7c. Tahanan Gubuk (3)

317 84 7
                                    




Pemuda itu hanya datang untuk meletakkan buntalan daun pisang berisi ubi rebus. Satu di depan Deka dan Urai, dan satu lagi di depan tahanan yang babak belur. Begitu tugasnya selesai, ia langsung pergi tanpa bicara atau menoleh pada Deka dan Urai. Tentu saja, Deka dan Urai hanya bisa memandangi makanan itu. Tangan dan kaki mereka masih terikat.

"Ssst, Rai. Mereka ngomong apa?" bisik Deka setelah pemuda itu menutup pintu gubuk.

Urai menggeleng. Jarak membuat ucapan orang-orang itu tidak semuanya terdengar. "Nggak jelas maksudnya. Kayaknya mereka marah karena orang itu sempat melarikan diri."

"Orang yang mengantar ubi tadi juga tangkapan?"

Urai mengangguk. "Budak."

Deka mendelik. "Budak?"

"Zaman dulu, musuh yang kalah ditangkap, lalu dijadikan budak."

Tak lama setelah budak tadi keluar, tiga orang pemuda masuk ke gubuk, lalu mengamati Deka dan Urai dengan saksama. Urai kontan berpaling ke arah lain. Ia belum terbiasa melihat lelaki dewasa hanya mengenakan kain di pinggang yang cuma menutup area selangkangan. Walau kedua ujung kain itu di bagian depan dan belakang menjuntai dari pinggang hingga ke lutut, namun pantat mereka terlihat jelas. Begitu pula otot-otot perut dan punggung. Ternyata, mereka memiliki perut six pack walaupun tidak pernah ke gym.

Malang bagi Urai. Salah satu pemuda itu malah mendekat dan berjongkok di depannya. Tangannya terulur, mencolek pipi Urai.

"Cantik sekali!" ucapnya dalam bahasa Dayak. "Sepertinya bagus buat nanti malam."

Urai kesal. Tanpa berpikir panjang, ia menggigit jari lelaki itu.

"Aaauh!" pekik lelaki itu sambil menarik tangannya. "Berani sekali kau!"

"Jangan kurang ajar!" sentak Urai.

Dua orang teman lelaki itu hanya menonton dan malah terbahak. "Tahu rasa kamu!"

Orang yang tergigit itu mendesis, lalu keluar gubuk sambil mengumpat-umpat. Dua orang yang masih tinggal mendekati Deka dan Urai, kemudian melepas ikatan tangan mereka.

"Kuman!" perintah salah satu dari mereka. (Makan! – Dayak Ngaju)

"Tapi jangan coba-coba melarikan diri. Kalian pasti akan tertangkap lagi. Mau nasib kalian seperti orang itu?" Jari telunjuk si pemuda mengarah ke Jala.

Urai dan Deka mengangguk. Kedua orang itu pun keluar dan pintu kembali ditutup dari luar. Deka segera melepas ikatan di kakinya dan kaki Urai. Begitu terbebas, gadis itu berlari ke sudut gelap, lalu berlindung di balik tumpukan kelapa. Tak lama kemudian, terdengar bunyi gemercik.

"Keluarkan semua, jangan ada sisa!' teriak Deka.

"Bawel!" balas Urai. Gadis itu pun keluar dengan wajah masam.

"Sudah tuntas pipisnya?" tanya Deka.

"Sudah! Ini lihat. Aku menemukannya di atas tumpukan lanjung beras itu." Urai mengangkat kantung belacu milik Deka. Pemuda itu bangkit dan mengambil kantungnya. Saat dibuka, beras di dalamnya masih utuh.

Jala, pemuda yang terikat tadi merintih. Urai dan Deka menjadi penasaran. Mereka mendekati orang itu dan membuka ikatannya.

"Kenapa kamu tertangkap di sini? Jauh sekali dari kampung asalmu," tanya Urai dalam bahasa Ngaju. Ia tidak berharap Jala bisa menjawab.

Wajah bengap itu terlihat semakin muram. "Aku ... mencari seseorang," jawabnya dalam bahasa Ngaju yang terasa canggung.

"Oh, ternyata kamu tahu bahasa kami," ujar Urai.

Jala berdeham lirih. "Tadi aku sangat pening, malas bicara."

"Siapa yang kamu cari?" tanya Urai.

"Riun, tunanganku. Kamu tahu dia?"

Urai menerjemahkan ucapan pemuda itu ke dalam bahasa Indonesia untuk Deka.

"Riun? Dia perempuan?" tanya Deka.

Ia langsung dipelototi oleh Urai. "Jelas perempuan. Dia bilang tunangannya, Kodeka!"

"Jangan-jangan dia arwah amnesia yang menyeret kita ke sini, Rai!"

_______________

Catatan: Bila ada kesalahan penulisan bahasa Dayak, jangan sungkan untuk memberitahu saya

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now