27b. Kain Tapih(2)

237 64 21
                                    

Lupa dirinya hanya diselimuti air sungai yang berwarna cokelat, Urai refleks mendekap Deka. Lelaki itu merasa mendapat pegangan dan langsung melingkarkan tangan di lehernya. Kain tapih sudah terlepas dan sekarang mengapung, hanyut ke tempat lain. "Kodeka, tenang, tenang!"

"R-Rai! Aargh!" Deka mendekap Urai sekuat tenaga seperti berjuang demi nyawa yang tinggal segaris. Urai nyaris ikut roboh dan tenggelam andai kakinya tidak segera bertahan di dasar sungai.

"Tenang, tenang! Pijakkan kakimu, cepat!"

"Ap-apa?" Lengan Deka masih ketat melingkari leher Urai. Takut mati.

"Sungainya dangkal. Dalamnya cuma seleherku. Cepat cari pijakan!"

"Hah?" Deka belum pulih dari kepanikan dan belum mau melepas cengkeramannya.

"Kodeka, cepat berpijak! Kamu hampir mencekikku!" pekik Urai.

Deka menjejakkan kaki di dasar sungai. Benar kata Urai. Kakinya mendapat pijakan. Ketakutannya segera reda dan ia bisa berdiri. Ternyata airnya tidak sampai merendam bahu. Langsung saja, mukanya panas karena malu. Untung Urai tidak mengejeknya.

Deka melonggarkan pelukan. Baru ia sadar tangannya merangkul bahu Urai yang polos. Lalu, ia juga sadar tubuh bagian atas Urai pun polos. Kain tapihnya mengapung tak jauh di samping tempat mereka berdiri. Berarti bagian bawahnya ....

"Aaaaah!" Urai langsung mundur dan bergerak ke samping untuk meraih kain tapih. Belum sempat mengenakannya kembali, terdengar langkah-langkah kaki menuruni lanting.

"Hooi, Deka! Kamu mandi di situ?" seru Simpei dari atas lanting.

Tahu ada lelaki lain di situ, Deka cepat-cepat menyusul Urai, meraih tubuhnya, lalu membenamkannya ke dalam pelukan. Dengan begitu, punggungnya melindungi tubuh polos Urai dari pandangan orang yang tengah berdiri di atas lanting. Akibatnya sungguh tak terduga. Badan mereka berimpit tanpa dibatasi selembar benang pun. Otak Deka langsung berhenti bekerja. Sedangkan jantungnya menderu kencang. Kedekatan ini mengejutkan, sekaligus ... menyenangkan?

"Astaga!" seru Simpei. Ia datang ke tempat ini bersama Pandih. Niatnya semula ingin membersihkan diri. Namun, melihat Deka berpelukan dengan Urai, matanya seperti kelilipan daun rotan. Bayangkan saja, sudah berbulan-bulan ia terpisah dari istrinya yang tinggal di Muaralaung, sekarang malah mendapat tontonan kemesraan.

"Hooh, ada berang-berang kawin! Ayo kita mandi di tempat lain," ajak Pandih sambil meringis lebar.

"Iyoooh!"

Simpei dan Pandih pergi sambil menahan tawa. Sementara itu, kedua "berang-berang" membeku di air, sama-sama terpana oleh keintiman tak terencana itu.

Di dalam air, tangan Deka langsung bersentuhan dengan kulit punggung Urai. Air yang berwarna cokelat seperti teh memang menyembunyikan penampakan tubuhnya. Namun, indra perabaan Deka telah berfungsi seperti mata. Saat tangannya menyentuh kulit Urai yang halus, gambaran tubuh gadis itu langsung terbentuk di dalam benak. Sangat nyata dan indah. Deka sampai lupa menarik napas. Bahkan tangannya kini punya naluri dan kehendak bebas. Tahu-tahu pelukannya melonggar. Kedua lengannya melorot dan tersangkut di pinggang Urai.

"Kodeka, kamu mesum!" Urai berteriak sambil mendorong tubuh Deka saat menyadari tangan lelaki itu merayap ke pinggang.

Deka yang baru tersadar dari ilusi tubuh Urai, tercubit hatinya. Ia bertindak melindungi, mengapa malah dituduh mesum? Oh, harga dirinya harus dipertahankan!

"Mesum?" semprotnya. "Aku terpaksa melindungi kamu dari pandangan orang-orang!"

Urai membebatkan kain tapih ke dada secepat mungkin. Wajahnya panas. Bagaimana mungkin ia didekap dalam kondisi tanpa busana? Jantungnya nyaris copot. "Kamu cari kesempatan pegang-pegang!" semburnya.

"Eh, jangan menuduh sembarangan! Aku nggak pernah nggak sopan, tahu! Malah kamu yang nyosor duluan tadi." Deka menunjuk pipi kirinya.

Urai seperti tertampar. Memang benar, ia terlalu nekat menyosor pipi Deka. Sekarang rasa malu dan penyesalan menyergap hatinya.

"Hih!" Urai berenang menjauh sambil manyun, lalu cepat-cepat naik ke lanting. Sambil membawa jantung yang berdegup kencang dan wajah yang merah padam, ia berlari ke rumah.

Sekarang pikirannya benar-benar kacau. Bayangan tubuh Deka yang hanya mengenakan ewah dan mendekapnya beberapa kali sepanjang hari ini terus melayang-layang di dalam benak. Kalau seperti ini, bagaimana bila Deka menolak cintanya? Sanggupkah ia beralih ke lain hati?

☆☆☆

Komen please ....
Mau double up?

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now