38b. Eksekusi (2)

226 74 12
                                    


"Tunggu sebentar." Silas menghunus mandau sembari berjalan tegap ke tepi sungai. Ia mengambil minyak dari tabung bambu yang terikat di pinggang. Mandau diangkat ke arah matahari. Sambil mengoleskan minyak keramat ke bilah besi itu, matanya terpejam. Mulutnya komat-kamit mengucapkan mantra.

Deka mendadak mendapat firasat buruk bahwa saat eksekusinya sudah datang. Ia hanya teringat Urai. Hatinya mengatakan ada hutang jawaban yang belum dilunasi. Logikanya tidak berjalan saat menghadapi maut seperti ini. Semua kriteria calon pasangan ideal berguguran. Ia hanya ingin menuruti ke mana hati dan hormonnya menuju. Refleks, ia menghampiri Urai dan mendekapnya.

"Hei! Mau apa kamu?" bentak anak buah Silas. Dengan kasar, ia berusaha melerai pelukan Deka.

Deka melawan. Dengan segenap tenaga, ia mempererat pelukan. "Rai, sebelum mati, aku mau menjawab pertanyaanmu. Iya, Rai. Aku sayang banget sama kamu," bisiknya di telinga gadis yang akhir-akhir ini memenuhi hidupnya dengan keriuhan.

"Kodeka ...?" Urai nyaris tidak percaya pada pendengarannya. Deka menyatakan cinta atau hanya terbawa suasana? "Semalam, kamu bilang nggak sayang."

"Aku sayang kamu, Rai. Aku cinta kamu!" Deka mengucapkannya tanpa malu. Toh hidupnya kemungkinan besar akan berakhir sebentar lagi.

"Hei!" bentak anak buah Silas. Dengan sekali tendang ke arah kepala, ia merobohkan Deka.

Deka terguling menghantam pasir. Bibir dan hidungnya berdarah. Namun, ia masih berusaha bangkit untuk merengkuh Urai kembali. Anak buah Silas rupanya merasa iba sehingga membiarkan mereka berpelukan.

Urai hanya menunduk dan terisak sambil merasakan pelukan Deka. Ia lega karena akhirnya Deka mengakui perasaan cintanya. Namun, mengapa harus terjadi di saat genting seperti ini? Ia tidak mengerti apa yang terjadi di dalam dirinya ketika sebuah gundukan menggelembung dengan cepat memenuhi dada. Yang jelas, saat ini  napasnya sesak karena kesal.

"Rai?" tanya Deka. Ia harus memastikan arti tangisan Urai kali ini. Perasaannya tidak enak. Ternyata benar, Urai mendorong badannya dan bergeser menjauh.

"Rai?" tanya Deka lagi. Keheranannya berlipat ganda karena Urai sesenggukan parah.

"Kenapa baru menjawab sekarang, Kodeka!" rutuk Urai. "Sebentar lagi kita mati. Buat apa pernyataanmu itu? Percuma! Kita nggak bisa menikah juga akhirnya!"

Deka ternganga dan syok. Ia tidak siap mental ditolak Urai. Apalagi di saat genting seperti ini. "M-maaf ...."

Deka ingin merengkuh Urai kembali, namun anak buah Silas menendangnya hingga terguling menjauhi Urai. "Hei! Dia tidak mau denganmu!" bentak orang itu.

Anak buah Silas menyuruh Deka berlutut dengan tangan ditekuk di belakang kepala. Mereka mengatur ulang posisi para tawanan. Jala dipindah ke samping Deka, menggantikan tempat Urai. Gadis itu disuruh berlutut di antara Riwut dan Siun. Deka sampai merana karena Urai jauh dari jangkauannya, dipisahkan oleh Jala dan Siun.

Sementara itu, Silas telah menyelesaikan ritual kecilnya dan mendatangi para tawanan. Deka semakin panik.

"Jala, lakukan sesuatu!" bisik Deka.

"Melakukan apa?"

"Apa pun. Merobohkan pohon, kek. Membuat banjir bandang, kek."

"Kalau aku punya kekuatan itu, aku sudah merebut Riun dan membawanya lari."

"Bukan kamu yang merobohkan pohon?"

"Itu kamu! Kamu dan Urai bersama-sama membuat beras itu punya daya kekuatan. Cobalah lagi sekarang!"

"Kenapa aku? Bukannya kamu yang membuat beras itu?"

Jala bungkam karena tidak sanggup menjelaskan kejadian yang ingin ia lupakan. Deka pun lemas. Beras ajaib telah habis ia tabur saat melarikan diri dari kejaran Silas. Ia mencari-cari keberadaan Nuraini, namun arwah centil itu tidak terlihat batang hidungnya. Sungguh teman yang tidak berguna.

Silas telah berdiri di depan mereka dengan mandau terhunus. "Tundukkan kepala mereka!" perintah Silas. Anak buahnya segera menjambak rambut Deka untuk membuatnya menunduk. Mereka juga melakukannya pada Riwut, Siun, Jala, dan bahkan Urai.

Deka masih berusaha mengulur waktu. "Tolong, jangan bunuh dia. Dia hanya ikut terseret dalam masalah ini gara-gara Jala. Bunuh saja aku," pintanya kepada Silas.

Silas mencibir, lalu terbahak nyaring. "Wah, pertunjukan apa ini? Ternyata kita semua berkumpul di sini karena mabuk cinta!"

"Hai, gadis! Kamu mencintai laki-laki lembek ini? Sayang sekali. Anak buahku lebih perkasa dari dia. Kamu tinggal pilih. Ada dia, dia, atau dia!" Silas menuding satu per satu anak buahnya yang masih perjaka.

Urai melengos ke arah lain dan merapat ke Riwut. Deka yang melihat adegan kecil itu seperti menelan arang menyala. Panas sekali dadanya melihat kedekatan mereka berdua. Ia membuka mulut untuk memanggil Urai, namun sebuah tendangan membuatnya roboh.

"Dudukkan dia!" perintah Silas.

Anak buahnya segera memaksa Deka duduk dan menunduk. Mandau Silas terayun ke udara. Sebuah gumaman mantra mengiringi bilah mengilap itu menyasar leher musuhnya.

Ya, Pemilik Semesta. Bantulah kami meloloskan diri bila belum saatnya untuk mati, doa Deka dalam hati.

Set-set-set-set-set!

Bunyi ujung mandau mengiris kulit mengisi keheningan tepian sungai. Detik berikutnya, terdengar erangan kesakitan dan tubuh-tubuh yang bergulingan.

Deka terempas ke pasir pantai. Matanya nanar menatap Urai yang juga roboh di ujung barisan. Hanya saja, gadis itu jatuh ke arah Riwut dan sekarang mereka ambruk sambil berpelukan. Air mata Deka menetes tanpa terasa. Mungkin, inilah karma karena mengabaikan cinta Urai dan menyangkal perasaannya sendiri.

Aku sayang kamu, Rai ...

☆Bersambung☆

Jangan lupa memberi bintang, komen, dan share 😊😊😊
Tindakan sepele bagi Pembaca, tapi sangat bermanfaat bagi lapak ini buat menghasilkan karya-karya yang seru.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now