22a. Pelarian

230 64 14
                                    

Lelaki yang muncul itu adalah salah satu dari empat orang yang tadi mereka temui. Melihat Deka sudah kepayahan menggendong Urai, lelaki itu menawarkan diri menggantikannya. Sebenarnya, Deka tidak rela Urai terpisah darinya, namun tidak ada pilihan lain.

"Cepat lari!" ujar lelaki yang tidak diketahui namanya itu. Sebentar kemudian, ia melesat pergi sambil membawa Urai di punggungnya.

"Bawa ini!" Jala menyerahkan talawang, sumpitan, dan busur panah kepada Deka, lalu menyusul, lelaki tadi.

"Hei, tunggu aku!" seru Deka. Ia berlari menerobos tetumbuhan untuk menyusul Jala dengan mengikuti semak-semak dan ranting yang patah, atau rebah karena terinjak.

Setelah beberapa saat, Deka celingukan. Tiba-tiba saja semua orang menghilang, bahkan radar indra keenamnya pun tidak memberi informasi apa pun. Justru mata batinnya menangkap pergerakan dari arah belakang.

"Jala, Jala!" panggil Deka.

Sejenak menunggu, tak ada suara balasan. Deka berniat melanjutkan langkah, namun mulutnya tiba-tiba disekap dan ia diseret masuk ke rumpun perdu. Ternyata orang itu Jala.

"Sssst! Deka, diam!" bisik Jala sambil memaksa Deka merunduk. Jarinya menuding ke seberang. Semak belukar dan perdu bergoyang-goyang menandakan ada sesuatu yang bergerak di dalamnya.

Benar saja, lima lelaki pribumi bertubuh tegap muncul dari balik semak. Mereka berpakaian seragam tentara lengkap, yaitu celana panjang putih dan atasan lengan panjang tebal berwarna biru. Topi tentara yang sewarna dengan baju mereka menambah kesan garang. Sebuah selempang cokelat melintang di dada. Di pinggang mereka tergantung tas kulit dan mandau. Masing-masing memegang karabin, yaitu versi kecil senapan laras panjang. Biarpun daya tembaknya lebih lemah, karabin ringan, mudah dipakai, dan cocok untuk pertempuran jarak pendek dalam medan hutan. Tiga orang lagi muncul dari semak-semak dan bergabung dengan kelima orang itu.

Delapan lelaki menyisir hutan dengan merunduk, seperti tengah memburu sesuatu. Karabin mereka teracung, siap ditembakkan. Melihat penampilan dan gerak-gerik itu, Deka yakin mereka bukan teman empat orang yang dijumpai sebelumnya.

Pasukan kecil itu semakin dekat dengan tempat Deka dan Jala bersembunyi. Jala meraih sumpitan dengan gerakan sepelan mungkin dan bersiap meniupnya. Sementara itu, beberapa lelaki di depan tiba-tiba memekik. Tiga orang roboh terkena sumpitan! Ada orang menyerang mereka dari tempat tersembunyi.

Seketika rombongan itu gaduh. Mereka merebahkan diri ke tanah. Tembakan balasan diarahkan ke sembarang tempat, termasuk ke tempat Deka dan Jala. Beruntung keduanya sempat merunduk sehingga peluru itu hanya berdesing melewati udara di atas kepala.

Suara tembakan terhenti saat pasukan itu mengisi amunisi. Jala meniup sumpitannya. Satu orang berhasil roboh. Melihat separuh dari mereka kejang-kejang, pimpinan pasukan itu memerintahkan mereka mundur. Mereka pun menghilang dari tempat itu dengan membawa teman mereka yang terkena upas.

"Ayo!" Jala memberi kode agar mereka segera meninggalkan tempat itu.

Jala dan Deka terus berjalan menerobos hutan, mengikuti jejak yang ditinggalkan keempat orang tadi. Akhirnya, mereka menemukan anak sungai. Empat lelaki tadi telah berada di sana. Ada sebuah jukung besar beratap dan sebuah lagi yang lebih kecil bersandar di tepi sungai.

Deka menghambur mendekati rombongan itu. "Urai? Di mana Urai?" tanyanya.

"Hetuh," jawab salah satu dari mereka sambil menunjuk ke tanah kering berumput di bawah sebuah pohon. (Di situ - Dayak Ngaju)

Urai dibaringkan di situ, ditemani salah satu dari keempat lelaki dan seorang pria paruh baya. Ia tengah menggerakkan mandau di atas tubuh Urai sambil berkomat-kamit. Deka baru kali ini melihatnya. Kemungkinan besar, bapak itulah orang yang menyediakan sampan bagi keempat pelarian.

Deka menghambur ke sisi Urai lalu menepuk-nepuk bahunya. Perasaannya carut-marut melihat Urai terbujur lunglai. "Rai, Rai bangun!"

Lelaki satunya menepis tangan Deka. "Jangan mengganggu!" tegurnya.

Deka kontan terduduk lemas dan hanya bisa mendaraskan doa dalam hati untuk keselamatan Urai. Bahkan indra keenamnya menjadi tumpul, tidak bisa menangkap apa pun selain rasa takut yang membuncah di dalam dada. Ia ingat belum pernah bersikap baik pada gadis ini. Mulutnya selalu berkata-kata pedas. Padahal bila dipikir-pikir, apa sih kesalahan Urai? Ia cuma seorang gadis naif yang berharap cintanya dibalas.

Bangunlah, Rai. Aku janji nggak akan judes lagi.

Mata Deka mengabur. Karena khawatir dikatakan cengeng, ia segera berpaling dan mengelap air matanya dengan ujung ewah.

Selesai memutar mandau dari ujung kepala hingga ujung kaki Urai beberapa kali, pria paruh baya itu menyarungkan mandau-nya. Bersamaan dengan itu, Urai menggerakkan bola mata. Perlahan pelupuknya terbuka.

Deka mengembuskan napas lega. "Rai, Rai! Kamu bisa mendengarku?"

Urai menoleh sejenak, lalu mengangguk. "A-aku ...." Wajah Urai tiba-tiba mengernyit menahan nyeri. Detik berikutnya, ia memiringkan kepala dan memuntahkan isi perut.

Melihat Urai muntah-muntah, pria paruh baya tadi mengeluarkan botol kaca kecil, lalu menuang isinya ke mulut Urai. "Mihup, Ken." (Minumlah, Keponakan. - Dayak Ngaju)

Urai menurut. Cairan yang ternyata minyak binatang itu ia telan walau rasanya memualkan.

"Dia terkena upas," ujar pria itu sambil mengoleskan minyak di luka Urai.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now