35b. Melarikan Riun (2)

208 66 2
                                    

Semua merasa ucapan Jala itu ada benarnya.

"Ya sudah, kita masuk ke sana. Tapi gimana caranya?" tanya Deka.

"Betang itu isinya sebagian besar laki-laki, Deka. Kalian akan menjadi sasaran empuk kalau masuk ke sana," sahut Nuraini.

"Siapa sebenarnya penghuni betang itu?"

"Kamu tahu tukang pukul? Kalau aku lihat, mereka dibayar untuk melindungi para pedagang. Aku pernah melihat pemimpinnya mengawal kapal-kapal dagang milik penduduk desa."

"Waduh, berarti mereka bukan musuh yang enteng."

Nuraini menggeleng sambil berdecak. "Sama sekali bukan."

Deka berpaling pada Jala. "Kamu ikut berpikir, dong, gimana masuk ke sana tanpa ketahuan. Aku nggak mau jadi sasaran sumpitan!"

Jala membuka mulut, namun Deka tidak mau memberinya kesempatan untuk membantah. "Jangan sampai Urai terluka gara-gara kamu. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, aku akan memburumu sampai ke ujung neraka!"

Jata hanya menatapnya dengan santai. Deka sama sekali tidak menakutkan saat marah. Matanya membulat, alisnya terangkat dan bibirnya mengerucut. Sangat lucu.

"Tebarkan beras di jalan yang akan kita lalui. Beras itu akan membentuk tabir tak kasat mata."

Deka memicing penuh curiga mendengar saran itu. "Begitukah? Kamu tahu banget seluk beluk beras ini."

"Eit, eit! Jangan bertengkar terus. Hatiku sedih, Sayang!" Nuraini menyelip di antara kedua pemuda yang tengah saling tatap dengan hati panas.

"Dia benar. Lebih baik kita segera bergerak." Jala memeriksa mandau di pinggang dan meraih talawang. Talawang mereka tersisa satu, yaitu yang ia ambil dari dinding betang Deong.

Deka ikut mengecek mandau yang tergantung di pinggangnya. Setelah yakin benda itu terikat rapi, ia meraih kantong beras dari saku celana. Tanpa menunggu izinnya, Jala meraup segenggam, lalu menaburkannya di tanah yang akan mereka lalui.

"Jalan di belakangku dan jangan bersuara," ucap Jala.

Deka mendengkus. "Kamu tahu banget kegunaan beras ini. Kamu pembuatnya, kan? Ayo jujur!"

Jala langsung melesat tanpa menjawab. Deka menyusulnya. Baru beberapa langkah, ia teringat Urai. Bukankah di depan banyak bahaya? Bagaimana bila ternyata ia tidak pernah kembali?

Deka pun membalikkan badan dan mendatangi Urai. Melihat Deka kembali, Urai keheranan. Alisnya terangkat, menyampaikan tanya tanpa kata.

Deka tiba-tiba bingung sendiri. "Rai, kamu sembunyi di sini. Kalau ada apa-apa, jangan menunggu aku, langsung lari aja," ujar Deka lembut agar Urai tidak terlalu takut.

Alih-alih menjadi tenang, Urai justru tertegun dan terlihat takut. Ah, Deka ingin mengutuk mulutnya yang asal bicara. Mengapa malah kata-kata menakutkan itu yang keluar? Padahal, ia ingin memeluk Urai sebelum berpisah agar gadis itu tenang.

Urai sendiri semakin bingung dengan sikap Deka. Sebentar penuh perhatian, namun tak lama kemudian kembali mengeluarkan kalimat yang membuatnya kecut. Namun, ia mendengar Deka mengancam menuntut balas pada Jala bila sesuatu terjadi padanya. Apakah itu berarti Deka menganggapnya orang penting? Kekesalannya lenyap, berganti rasa perih. "Kodeka ...."

"Jangan takut. Aku janji akan memulangkanmu ke Pak Dehen dengan selamat." Setelah berkata begitu, Deka berlari menyusul Jala.

Urai terduduk di persembunyian. Hatinya kecewa. Lagi-lagi, Deka menyebut nama Dehen. Pasti semua perhatiannya tadi hanya karena kewajiban kepada pamannya.

☆☆☆

Beruntung betang tua itu dikelilingi pepohonan besar dan masih gelap seperti hutan sehingga Deka dan Jala mempunyai banyak tempat berlindung untuk mengintai sebelum memasuki halamannya.

Di halaman depan, beberapa orang lalu lalang membawa beras dan sayur-sayuran. Mereka juga terlihat sibuk memotong babi di tempat itu dan sekarang bergotong royong membersihkan dan membelah-belah dagingnya.

Nuraini menunjuk tangga di sisi rumah. Tempat itu dekat dengan kandang babi dan tumpukan kayu bakar. "Kita masuk lewat dapur aja," usulnya. "Pasti mereka baru sibuk masak-masak."

Jala dan Deka menunggu hingga tidak ada orang di halaman belakang. Dibantu taburan beras, mereka berhasil naik ke betang tanpa hambatan. Mereka melewati dapur di mana beberapa lelaki tengah memasak. Deka heran. Apakah isi betang ini semuanya lelaki?

Mereka melanjutkan langkah menuju bagian tengah ruangan los. Di situ pun terlihat kesibukan. Beberapa lelaki menyiapkan seorang pria muda yang berbadan kekar dan berwajah tampan untuk upacara pernikahan. Ewah merah menyala dililitkan ke pinggang. Baju zirah terbuat dari kulit kayu dan bulu binatang tergantung di satu sisi ruang. Ada tutup kepala berhias bulu burung ditata mekar seperti ekor merak. Di bagian depan, paruh burung enggang berwarna kuning terang menjadikan hiasan kepala itu semakin megah.

Jala dan Deka berhasil menyelinap ke sebuah bilik di bagian tengah betang. Gadis bernama Riun itu duduk di lampit di tengah ruangan. Sosoknya mungil seperti Urai, namun lebih kurus. Kulitnya putih bersih dan wajahnya bulat. Matanya agak sipit, namun maniknya cokelat sehingga terlihat indah. Rambutnya pun tidak terlalu hitam. Ia hanya mengenakan tapih sehingga bahu dan lengannya yang halus terpampang nyata. Tapih itu bercorak batik berwarna dasar hijau, mirip motif batik dari pesisir Jawa yang meriah dan kaya warna.

Di dekat tempat duduk Riun, terhampar baju pengantin berupa tapih berwarna merah menyala yang disulam warna-warni. Di dekatnya terdapat ikat pinggang dan penutup dada serta bermacam aksesori dari manik-manik. Sebuah tutup kepala berhias bulu burung enggang tersimpan rapi di atas nampan berlapis kain sutera. Di sebuah nampan lain tertata rapi berbagai perhiasan dari emas berupa sepasang anting, gelang, dan cincin berhias batu permata, serta gelang kaki dan gelang lengan dari batu giok. Pasti calon suaminya memiliki banyak uang sehingga sanggup menyediakan barang-barang mahal yang biasanya didapat dari pedagang luar daerah.

Seorang wanita tua tengah melukis gambar-gambar hiasan di lengan Riun dengan tinta hitam. Seorang lagi membubuhkan minyak wangi dan menyisir rambutnya. Riun terlihat sangat cantik. Ia tersenyum cerah dan bahagia layaknya pengantin wanita.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now