16b. Terjebak (2)

241 69 6
                                    


Urai mendengkus keras sambil merengut. Ia nyaris meneriaki Deka andai Jala tidak menepuk pundaknya.

"Sssst! Jangan bicara terlalu keras. Nanti ada orang mendengar kita," tegur pemuda itu.

Deka dan Urai langsung terdiam. Jala menggerakkan obor untuk melihat ke sekeliling. Nyala terang itu segera menampakkan hutan hujan tropis yang rapat. Di atas mereka, sulur-sulur rotan berduri membentuk atap alami yang tebal. Sementara di depan dan samping, akar pohon dan tumbuhan perdu membentuk dinding tumbuhan yang mustahil ditembus dengan peralatan sederhana yang mereka miliki.

"Jala, kita di mana?" tanya Urai.

"Aku tidak tahu." Jala mengarahkan obor ke dekat permukaan air. Berkat cahaya itu, pantulan permukaan air di bawah tetumbuhan terlihat meluas ke segala arah. "Sepertinya, kita di tengah rawa-rawa gambut."

"Kita sudah melenceng keluar dari anak sungai," keluh Deka yang ikut mengamati kondisi hutan. "Kita tadi nggak bisa melihat arah."

"Aku nggak mendengar suara arus sungai. Berarti kita jauh dari Sungai Kapuas," ujar Urai. "Kita harus keluar dari tempat ini."

"Kamu benar. Sangat berbahaya kalau mereka menemukan kita karena kita nggak bisa lari," timpal Deka.

"Tapi kalau putar balik, apa nggak lebih berbahaya? Siapa tahu mereka sedang menyusul kita," tanya Urai lagi.

Deka menyenggol lengan Urai. "Rai, matikan aja obornya. Kita menunggu di sini sampai pagi."

Urai menerjemahkan usul itu untuk Jala yang langsung setuju. Ia segera memadamkan api dan hanya menyisakan sedikit bara. Ketiga pelarian itu kemudian duduk bersandar dinding jukung.

Suasana kembali gelap. Bunyi-bunyian dari serangga hutan dan burung malam mengisi kelengangan. Tak lama kemudian, terasa gigitan gatal dan pedih di kulit Urai dan Deka. Puluhan serangga haus darah sekarang mendenging di telinga.

"Kita diserbu nyamuk!" desah Urai.

Jala mengambil buntalan, lalu memberikan selembar tapih ke pada Urai untuk menyelimuti tubuhnya. Ia juga meraba-raba bagian bawah jukung dan menemukan kulit kayu gemor yang telah kering. Disulutnya kulit kayu itu. Asap beraroma tajam yang mengepul segera membuat pasukan nyamuk menyingkir.

"Mereka benar-benar mempersiapkan semuanya di jukung ini," puji Urai. "Yang nggak ada cuma rantang makanan." Tangannya mengelus perut yang meronta minta diisi karena setelah mendapat ubi rebus tadi siang, ia tidak menyantap apa pun.

"Padahal mereka tadi memanggang daging," keluhnya. Kengerian suasana pertempuran tadi kembali merebak dalam ingatan. Karena tidak tahan, Urai menyembunyikan wajah di paha.

"Nanti saat terang kita mencari ikan," hibur Jala.

"Bagaimana nasib mereka?" desah Urai. "Tetua betang meninggal. Riwut ... apa dia selamat?"

Baik Deka maupun Jala tidak berniat menjawab pertanyaan itu. Mereka sudah tahu kemungkinan terburuknya. Mengingat pemuda tampan yang telah menolong mereka, air mata Urai merembes diam-diam.

"Jala, apa yang akan dilakukan para penyerang itu pada orang-orang betang?" tanya Urai setelah berhasil mengusai emosi.

"Yah, mereka ngayau. Pasti kepala-kepala musuh yang berhasil ditaklukkan akan dibawa pulang sebagai tanda kemenangan." Suaranya lirih saat mengucapkannya karena menahan hati yang pedih. Ia masih ingat dengan jelas setiap detail tragedi serupa yang menimpa keluarganya sembilan tahun lalu.

"Mengerikan," desah Urai.

"Semoga perjanjian damai di Tumbang Anoi nanti benar-benar bisa membawa perdamaian di tanah Dayak," ucap Jala.

"Kamu jangan khawatir. Perjanjian itu pasti terlaksana," sahut Urai dengan bersemangat.

Jala keheranan mendengarnya. "Dari mana kamu tahu akan terlaksana?"

Urai menggigit bibir karena sadar telah keceplosan bicara. "Aku yakin aja."

"Oh, begitu. Besok kita ke mana? Kalian ada tempat untuk dituju?" tanya Jala.

Urai dan Deka mengangkat wajah bersamaan. Mereka baru teringat masalah yang mengantarkan keduanya ke zaman ini.

"Kodeka, kamu yakin portal itu masih di Matang Kaladan?" tanya Urai. "Gimana kalau kita kembali ke hutan tempat kita mendarat?"

Deka menggeleng. Mata batinnya tidak bisa mendeteksi keberadaan portal gaib itu lagi. Yang kini terlihat jelas hanya gambaran si Hantu Amnesia dan beras aneh di dalam kantungnya. "Kita terlempar ke sini karena arwah yang merasukimu. Kita harus menyelesaikan urusan dengan dia dulu baru bisa pulang."

"Tapi, urusan apa yang harus diselesaikan?" tanya Urai.

Deka berpaling ke Jala yang duduk di ujung depan sampan. Bara api dari obor masih sanggup membiaskan garis wajah pemuda itu.

"Jala, kamu harus jujur. Masalah apa yang kamu bawa ke tempat ini?" tanya Deka yang langsung diterjemahkan oleh Urai.

"Bukan aku yang membawa masalah!" pungkas Jala. Ia jelas tidak senang dituduh seperti itu.

"Berasku terhubung ke kamu. Datu Penyang juga berkata musuh mereka berkaitan denganmu. Siapa kamu sebenarnya?"

☆☆☆

Ada yang kangen sama Riwut nggak, sih?

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now