20a. Kritis

234 67 13
                                    

Ketiga pelarian merayap secepat mungkin di antara pepohonan. Vegetasi hutan yang padat membantu menyamarkan tubuh mereka dari musuh.

"Itu di sana!" terdengar teriakan musuh dari kejauhan. Tak perlu waktu lama, perdu-perdu bergoyang menandakan ada seseorang menerjangnya. Gesekan badan keempat orang yang bergerak dengan cepat itu menimbulkan rasa ngeri tersendiri dalam hati buronannya.

"Lariiiii!" seru Jala.

Ketiganya tidak bisa berpikir lagi, langsung menerjang apa saja yang ada di depan demi menghindar dari kejaran musuh. Lantai hutan Kalimantan bukan datar dan bersih seperti hutan wisata masa kini. Selain rumput dan lumut, semak dan sulur rotan berduri, permukaan tanah juga dipenuhi akar kayu, ranting lapuk dan batang tua yang tumbang. Urai dan Deka yang terbiasa dengan jalan aspal dan beton benar-benar terseok. Kaki Deka yang telanjang tanpa alas kaki kini lecet-lecet.

Sial, pikir Deka. Mengapa Riwut hanya ingat membawakan sepatu Urai? Diskriminasi sekali.

Ketiga orang itu terpaksa memperlambat langkah setelah jantung mereka serasa akan meledak karena tidak sanggup dipacu.

"Di sana pohonnya mulai jarang-jarang. Mungkin kita menemukan pemukiman di tepi sungai. Ayo, kita bisa minta tolong penduduk!" ujar Jala.

Pemuda itu sudah terbiasa menjelajah hutan. Kakinya baik-baik saja dan walau napasnya memburu, ia masih sanggup mengeluarkan kata-kata dengan lancar tanpa memberi kesempatan kedua rekannya mengatur napas, ia melesat kembali. Padahal lelaki itu masih memar-memar dan luka-luka. Mata kanannya pun belum sepenuhnya terbuka karena ada sisa lebam dan pembengkakan di pelupuk. Namun, gerakannya sangat gesit, dengan ringan berlari dan menyusup di antara perdu, kadang meloncati akar kayu atau batang pohon yang roboh. Walau pedih mendera kaki dan sekujur tubuh, Deka dan Urai berusaha mengikuti langkah Jala.

Ternyata, pemburu mereka lebih gesit. Sebentar saja, anak pohon dan perdu di belakang mereka bergoyang. Terdengar pergerakan manusia yang melibasnya dengan kecepatan tinggi.

"Hoooi! Menyerah atau kami bunuh!" Seruan lawan terdengar sangat dekat.

Deka telah kehabisan napas. Demikian juga Urai, nyaris ambruk kelelahan.

"Rai, sembunyi di balik pohon itu. Aku akan membidik mereka dengan panah," kata Deka.

"Kamu bisa memanah?"

"Dibisa-bisain! Kalau lari juga, pasti akan terkejar."

Urai mengangguk. Mereka menemukan batang pohon besar yang roboh. Ketiganya merunduk di bawah perlindungan perdu dan batang lapuk itu. Deka mencoba memasang anak panah pada busurnya. Ternyata merentangkan busur bambu yang bagian tengahnya diberi penguat kayu ulin itu tidak semudah di film-film aksi. Biarpun tangannya sampai bergetar menariknya, tetap saja tidak maksimal. Jala nyaris putus asa melihat itu.

"Ck! Perempuan!" gerutu pemuda itu seraya memasukkan anak sumpitan ke dalam batangnya, lalu terakhir memasukkan kapuk agar sumpitan bisa ditiup.

Suasana tiba-tiba hening. Tidak ada angin, sehingga tetumbuhan diam membeku. Penghuni hutan bungkam, seperti menunggu adegan yang akan terjadi dengan was-was. Mungkin mereka tahu kedua kubu saling memindai posisi dan bersiap menumpahkan darah musuh.

Deka mendengar gesekan tubuh di antara rumput dan perdu. Ia segera mengintip ke arah datangnya suara. Satu kepala musuh menyembul di antara rumpun perdu. Deka membidiknya. Begitu yakin telah meregangkan busur, ia melepaskan panah. Anak panah bambu yang ujungnya diberi duri landak dan dilumuri upas meluncur menembus dedaunan, lalu mendarat sekitar sepuluh meter di depan Deka. Tentu saja, serangan itu hanya membuat musuh mengetahui lokasi mereka. Akibatnya fatal. Mereka diserbu serangan anak panah lawan.

Jala tiba-tiba berada di belakang Deka, lalu menyeretnya menjauh secepat mungkin dari tempat itu. "Ck! Dasar gadis kencur!" gerutunya sambil menepuk kepala Deka. "Apa yang kamu lakukan? Mereka jadi tahu posisi kita!"

☆☆☆

Bersambung Senin depan.
Komen, please ....

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now