6b. Berpindah Zaman (2)

353 82 35
                                    

Deka kini memasuki daerah bertanah kering yang ditumbuhi pohon-pohon besar. Ia tidak tahu pohon apa saja, namun ia sempat melihat pohon kecapi yang buahnya lebat. Karena itulah, keyakinannya semakin kuat bahwa tempat ini adalah bagian dari Pulau Kalimantan. Sepanjang pengetahuannya, buah yang mirip manggis namun berwarna cokelat muda itu banyak tumbuh di hutan-hutan pulau ini.

Hutan itu sangat luas. Deka mulai kebingungan memilih arah yang harus ditempuh. Sejenak, ia teringat beras dalam kantong putih tadi. Dibukanya ikatan buntalan yang sekarang basah. Beras itu tetap sama seperti dulu, berwarna putih kebiruan dan mengeluarkan wangi yang unik. Ia mengambil segenggam dan melihat bulir-bulir aneh itu dengan saksama.

"Hai, Beras. Ke mana aku harus mencari majikanmu?"

Deka meringis sendiri. Tentu saja beras tidak akan menjawab. Ia berniat memasukkan kembali bulir-bulir putih kebiruan itu ke dalam kantong. Tanpa sengaja, ia menjatuhkan beras itu. Butiran yang basah seharusnya tidak mudah tergelincir dari tangan. Namun, kali ini berbeda. Butiran itu terhambur ke tanah dan secara aneh jatuh berjajar memanjang ke arah tertentu.

Mata Deka melebar. Ia segera melangkah mengikuti arah yang ditunjukkan beras. Setelah beberapa saat menembus perdu-perdu lebat di kaki hutan, ia menemukan sosok perempuan yang tergeletak di dekat sebuah pohon.

"Rai?"

Deka menghambur mendekat, lalu berjongkok untuk memeriksa gadis itu. Ia tidak menemukan luka. Kulit Urai tetap hangat dan napasnya teratur.

"Rai, Urai!" panggilnya sambil menepuk-nepuk pipi gadis itu. Ia lega, Urai mengerang lirih sambil mengernyit. Perlahan, mata bulatnya terbuka.

"Kodeka?" rintih gadis itu, lalu berusaha duduk sambil melingkarkan tangan ke leher Deka.

Deka mundur karena merasa risih. "Mau apa kamu?"

Penolakan Deka itu membuat Urai merengut dan melengos. Menyebalkan sekali. Di saat seperti ini dirinya tetap dijudesi. "Pergi sana! Biarkan aku mati!"

Tanpa memedulikan protes Urai, Deka segera bangkit berdiri, lalu menarik lengan gadis itu. "Cepat berdiri!"

Walau kesal, Urai menurut. Begitu gadis itu berdiri, Deka segera menyeretnya meninggalkan tempat itu.

"Aduuuh!" Urai tersandung dan nyaris tersungkur. Untung ia mendapat pegangan pinggang Deka sehingga batal mencium tanah dan malah berakhir memeluk pemuda itu dari belakang. Sekilas, senyum terkembang di bibirnya yang kemerahan.

"Heh! Jangan modus! Lepaskan pinggangku!" sentak Deka.

Bibir Urai seketika manyun. "Aku nggak sengaja! Kenapa kamu menyeretku seperti orang kesetanan?"

Deka berbalik. Melihat bibir yang menguncup itu, ia mendesis kesal. "Apa kamu nggak lihat di dekat kamu tidur tadi ada ular? Sudah bagus ditolong, kok malah nyolot!"

Nyali Urai menciut setelah mendengar keterangan Deka. "Maaf ...."

Deka tidak menjawab dan kembali berjalan dengan wajah datar. Biarpun begitu, ia menggenggam tangan Urai agar tidak jatuh terantuk akar pohon atau batang kayu busuk.

"Ada yang terasa sakit?" tanya Deka tanpa menoleh.

Urai memandangi punggung lelaki di depannya sambil memikirkan sikap aneh itu. "Nggak ada. Cuma lemas," jawabnya lirih.

"Ya sudah. Ayo lebih cepat jalannya. Kita harus menemukan rumah penduduk sebelum hari menjadi gelap."

Mereka berjalan melalui perdu yang rapat sehingga tidak bisa bergerak cepat. Beberapa kali tangan dan kaki mereka tergores ranting dan duri.

---Bersambung---

Ada yang berbunga-bunga ...

Komen, yuk?

Kalau banyak komenan, besok Fura up lagi.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now