8a. Kisah Sedih

305 82 2
                                    


Matahari mulai bergeser ke barat. Ubi rebus milik Urai masih tergeletak di atas daun pisang. Segala kejutan yang terjadi hari ini membuat nafsu makannya lenyap. Berbeda halnya dengan Jala dan Deka. Ubi sepotong jatah mereka sudah tandas sedari tadi.

"Ubinya dihabiskan, Rai. Siapa tahu habis ini mereka nggak memberi kita makanan lagi," saran Deka, kali ini dengan nada yang lembut. Ia masih merasa ngilu melihat lecet-lecet di pergelangan tangan dan kaki Urai. Blus brokat katunnya yang semula berwarna hijau toska cerah, kini bertambah motif dengan noda tanah dan debu. Ikat rambut dari manik-manik sudah melorot hingga ke bahu, menyisakan helai-helai rambut yang terburai di sisi wajah. Sepatu sneakers-nya entah ke mana, mungkin diambil oleh para penculik itu.

Urai masih duduk meringkuk dengan wajah disembunyikan di balik paha. Mendengar suara Deka yang tidak biasa, ia mendongak. Pandangannya bersirobok dengan mata Deka yang entah mengapa terlihat lembut. Hal itu justru membuat Urai semakin nelangsa. "Kodeka, kamu berubah selembut ini karena kita sebentar lagi mati?" rintihnya.

Suara serak Urai dan air mata yang berguguran itu membuat Deka semakin terenyuh. "Aku janji akan membawamu pulang dengan selamat."

"Tapi gimana caranya?"

Deka memutar otak. Satu-satunya petunjuk yang ia miliki hanyalah keterangan si Hantu Amnesia dan beras pemberian Urai. Cepat-cepat diraihnya kantung putih kecil di mana Dehen meletakkan empat genggam beras aneh di dalamnya.

Deka meraup segenggam beras yang masih basah dari dalam kantung. "Hai, Beras. Tunjukkan jalan pulang!" ucap Deka, berharap buliran putih kebiruan itu meluncur jatuh dan membentuk penunjuk arah seperti beberapa waktu yang lalu. Namun, kali ini tidak terjadi apa pun. Beras itu tetap menggumpal di telapak tangan.

"Woi, Hantu Amnesia! Keluar kamu! Ayo tanggung jawab, antarkan kami pulang!" seru Deka melalui batin.

Tak ada jawaban apa pun dari alam maya. Deka berusaha menghubungi Dehen. Upaya ini juga tidak membuahkan hasil. Lelaki itu pasti belum eksis di muka bumi ini. Jangankan Dehan, kakek dan neneknya pun kemungkinan besar belum lahir.

Ada sesuatu menggelitik pikiran Deka. Bukankah Nuraini alias Kanaya juga terseret masuk ke portal waktu? Di manakah keberadaan arwah satu itu?

"Nuraini!" panggil Deka melalui batin. "Woi, Nuraini Sayangkuh!"

Deka sengaja hening untuk menajamkan pendengaran batin agar dapat mendeteksi kehadiran Nuraini. Sayang, panggilannya hanya menggaung ke dimensi maya tanpa mendapat sambutan. Tingkahnya itu hanya membuat Urai keheranan.

"Kodeka, beras bisa ditanyai?" tegur Urai.

"Tadi sih bisa. Buktinya, berkat beras ini aku menemukanmu di tengah hutan."

Melihat perilaku Deka, Jala beringsut mendekat sambil menahan rasa nyeri. Ia melongok untuk melihat isi telapak tangan Deka, lalu mengambil sebutir beras dan terkesima melihat biji kebiruan dengan bintik kuning di dalamnya.

"Beras apa ini?" Jala memasukkan butir beras itu ke mulut, lalu mengunyahnya. Sebentar kemudian, pemuda berhidung bulat itu mengernyit dan meludahkan buliran beras tadi. "Bih! Rasanya anyir seperti darah!"

"Masa?" Deka ikut mengambil sebutir dan mengunyahnya. Bunyinya gemertuk saat butiran kecil itu dihancurkan oleh giginya. "Enggak, kok. Rasanya seperti beras biasa, tap—" Kalimat Deka terputus karena kesedihan dan rasa putus asa tiba-tiba menyergap hatinya. Untuk beberapa detik, ia mematung dengan mata kosong.

"Kodeka, kamu kenapa?" tanya Urai sembari mengguncang-guncang bahu Deka.

Guncangan itu cukup untuk menyadarkan Deka. "Ada sesuatu yang aneh." Ia berpaling pada Jala. "Apa yang kamu rasakan saat mengunyah beras ini?"



—Bersambung—

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang