31a. Tangisan di Tengah Malam

211 70 5
                                    

Sungai Kahayan ternyata menjadi salah satu sarana lalu lintas utama di wilayah Dayak Ngaju. Sungai ini bermuara di Laut Jawa, tepatnya di pantai selatan Pulau Kalimantan. Beberapa sungai besar juga bermuara di pantai selatan, seperti Sungai Barito dan Sungai Kapuas di timur, serta Sungai Katingan dan Sungai Mentaya di barat. Berbeda dengan jukung yang bisa mencari jalur alternatif melalui rawa-rawa untuk berpindah dari satu sungai ke sungai lain, kapal-kapal besar harus keluar melalui laut dulu, baru kemudian membelok memasuki sungai lainnya. Karena itu, muara sungai menjadi tempat penting lalu lintas perairan.

Semakin ke hilir, semakin banyak perahu lalu lalang di Sungai Kahayan. Para nelayan dan pengangkut rotan menggunakan perahu kayu kecil atau rakit bambu. Ada pula kapal-kapal yang lebih besar, milik pedagang yang datang dari Sungai Barito melalui laut.

"Jangan-jangan kita akan berpapasan dengan kapal Marsose yang mengejar kita melalui muara sungai," ucap Urai.

"Kamu benar. Apa kita harus mengambil jalan darat?" tanya Deka.

"Masih jauhkah lokasi Riun?" tanya Urai.

"Kalau dari penerawanganku, tempatnya terpencil di antara desa ini dan desa berikutnya."

"Berarti di antara Kanamit dan Pangkuh. Mungkinkah di daerah Tahai?" tanya Urai.

Deka tidak bisa menjawab. Ia buta daerah ini.

"Sebaiknya, kita masuk ke anak sungai di depan buat menghindari orang-orang," usul Jala yang langsung mendapat anggukan dari kedua rekannya.

"Tapi, kita masuk ke belokan yang mana?" tanya Urai. Baik Jala maupun dirinya belum pernah merambah daerah ini.

"Tunggu sebentar." Deka melempar beberapa butir beras. Arahnya menunjuk ke sebuah belokan kecil di sebelah kiri. Tanpa ragu, ketiganya mengayuh dayung memasuki anak sungai kecil itu.

Menjelang sore, mereka menemukan sebuah perkampungan kecil. Dari kejauhan, hanya terlihat tiga rumah panggung di tepi sungai. Namun, bukan tidak mungkin jumlahnya lebih banyak. Terlihat lanting-lanting berjajar di tepi sungai. Ada beberapa perempuan yang sedang mencuci ditemani anak-anak mereka yang bermain air dan mandi.

"Itukah tempat Riun?" tanya Urai.

Deka mengangguk. "Aku bisa merasakan keberadaannya di sekitar sini, tapi tidak jelas di sebelah mana."

"Kamu sudah mencoba mengunyah beras?" tanya Urai.

"Sudah. Gambaran yang kudapat hanya rumah panggung di tengah hutan."

Urai bisa membayangkan kesulitan yang mereka hadapi. "Kita harus meneliti satu per satu rumah di pinggiran desa itu, dong?"

Deka mengedikkan bahu. "Mau gimana lagi? Ayo dayung! Kita harus mencari tempat bermalam sebelum gelap."

"Tunggu! Kita tidak bisa langsung mendarat di tengah kampung," ujar Jala. "Bagaimana kalau mereka tahu kita buronan Belanda? Sebaiknya kita tinggalkan jukung di sini, lalu jalan kaki ke sana."

Mereka pun sepakat mengikuti usul Jala. Ketiganya menyembunyikan jukung di balik rumpun nipah di tempat aman, lalu berjalan menembus hutan menuju pinggiran kampung. Dengan hati-hati, ketiganya memindai situasi.

"Ternyata di dalam sini banyak rumah," keluh Urai. "Ada yang mirip gambaranmu?"

Deka menggeleng. "Rumah yang aku lihat jauh dari perkampungan. Di sekitarnya banyak pohon kecapi dan durian."

"Rai, sebaiknya suamimu memanjat pohon. Siapa tahu dari atas bisa terlihat," usul Jala.

Urai menyampaikannya pada Deka dan langsung disambut mata mendelik.

"Aku nggak bisa memanjat pohon! Gila apa?" protes Deka.

Urai pun berpaling pada Jala. "Dia tidak bisa memanjat pohon, Jala. Kamu saja lah!"

Mendengar itu, Jala menatap tak percaya pada Deka. Lelaki macam apakah ini? Wajahnya sehalus perempuan, tidak tahu cara memakai senjata, bahkan tidak bisa berenang dan memanjat pohon. Sungguh mengherankan bila ada perempuan menyukainya. "Cari saja suami lain," ucapnya pada Urai.

"Jangan! Dia menggemaskan, loh!" bela Urai sambil meringis lebar.

"Ada apa?" Deka menimbrung pembicaraan.

"Berikan aku sebutir beras!" tukas Jala pada Deka.

Deka pun memberikan sebutir beras ajaib sambil keheranan mengapa pemuda itu kesal padanya. Setelah memasukkan beras ke mulut, Jala menghilang dari hadapan mereka untuk mencari pohon tertinggi.

"Kenapa dia?" tanya Deka pada Urai.

"Dia kesal karena harus memanjat pohon sendirian. Kalau ada kamu kan lebih enak. Kalian bisa diskusi di atas sana."

Deka mengangkat kedua alis sambil manyun. "Diskusi apanya? Bicara aja nggak nyambung. Yang ada nanti cuma debat pakai bahasa monyet."

"Bahasa itu pantas kok buat kamu yang jutek," balas Urai.

"Hei!"

☆☆☆

ANOI 1894 - The Disastrous RitualOn viuen les histories. Descobreix ara