36b. Kembali ke Dunia Nyata (2)

212 69 4
                                    

"Kamu gila? Dia bisa gegar otak, tahu!" tegur Deka. Ia tidak tahan melihat Riun dipukul hingga lemas. Ia juga tidak menyangka Jala tega melakukannya.

Jala tidak menjawab. Mungkin ia tidak mengerti istilah gegar otak. Deka pun tidak menunggu jawaban karena harus kembali mendayung.

"Tolong ikat dia," pinta Jala kepada Urai sementara ia kembali mendayung.

Urai menggeledah seisi kapal. Ia hanya menemukan selembar kain kumal mirip lap. Dirobeknya kain itu menjadi beberapa bagian kecil memanjang, lalu digunakan untuk mengikat tangan dan kaki Riun. Gadis itu masih sadar, namun hanya bisa tergolek lemah.

"Pulangkan aku," pinta Riun lirih, sambil berurai air mata.

"Maaf," balas Urai, lalu segera meninggalkannya karena tidak tega mendengar isakan menyayat dari mulut Riun. Drama tadi mau tak mau memenuhi benaknya dengan berbagai kecurigaan. Namun, tujuan utama mereka saat ini adalah lolos dari kejaran calon suami Riun sehingga ia memilih duduk di belakang Deka dan kembali mendayung.

Sementara itu, sampan Silas yang dikayuh enam lelaki berbadan kekar melaju dengan sangat cepat. Sebentar saja, jarak mereka tinggal beberapa puluh meter.

"Cepat, belok kiri ke samping akar pohon itu!" perintah Nuraini. Telunjuknya mengarah ke sebuah pohon besar yang akarnya menjorok ke air.

"Hah? Nggak ada belokan di situ!" seru Deka.

"Jangan protes! Lakukan aja!"

Deka dan Jala mengarahkan sampan ke tepi untuk mencapai akar pohon itu. Karena terpaksa melambat, mereka semakin dekat dengan sampan Silas. Lelaki itu berdiri di haluan dan melambai-lambai. "Hooooooi! Jangan masuk ke anak sungai itu!" teriaknya.

Sudah tentu, Deka dan Jala tidak menghiraukan dan semakin mempercepat laju sampan.

"Berhentiiiiiii!" teriak Silas lagi. "Riun akan mati kalau kalian bawa keluar dari wilayah ini!"

Deka menoleh dan mendapati orang itu berteriak-teriak dan melambai dengan sangat gaduh. Ia merasa Silas bukan marah, melainkan sangat khawatir. Mengapa begitu?

"Apa maksudnya Riun akan mati kalau kita melewati portal itu?" tanya Deka.

Jala tidak memedulikan pertanyaan Deka dan terus mendayung. "Dia pasti hanya menggertak. Ayo, dayung lebih cepat!"

Tak ada pilihan lain kecuali menuruti perkataan Jala. Mereka mendayung sekuat tenaga. Di sisi akar pohon terdapat ceruk kecil yang dikelilingi perdu. Di belakangnya berdiri pohon-pohon besar sehingga tempat itu tampak gelap. Ada pusaran air kecil di mulut ceruk yang menjadi semacam pembatas antara arus deras sungai dan air tenang di sisi dalam sehingga ceruk itu terlihat seperti kolam kecil.

"Masuk ke kolam kecil itu!" seru Nuraini. "Maju sekencangnya, jangan berhenti apa pun yang terlihat di depan!"

Sampan menukik, memasuki kolam kecil di samping akar pohon. Pusaran air kecil menimbulkan bunyi gemercik saat ujung haluan menerjangnya. Di depan mereka sekarang hanya terlihat tepian sungai yang dinaungi perdu dan pepohonan besar. Mereka akan menabrak dinding alami itu sebentar lagi.

Refleks, Deka membalikkan badan dan membenamkan Urai ke dalam pelukan. Sementara itu, Nuraini terlihat bersemangat. Ia duduk tegak di haluan sambil merentangkan lengan. "Yuhuuuuu!" serunya.

Perpindahan portal kali ini terasa mulus dan tidak mengagetkan. Tahu-tahu, mereka sudah berada di sebuah anak sungai yang airnya cokelat seperti teh. Ujungnya berakhir di sebuah sungai yang lebih besar yang airnya keruh kecokelatan.

Sampan mereka mengapung dengan tenang selama beberapa detik. Selama itu pula Deka terus mendekap Urai sambil memejamkan mata. Ada rasa damai yang aneh setiap ia merasakan kehangatan tubuh gadis itu. Kulitnya, helaan napasnya, gerai rambutnya, semua hadir begitu pas sehingga ia enggan melepaskannya dan bahkan ingin merasakannya lagi dan lagi.

Urai semula hanyut dalam dekapan Deka. Siapa yang bisa melawan pesona pelukan orang yang dicintai? Namun, akal sehatnya segera bertindak. Pasti Deka hanya kasihan atau sekadar memenuhi kewajiban untuk menjaganya. Tidak mungkin lebih.

"Kodeka! Maumu apa, sih?" sembur Urai seraya mendorong dada Deka menjauh.

Deka tergagap. "Aku cuma ingin melindungi kamu, Rai. Kalau kamu kenapa-napa aku bisa digiling Pak Dehen, tahu!" Entah mengapa, kata-kata itu meluncur begitu saja dan segera ia sesali begitu melihat reaksi Urai.

Kalimat Deka langsung menusuk jantung Urai. Ternyata benar, Deka hanya memenuhi kewajiban untuk melindungi karena sungkan kepada pamannya. Bila seperti itu, untuk apa semua pelukannya? Rasa sesak pun memenuhi hati Urai. Airmatanya dengan cepat menggenang dan menetes.

"Kamu tukang pehape! Jahaaaat!"

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now