39a. Permohonan Bantuan

212 62 2
                                    

Kelima tawanan terguling dengan leher berdarah. Ada torehan berbentuk tanda silang di tengkuk mereka. Deka merabanya dan merasakan perih. Ia menjadi yakin bahwa nyawanya masih utuh. Ia pun bangkit dan mendatangi Urai. Saat tahu Urai pun bisa duduk dan bernapas dengan baik, ia lega. "Rai, kamu nggak pa-pa?"

Urai melengos tanpa menjawab pertanyaan Deka. Penolakan kecil itu membuat Deka lemas.

Silas berdiri di depan para korbannya dengan senyum kemenangan. "Aku sedang berbaik hati karena calon istriku meminta ampunan atas nyawa kalian. Tapi, aku sudah memberi tanda di leher kalian. Selamanya kalian tidak akan bisa masuk ke wilayah gaib tanpa seizinku. Jadi, jangan coba-coba mengganggu Riun lagi!"

Silas memberi kode kepada anak buahnya untuk pergi. Ia meraih Riun ke dalam gendongan, lalu mengikuti anak buahnya menuju sampan. Mereka baru mencapai batas air saat terdengar pekikan perang dari arah hulu. Tiga sampan orang Punan muncul dari kelokan. Di belakang rombongan itu, melayang si Arwah Centil, Nuraini.

"Dekaaaa! Kamu baik-baik saja, Sayang?" seru si Arwah Centil sambil menuding-nuding rombongan Punan. "Aku menemukan mereka!"

Deka menoleh ke arah datangnya suara. Begitu pula teman-temannya.

"Orang Punan!" Jala dan Riwut bergumam bersamaan. Yang seorang dengan nada gentar, yang seorang lagi penuh kemarahan.

Riwut sedari tadi mencermati pembicaraan Deka dan Jala. Ia bisa mengerti ucapan Jala karena menggunakan bahasa Dayak Ngaju. Sedangkan Deka menggunakan bahasa Indonesia yang mirip bahasa Banjar sehingga ia bisa menduga-duga maksud pembicaraannya. Kehadiran pasukan Punan jelas menguak luka yang masih berdarah. Kontan, ia mendelik ke arah Deka. "Itukah hasilmu mencari bantuan? Orang Punan?" semprotnya.

"Aku nggak tahu! Itu ulah Nuraini!" bantah Deka.

"Nuraini?" Riwut yang tidak bisa melihat arwah hanya bisa mengerjap. Ia lebih keheranan karena Deka bisa menyahut sehingga terpaksa menanyai Urai. "Rai, dia mengerti bahasa kita?"

"Sejak berada di kawasan gaib, kami bisa saling mengerti walau memakai bahasa masing-masing," sahut Urai.

"Hah?" Riwut ternganga. Namun, darah yang mengalir dari leher Urai membuatnya melupakan hal itu. "Lukamu sakitkah?" tanyanya sambil menengok ke belakang tubuh Urai.

Urai mengangguk dan balas menengok leher Riwut. "Darahnya banyak!" ucapnya dengan wajah panik.

Melihat itu, dada Deka memanas. "Rai, sudah! Kita harus segera pergi dari sini!" Ditariknya tangan gadis itu, lalu berlari menuju sampan mereka.

Riwut dan Siun juga segera masuk ke air dan kembali naik ke sampan mereka. Namun, Jala bertahan di daratan.

"Jala, cepat naik!" panggil Urai.

Jala menggeleng. "Aku harus membawa Riun!"

"Jangan! Biar dia dibawa ke desa gaib. Dia akan meninggal bila tetap di alam manusia!" teriak Urai di pinggir jukung.

Jala tidak mau menurut dan malah berlari ke pinggir hutan untuk mencari kayu sebagai senjata.

Dua belas orang Punan yang bersenjata lengkap dan mengenakan rompi perang menepi. Sasaran utama mereka adalah Silas dan kawan-kawannya. Namun, mereka tidak pandang bulu, semua diserang. Penumpang salah satu jukung mengenali Deka, Urai, dan Riwut. Mereka segera membelokkan sampan ke tempat Deka karena posisinya paling dekat.

"Urai, cepat lari ke hutan!" seru Riwut. Ia sendiri menghadapi satu sampan yang membidiknya dengan panah.

"Siun, lindungi aku!" perintahnya. Siun segera meletakkan talawang di tepi jukung agar Riwut bisa pergi dengan aman.

Riwut terjun ke air tepi sungai yang dangkal, lalu berlari ke sampan Urai dan Deka. "Cepat lari ke hutan!" perintahnya kepada Deka dan Urai.

Dengan gesit, Riwut naik ke atas sampan. Ia menghadang orang-orang Punan yang hendak meloncat ke sampan Deka. "Hei, hei! Berhenti!"

Deka tidak menyiakan kesempatan. Ia meraih talawang, satu-satunya senjata yang tersisa, lalu menarik tangan Urai keluar dari jukung.

"Riwut, Riwut, Kodeka!" pinta Urai, seperti melapor bahwa nyawa Riwut terancam.

"Iya, aku tahu. Jangan sia-siakan pengorbanannya. Kita harus selamat!" ujar Deka sambil terus menyeret Urai ke arah hutan. Air mata Urai kontan meluber keluar. Ia berlari sambil terisak-isak.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now