahut Urai.

"Jualan beras di mana?" Kali ini Riwut ikut bertanya. Ia kerap turun ke pasar Banjar di daerah Kuin, bahkan menjelajah ke hulu, yaitu Martapura. Namun seingatnya tidak ada pedagang beras yang penampilannya seperti Deka, mengenakan atasan dari bahan aneh dan celana ketat yang bahannya mirip kain orang kulit putih. Pedagang Cina Banjar biasa memakai celana longgar dari katun.

"Di Pasar Kuripan," sahut Urai.

Tentu saja, jawaban itu semakin membuat Riwut berkerut kening. "Pasar di daerah mana itu? Saya belum pernah mendengarnya."

Deka baru sadar bahwa sekarang mereka berada di masa sebelum tahun 1900. Sepertinya hanya pasar Kuin yang dikenal orang saat ini. Deka mulai khawatir keterangan Urai semakin menguatkan kecurigaan orang-orang itu bahwa mereka mata-mata. Otak cerdasnya segera berputar mencari ide. Ia merogoh saku celana dan mengeluarkan kantung beras.

"Kami mencari asal usul beras ini," ucap Deka dalam bahasa Banjar sembari menyerahkan kantung itu kepada Datu Penyang. Ia yakin Riwut atau Datu Penyang memahami bahasa itu karena jarak Kapuas dan Banjarmasin terbilang dekat. "Tapi di tengah jalan, ada angin ribut yang membuat kami terdampar di sini."

"Ha? Angin ribut? Kapan?" tanya Datu Penyang.

"Tadi pagi," ucap Deka, berbohong.

"Dia bohong!" seru salah satu dari peserta rapat. "Saya seharian di sungai dan tidak terjadi apa-apa."

"Saya juga!"

"Saya juga!"

Beberapa orang ikut membenarkan. Suasana menjadi gaduh karena semua orang bertanya-tanya di mana angin ribut itu terjadi.

"Mereka pasti mata-mata!"

"Jangan dibiarkan hidup!"

☆☆☆

Kesibukan di tepi sungaiSeorang anak Dayak berdiri di atas lanting

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kesibukan di tepi sungai
Seorang anak Dayak berdiri di atas lanting. Kedua tangannya menenteng buli-buli air yang terbuat dari kulit waluh yang dikeringkan. Foto diambil di Mangkuhong, Sungai Miri, Kalimantan Tengah.
Sumber: https://www.artoftheancestors.com/blog/along-the-rivers-of-central-kalimantan-arnoud-h-klokke

Mau double up?
Kalau bintangnya 20, Fura double up deh🤭😊😊

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now