22c. Pelarian (3)

225 65 8
                                    



Berkat kekuatan enam pendayung, sampan pun melaju cepat menuju hulu. Lepas tengah hari, mereka telah berada dekat dengan lanting betang Deong. Demi keamanan, mereka membelok masuk ke sebuah anak sungai. Sepertinya, mereka mengenal daerah itu. Mereka bahkan tahu jalan setapak rahasia yang menghubungkan anak sungai di belakang betang dengan kandang babi.

Simpei turun diikuti Pandih. Dua rekannya, Tilung dan Alui, tetap tinggal di sampan guna mengawasi Jala dan Deka.  Keduanya siaga dengan panah dan mandau di buritan dan haluan kapal, berjaga bila ada musuh datang.

Beberapa waktu berlalu dengan menegangkan. Sampai akhirnya sebuah teriakan terdengar dari arah hutan, tempat betang Deong berada. "Ululululuuuu hui!"

Rupanya, itu kode dari Simpei. Tilung dan Alui menoleh. "Kita aman!"

Tilung berpaling pada Deka dan Jala. "Kalian turun dan masak ubi!"

Jala bergerak gesit mengikuti kedua orang itu, sementara Deka menghampiri Urai di dalam bedeng. Dibantunya duduk, lalu meminumkan air dari tabung bambu yang diberikan pria paruh baya sebelum mereka berangkat tadi. "Masih mual?" Kata-katanya jauh lebih lembut dari biasa sampai Urai merasa mendapat mukjizat.

Urai menggeleng sambil berusaha tersenyum untuk membalas sikap lembut Deka. "Makasih, Kodeka."

Deka sejenak tertegun. Urai masih bisa tersenyum setelah sempat kritis. "Kamu istirahat, ya. Aku turun dulu merebus jamu."

"Kodeka, jangan lama-lama," balas Urai manja. Ia terlihat bahagia karena perhatian kecil itu.

Ada yang berkecamuk kacau di dalam dada Deka setelah mendapat tatapan berbinar Urai. Mulutnya gatal, ingin nyinyir menasehati agar Urai tidak bertingkah sok imut. Tapi, ia teringat janjinya untuk tidak judes sehingga cepat-cepat memalingkan wajah.

Jala dan Deka turun dari sampan, lalu mengikuti Tilung dan Alui membuat api di pinggir sungai. Ubi yang mereka bawa dari sampan dibungkus daun, lalu dimasukkan ke dalam api. Deka juga merebus air untuk menyeduh ramuan obat buat Urai. berempat, mereka duduk mengelilingi perapian.

"Kemampuanmu meniup sumpitan semakin hebat," ucap Tilung.

Alui tengah memanggang wadi[1] yang dijepit menggunakan ranting pohon. Ia mendongak sambil tersenyum. "Ah, belum seberapa, masih kalah jauh dari kamu."

Kedua pemuda itu berumur dua puluhan. Badan mereka ramping, tidak terlalu tinggi, namun berotot.

"Mampuslah Marsose-Marsose pribumi itu[2]!" sahut Tilung.

"Sudah selayaknya. Mereka mengkhianati saudara sendiri demi mendapat uang dari penjajah. Cih!"

"Tapi harus diakui, kita memang kewalahan melawan Belanda." Tilung tampak muram. Tangannya mengaduk ubi di pembakaran dengan ranting.

"Ya, sejak menenggelamkan kapal Onrust di Sungai Barito[3], kita terus mengalami kemunduran. Apalagi setelah Pangeran Antasari meninggal."

Tilung membenarkan dengan mengangguk kecil. "Tiga puluh tahun lalu, kita bahkan punya armada kotta-marra. Bapaku salah satu yang membuatnya," imbuhnya. "Gila, ya. Orang zaman itu bisa membuat panser terapung dari bambu untuk melawan kapal-kapal perang Belanda."

"Mungkin kalau kita bersatu, Belanda sudah terusir dari tanah Dayak. Masalahnya, ada saja orang kita yang memihak mereka. Tumenggung di Kuala Kapuas ini contohnya. Sejak dari Tumenggung Jaya Negara hingga penggantinya, semua bepihak pada Belanda," sahut Alui.

"Kurang ajarnya, mereka mengambil orang kita sebagai Marsose. Coba kalau orang kulit putih itu terjun sendiri di hutan, pasti mati kutu!" keluh Tilung. "Dulu, mereka juga memakai Marsose pribumi buat menumpas perlawanan rakyat Aceh. Sekarang mereka memakai cara itu di sini."

"Kurang ajar!" umpat Alui.

"Ya, sangat kurang ajar!"

Jala mendengarkan percakapan itu dengan saksama. "Maaf, saya sempat mengira kalian adalah Marsose," ucapnya dengan hati-hati.

"Bukan!" sahut Tilung. "Amit-amit! Kami anak buah Gusti Matseman yang sekarang bergelar Sultan Muhammad Seman, putra Pangeran Antasari."[4]

"Oh, saya tahu itu. Gusti Matseman mengambil istri dari suku Ot Danum, tempat majikan saya dulu," jawab Jala.

"Kamu pernah tinggal di Ot Danum?" tanya Tilung.

Jala mengangguk.

"Kamu tahu Damang Batu?"

"Ya saya tahu. Beliau kepala suku di Tumbang Anoi dan saudara majikan saya," sahut Jala.

Tilung dan Alui terdiam sambil menatap Jala dalam-dalam. Jala menjadi salah tingkah dibuatnya.

"K-kenapa?" tanya Jala dengan gugup. Jangan-jangan ia salah bicara dan akan dilempar ke sungai.

Tilung mendengkus keras. "Heh! Itu lagi! Damang kamu itu apa sudah berpikir masak-masak? Kita mati-matian melawan Belanda, tapi dia malah berniat mengumpulkan seluruh suku Dayak untuk membuat perjanjian damai. Itu sama saja membuat orang pedalaman takluk pada Belanda! Maka dari itu, kita harus mencegah pertemuan itu, paham?"

Jala hanya melongo karena hidupnya selama ini jauh dari urusan dengan Belanda. Sebagai orang pedalaman, ia hanya mendengar kabar burung tentang orang kulit putih yang mengaku menjadi tuan atas tanah Dayak dan isinya. Tentu saja, ia tidak sepenuhnya percaya. Mana ada orang kulit putih sanggup memasuki pedalaman Kalimantan? Tidak ada yang lebih tahu tentang isi hutan di sini selain orang Dayak yang telah menjaganya selama berabad-abad.

"Sebenarnya, Damang Batu ada benarnya. Bukankah kita harus bersatu dulu sebelum melawan Belanda?" ucap Alui, setengah ragu. Kepalanya langsung dipukul oleh seniornya.

"Kamu ini bagaimana? Perintah yang sudah jelas jangan lagi dibolak-balik! Kita tetap harus menggagalkan pertemuan itu!" sentak Tilung.

"Tapi bagaimana caranya?" tanya Alui. "Damang Batu itu sakti. Kabarnya, dia bisa muncul di mana saja dalam sekejap! Kamu tidak dengar, dia sudah berkeliling ke semua suku Dayak dalam enam bulan ini. Bayangkan, cuma enam bulan untuk mendatangi semua suku Dayak. Masuk akalkah itu?"

Mereka terdiam. Dalam hati masing-masing menggumpal rasa gentar.

"Siapa takut, segera mundur!" Sebuah hardikan menggema dari arah hutan. Simpei datang dengan wajah garang. Telunjuknya terarah ke Alui. "Kamu, pergi sekarang juga kalau ragu!"

Alui kontan menunduk hormat. "Tidak, tidak. Maafkan saya, Kak!"

Simpei berkacak pinggang. "Kalian lupa apa yang kita perjuangkan? Mengusir penjajah! Bahkan bila harus melawan saudara sendiri, kita tidak akan gentar! Haram manyarah, waja sampai kaputing!" (Haram menyerah, baja sampai ke ujungnya - bahasa Banjar) [5]

Kedua rekannya menyahut bersamaan sambil mengangkat kepalan tangan, "Waja sampai kaputing!"

Jala hanya diam. Ia tidak yakin orang-orang ini bisa menghadapi Damang Batu, tetua yang disegani dari hulu Sungai Kahayan itu.

______________

[1] Wadi adalah ikan yang difermentasi menggunakan garam dan bubuk beras sangrai. Aromanya tajam dan rasanya gurih masam.

[2] Marsose atau Korps Marechaussee te Voet adalah satuan militer yang dibentuk pada masa kolonial Hindia Belanda dan berada di bawah  Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) alias Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Marsose direkrut dari pemuda-pemuda pribumi yang mengenal budaya setempat dan medan tempur sehingga efektif menumpas gerilyawan. Sumber: Wikipedia

[3] Onrust adalah kapal perang Belanda yang ditenggelamkan oleh Pasukan Tumenggung Surapati di Sungai Barito tahun 1859.

[4] Gusti Matseman bergelar Sultan Muhammad Seman adalah Sultan Banjar, Raja Kerajaan Kastapura, yaitu kesultanan Banjar yang baru sebagai penerus Kesultanan Banjar yang telah dihapuskan Belanda. Masa pemerintahannya tahun 1862-1905. Beliau adalah putra Pangeran Antasari. Di zaman Sultan Muhammad Seman, pemerintahan Banjar berada di Muara Teweh, di hulu sungai Barito.

[5] Slogan ini digaungkan oleh Pangeran Antasari, Pahlawan Nasional dari Kalimantan Selatan. Artinya, haram menyerah kepada musuh, berjuang sampai penghabisan, seperti baja yang keras sampai ke ujungnya. Slogan ini sekarang digunakan sebagai moto Provinsi Kalimantan Selatan.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now