33a. Riam Mematikan

210 67 1
                                    


Hutan terlihat penuh warna setelah kegelapan malam tersingkap. Berkas-berkas cahaya matahari menerobos kanopi pepohonan tropis layaknya jemari raksasa seorang kekasih yang ingin membelai dan memberi kehangatan kepada pujaan hati. Seisi hutan menyambutnya dengan suka cita, membalas sapaan langit itu dengan ocehan riuh bersahutan burung dan serangga serta kilau hijau segar dedaunan.

Setelah pertemuan tak terduga dengan arwah Nuraini semalam, baik Deka, Urai, maupun Jala tidak dapat memejamkan mata lagi. Pagi ini, mereka menyantap sisa nasi dan lauk semalam. Makanan apa adanya itu terasa nikmat di lidah dan cukup untuk mengganjal perut. Hanya Urai yang terlihat kurang berselera.

"Nasinya sedikit banget, Rai. Tambah lagi, gih," tegur Deka. Itu kalimat pertama yang ia ucapkan sejak matahari terbit tadi. Pasalnya, Urai selalu menghindar saat didekati.

Urai tidak menjawab. Sekadar menggeleng pun malas. Ia berusaha membatasi diri dengan tidak memandang wajah junjungannya. Tangis semalam masih membekas sebagai kantong mata berwarna gelap. Bila mengingat kejadian itu, rasanya ia ingin membenamkan kepala di lumpur gambut. Memalukan sekali. Menanyakan cinta, lalu ditolak mentah-mentah. Namun, apakah itu murni kesalahannya? Gadis mana pun akan salah paham bila dipeluk seperti itu. Deka tega sekali mempermainkan perasaannya.

Deka merasakan ada jarak yang membatasi dirinya dan Urai. Ia paham sekali apa penyebabnya. Bukankah ini konsekuensi dari penolakan halus semalam? Namun, mengapa hatinya nyeri seperti dicubit?

Deka kembali menyantap nasinya tanpa bersuara. Hanya matanya beberapa kali menerawang jauh ke dalam hutan. Tak lama kemudian, dilihatnya piring Urai telah kosong. Dibawanya sepotong grinting, lalu diletakkan di piring gadis itu. Maksudnya agar mencairkan suasana canggung di antara mereka.

"Makan ini, Rai," ucapnya dengan lembut.

Urai menatapnya sejenak, keheranan menemukan nada lembut dan mata yang memancarkan perhatian. Namun, ia takut salah paham lagi. Bukankah kebaikan Deka hanya karena kasihan, bukan sayang? Diambilnya daging asin itu dan dikembalikan ke piring Deka tanpa bicara. Ia sudah berjanji pada diri sendiri tidak akan terhanyut oleh perhatian Deka lagi.

"Loh, kok dikembalikan?"

Urai tetap bungkam dan malah memutar duduknya membelakangi Deka. Ia tidak marah, cuma takut berharap dan sudah jera mempermalukan diri sendiri di depan junjungannya.

Apaan junjungan? cemooh batin Urai. Barangkali sebutan mantan junjungan lebih tepat.

"Kasihan, kamu dicuekin. Udah, lupakan dia. Lihat aku ajah! Ayo suapi aku!" rajuk arwah Nuraini.

Tentu saja, Deka semakin gerah. Keberadaan Nuraini kuadrat di hadapannya sungguh membuat perasaan jungkir balik. Keduanya bukan pacar, apalagi istri. Namun, kerepotannya sudah mirip pelaku poligami. Ia bahkan harus menyeimbangkan kedamaian dunia nyata dan alam maya.

"Kamu masih butuh makan?" tukasnya melalui batin.

Set!

Tangan Nuraini secepat kilat bergerak ke wajah Deka. Sebuah piring besar berisi nasi dan grinting jadi-jadian diulurkan di depan hidungnya.

"Ini!" ucap Nuraini sembari berkedip-kedip manja. Mata dan pelupuk sang arwah membesar seukuran bola voli sehingga goyangan bulu matanya yang lentik terlihat nyata.

"Aneh-aneh aja!" rutuk Deka. "Katakan ke mana kita pergi setelah ini!"

"Nggak mau! Suapi dulu, Sayangkuh!" Nuraini kembali mengedipkan bulu mata raksasanya.

"Eh, jijik!" Deka meletakkan piring, kemudian bersila sambil memejamkan mata. Sebelah tangan diletakkan di dada. Dengan cepat, ia masuk ke sikap meditasi. Energi halus memancar deras ke sekeliling tubuhnya. Nuraini segera merasakan imbas energi itu.

"Yah, kamu meditasi lagi! Aku nggak kuat menahan energi tingkat tinggi ini, Deka!" protes si Arwah Centil.

"Makanya, jangan merayuku. Kita berbeda alam dan berbeda takdir. Jangan berharap lebih. Janji?" balas Deka.

Nuraini manyun maksimal, lalu duduk meleseh dengan lesu agak jauh dari Deka. Matanya menyusut, kembali ke proporsi normal. "Janji," sahutnya lirih.

Deka mengangkat tangan dari dada dan membuka mata.

☆☆☆

Setelah sarapan yang sunyi, mereka kembali ke sampan. Menurut Nuraini, Riun berada di rumah besar yang ditinggali beberapa lelaki berbadan kekar. Kawasan tempat mereka bermukim adalah hutan terpencil yang hanya bisa dijangkau melalui jalur air. Mereka mengayuh jukung kecil itu menyusuri anak sungai.

Semakin lama, anak sungai itu semakin menyempit. Hutan di sekelilingnya semakin rapat. Pohon-pohon tinggi tumbuh menjulang menjadi dinding alami yang gagah sekaligus angker.

Urai yang duduk paling depan merasakan bulu kuduknya meremang. Diusapnya sejenak tengkuknya. Rasanya dingin.

"Kenapa, Rai?" tanya Deka dari belakang.

Urai masih malas menjawab dan kembali mendayung tanpa menoleh.

Nuraini menutup mulut, menahan tawa. "Dicuekin lagi. Kecian deh lu!"

Deka mendelik dan manyun. Bibir Nuraini langsung menguncup kembali. "Galak amat!"

Sampan terus melaju di permukaan air yang kecokelatan seperti teh hingga akhirnya sampai di sebuah percabangan. Suasana di tempat itu jauh lebih gelap karena rapatnya kanopi hutan. Angin dingin yang berembus terasa seperti elusan jemari beku, membuat bulu kuduk berdiri. Mereka berhenti sejenak untuk mengamati situasi.

"Ke kiri atau ke kanan?" tanya Deka kepada Nuraini yang duduk di ujung haluan.

"Ke kiri ajah, Yayangkuh," sahut Nuraini.

Deka melongok ke arah yang ditunjukkan Nuraini. Anak sungai yang itu sempit. Kedua tepinya ditumbuhi sulur-sulur rotan, pohon nipah, dan tanaman rawa lain, membentuk payung alami yang membuat tempat itu sulit ditembus sinar matahari.

"Gelap sekali," keluh Deka. "Apa benar itu jalannya?"

.

.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now