19a. Menghindar

231 60 2
                                    

Ketiga pelarian baru selesai mandi. Urai keluar dari air, masih mengenakan tapih basah. Di tempat terbuka seperti ini, ia terpaksa mandi dengan cara nenek moyang, yaitu membalut tubuh polos menggunakan tapih, lalu berendam di air sungai.

Di ceruk sungai yang lain, terpisah oleh rumpun nipah, kedua rekan lelakinya lebih dulu naik ke tanah kering. Deka baru selesai mencuci kaus dan celana denim yang terkena lumpur kotoran babi. Karena tidak ada baju lain, ia terpaksa mengenakan ewah dan menutup dadanya dengan mengalungkan kain tapih. Kulitnya yang kuning bersih tampak kontras dengan ewah kelabu kehitaman. Ia sempat ditertawakan oleh Jala karena tidak tahu cara membebatkan kain yang panjangnya sekitar enam meter itu ke pinggang dan selangkangan.

Jala membantunya mengikat bagian belakang ewah dan membuat sisanya menjuntai ke bawah. Sebuah tali dari pepagan atau kulit kayu dililitkan ke pinggang untuk menggantung mandau, kantung beras, bambu tempat anak sumpitan, dan buli-buli kecil dari kulit binatang. Tempat minum itu mereka temukan di tumpukan barang di buritan sampan.

"Ohoho!" seru Jala. "Kamu mirip anak kepala suku!"

Tentu saja, Deka hanya membalas dengan senyuman karena tidak mengerti bahasa Jala.

Mendadak, alarm tanda bahaya Deka berdering. Mata batinnya mendeteksi ada yang bergerak di kejauhan. "Musuh datang!"

"Hah?" tanya Jala.

"Punan, orang Punan datang!" seru Deka sambil berlari mencari Urai di balik rumpun nipah.

Gadis itu tengah memasang celana dalam, sehingga tapih yang basah diturunkan, teronggok di kaki. "Aaaaauwww!"jeritnya begitu tahu siapa yang datang. Ia segera merunduk, menutup dada dan meraih kain tapihnya, lalu dengan kalut bersembunyi di balik pohon nipah. Sedangkan celananya tertinggal di tanah.

"Rai! Jangan menjauh! Kembali ke jukung sekarang juga! Orang Punan itu datang mencari kita!"

"Aku pakai baju dulu! Bawakan bajuku di ranting itu ke sini," seru Urai.

Deka kehilangan kesabaran. Disusulnya Urai.

"Kodekaaaaa! Kamu mesum!" pekik Urai. Mulutnya segera dibungkam Deka.

"Ssst! Nanti mereka tahu kita di sini! Nggak ada waktu lagi, Rai! Udah, jangan banyak mikir. Kita harus kabur secepatnya!" Tangan Deka segera membantu Urai membebatkan tapih ke dada gadis itu. Untung situasi sedang kalut. Kalau tidak, otaknya pasti sudah melanglang buana ke galaksi lain karena melihat bahu mulus dan dada Urai yang membusung padat. Begitu kain itu melekat kuat di tubuh mungil gadis itu, ia segera menyeretnya.

"Bajuku, sepatuku!" seru Urai. Tangannya menggapai ranting tempat meletakkan baju, namun tak sampai.

Deka kasihan juga. Ia kembali untuk meraih benda-benda itu. Celana, bra, blus, dan sepatu digulung menjadi satu, lalu ia bergegas menarik Urai pergi.

"Biar kubawa!" tukas Urai sambil merebut benda-benda pribadinya dari Deka. Pipinya terasa panas. Ia baru menyadari junjungannya mengenakan ewah sehingga dada dan pangkal pahanya yang mulus terlihat nyata. Sayang, sekarang bukan saat yang tepat untuk menikmati fantasi.

Mereka segera mengemasi barang-barang ke dalam sampan. Api unggun dimatikan, lalu ditutup dedaunan busuk. Sisa keladi turut diangkut. Siapa tahu mereka membutuhkannya nanti.

Orang-orang Punan itu ternyata sangat cepat. Ketiga pelarian itu baru naik ke sampan saat haluan perahu para pengejar muncul dari balik labirin rawa, sekitar dua ratus meter jauhnya.

"Dayung, cepat!" seru Jala. Lengan berototnya bergerak cepat, menyibak air sungai dengan dayung kayu ulin. "Berapa orang mereka?"

Urai menoleh ke belakang. Ada dua sampan kecil yang masing-masing berisi tiga orang. Dua orang mendayung, satu orang memegang busur panah. "Mereka berenam."

Para pemburu Punan itu rupanya telah melihat mereka. "Hoooi! Berhenti! Jangan kabur!" seru para pemburu itu.

"Hoooi, berhenti atau matiiiiii!" teriak mereka lagi.

"Jala, kita berhenti atau lari?" tanya Urai. "Mereka sepertinya tidak ingin membunuh kita."

"Jangan percaya! Dayung lebih cepat!" jawab Jala.

Kedua sampan orang Punan itu bergerak sangat cepat. Jarak mereka semakin terkikis. "Heeei, kalian! Serahkan orang Iban itu dan kalian akan kami bebaskan!" seru orang itu lagi.

"Mereka mencari, Jala!" lapor Urai pada Deka. "Kita harus gimana?"

Deka menggeleng. "Kita sudah berjanji padanya, Rai. Lagipula, jangan percaya omongan para pembunuh itu."

Urai melirik ke belakang. "Kodeka, i-itu!" tunjuknya.

Deka ikut menoleh. Ternyata dua orang yang memegang busur panah tengah mengarahkan senjatanya, membidik mereka. "Panaaaaah!" seru Deka. Dengan cepat ia meraih talawang dan melindungi tubuh mereka dengan benda itu.

Beberapa anak panah pun meluncur ke arah sampan mereka. Beruntung talawang itu cukup besar dan jarak mereka cukup jauh. Anak panah itu hanya menancap di talawang dan badan sampan.

Orang-orang Punan itu meneriakkan pekikan perang yang membuat bulu kuduk ketiga buruannya meremang. Dua sampan mereka didayung oleh pemuda-pemuda berbadan kekar sehingga dengan cepat meluncur, menyusul sampan Deka yang hanya dikayuh Urai dan Jala karena kedua tangan Deka memegang talawang. Jarak sekitar dua ratus meter terkikis dengan cepat.

"Kita pasti tertangkap. Mereka cepat sekali!" seru Deka.

"Lihat, ada kelokan!" seru Urai. "Kita belok aja, lalu cari tempat persembunyian di rawa."

"Ke rawa lagi? Salah-salah kita malah terjebak di dalamnya," balas Deka.

Jala berhenti mendayung sejenak, lalu menunjuk tempat Urai duduk. "Kita lawan saja mereka! Rai, ambil busur dan panah di bawah lantai!"

Urai menggeser tubuh agar dapat meraba lantai sampan. Ternyata ada kayu yang bisa diangkat. Ia segera menarik kayu itu dan terbukalah ruang tersembunyi di baliknya. Ternyata isinya bermacam-macam barang. Salah satunya busur dan anak panah. Urai mengulurkan kedua senjata itu kepada Jala, namun ia menggeleng.

"Berikan ke dia!" tunjuk Jala ke wajah Deka. Panah-panah musuh kembali menyerbu mereka sehingga ketiganya harus meringkuk di bawah talawang.

"Cepat serang mereka!" perintah Jala kepada Deka.

Mata Deka kontan melebar. Tangannya dengan kalut membuat tanda penolakan. "Aku belum pernah memegang busur panah sama sekali!"

Jala langsung berdecak dan mengucapkan sesuatu dalam bahasanya. "Apa yang kamu bisa? Dasar perempuan!"

Untung Deka tidak mengerti bahasa Iban sehingga hanya tahu dirinya dimarahi.

Jala merebut busur panah dari tangan Urai, lalu berpindah ke belakang. Sambil berlindung di balik talawang, ia mulai membidik. Satu anak panah meleset. Yang kedua menancap di talawang musuh.

Musuh-musuh itu membalas. Posisi mereka semakin tidak seimbang. Dua sampan memburu satu sampan dengan panah.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now