18a. Keluar Rawa

234 71 6
                                    

Cukup lama ketiga pelarian itu mendekam di sampan sambil menahan panas, haus, lapar, dan serangan nyamuk. Serangga itu terus menyerbu walau diusir menggunakan asap pembakaran kulit kayu gemor. Mungkin jumlah mereka terlalu banyak. Saat satu yang menyerah dan kabur karena asap, yang lain datang menyerbu.

Urai menggeliat. Tadi ia sempat terlelap sebentar dan bermimpi sedang merevisi proposal penelitiannya. Saat membuka mata, terasa kepalanya bersandar pada sesuatu yang hangat. Ia mengangkat wajah dan menemukan bahu seseorang. Ternyata ia tertidur di bahu Deka tanpa sadar.

Urai segera menegakkan badan sambil merapatkan kain tapih menutupi tubuh. Gerakan itu menimbulkan guncangan kecil pada sampan. Jala dan Deka ikut terbangun.

"Nyenyak banget tidurmu," sindir Deka dengan wajah tak acuh seperti biasa.

Urai terpaksa melengos sambil merapikan rambut karena malu.

"Bilang makasih kek, sudah bikin bahuku pegel dan kena liur."

"Masa aku ngiler?" bantah Urai.

Deka menggerakkan bahu dan lengannya. "Ini cium sendiri kalau nggak percaya. Bahkan nggak cuma ngiler, kamu juga ngorok, tahu!"

"Kok minta ciumnya di lengan dan bahu?" protes Urai.

Tentu saja, ia dibalas decakan keras dari sang junjungan. Karena malas berdebat,  ia bergeser ke haluan, mendekati Jala.

"Lihat, sudah pagi!" Jala menunjuk langit yang hanya tampak sebagai kepingan-kepingan kecil di sela dedaunan. Warna hitam kelam telah berganti menjadi biru tua.

"Kita sudah bisa mencari daratan?" tanya Urai. "Aku lapar dan haus. Kapan kita masak air dan nasi?"

Jala menekan telunjuk di mulut, untuk meminta Urai diam. Telinganya yang terlatih di hutan belantara memindai bunyi-bunyi alam liar. Demikian juga Deka, menajamkan indra batin untuk mendeteksi pergerakan musuh.

"Aman," ucap Jala. Ia segera menyalakan api obor. Lingkungan sekitar kembali terlihat nyata. "Kita kembali ke arah datang tadi, lalu mencari sungai induk."

Dibantu penerangan obor, terlihat celah di antara rerimbunan rotan di mana mereka datang semalam. Ketiganya mendayung perlahan. Sampan kecil itu meluncur tenang di permukaan rawa yang kemilau tertimpa cahaya obor hingga keluar dari ujung celah. Setelah itu, mereka sama sekali tidak menemukan anak sungai. Yang tampak di bawah sinar obor adalah jalur-jalur sempit yang bercabang-cabang di bawah kanopi pohon, perdu, dan sulur rotan.

"Astaga, di mana anak sungai tadi?" desah Deka.

"Kita tersesat di tengah rawa," keluh Urai.

Jala menjulurkan tangan ke air. Maksudnya untuk merasakan arah alirannya. Ternyata, ia tidak mendapat informasi. Rawa itu mirip genangan luas yang airnya diam. "Kita coba saja salah satu jalur," usulnya.

"Kodeka, kamu nggak bisa bertanya pada jin atau makhluk astral di sini? Siapa tahu mereka mau memberi arah," usul Urai.

"Kamu minta mati?" balas Deka. "Minta bantuan makhluk yang nggak dikenal itu sama saja melambai ke sekawanan singa liar. 'Hai, ini aku! Aku datang padamu, ya?' Yang ada kita disergap beramai-ramai."

"Tapi kamu kan sakti, dulu bisa mengalahkan penguasa Matang Kaladan."

"Rai, medannya berbeda. Waktu itu ada Om Dehen, Puput, dan Bang Jata. Sebenarnya, aku masih belum sepenuhnya mengerti cara membangkitkan kekuatan seperti waktu itu."

"Kamu nggak bisa komunikasi dengan Om Dehen?"

Mata Deka mendelik. "Ini minta dijitak apa gimana?" tegurnya. "Kita di tahun berapa Urai, hm? Neneknya om kamu aja belum lahir."

Urai meringis. "Coba tanya ke beras ajaib."

Deka baru teringat benda bertuah itu. Diraihnya kantung beras, lalu isinya diambil segenggam. Butiran yang masih basah itu tampak menggumpal di telapak tangan. "Wahai Beras, tunjukkan  jalan ke sungai!"

Tiga pasang mata menatap penuh harap pada beras itu. Sayang, harapan mereka tidak dikabulkan alam. Beberapa detik berlalu tanpa terjadi apa pun.

"Hm, mungkin makhluk gaib penunggu beras ini juga tersesat," ucap Urai. "Coba tanya di mana tempat Riun."

Deka setuju tanpa komentar. "Wahai Beras, tunjukkan tempat Riun!"

Udara yang sejak semalam panas tanpa pergerakan, tiba-tiba berdesir. Beberapa butir beras meluncur jatuh, lalu secara aneh berjajar di lantai jukung.

"Eh, dia berjajar ke arah kiri!" ucap Urai takjub, sekaligus merinding.

"Sepertinya benar, beras ini dikirim untuk petunjuk menemukan Riun," gumam Deka.

Mendengar nama kekasihnya disebut, mata Jala berbinar. "Benarkah? Riun masih hidupkah?"

—Bersambung—

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now