5a. Portal Cahaya

417 97 22
                                    



"Ada apa nanti malam?" tanya Deka. Suaranya serak akibat rasa cemas yang tiba-tiba menggulung di dalam dada.

Seperti biasa, Dehen hanya tersenyum. Tanpa menjawab kebingungan Deka, pria itu mengajak Urai pulang.

Malam itu, Deka tak bisa tidur. Walau sudah berjam-jam merebahkan diri dan mematikan lampu sehingga cahaya kamar remang-remang, matanya tetap tak mau diajak terpejam. Ia bahkan mencoba memakan manisan pala yang kata orang bisa menimbulkan kantuk. Namun, hasilnya tetap nihil.

Deka menggeliat di kasur, lalu memiringkan badan. Tiba-tiba, ada rasa menyengat di bagian belakang leher. Deka mengerang sambil memegangi tengkuk. Ia baru menyadari bahwa kulit di mana gambar talawang itu berada terasa panas.

Deka pun duduk di tepi ranjang. Entah mengapa perhatiannya tertuju pada lanjung beras yang tadi siang dibawa Urai. Ia segera menyalakan lampu dan menghampiri tas anyaman rotan itu. Tak ada yang energi asing atau makhluk astral yang berdiam di dalamnya. Selain bentuk bulirnya yang tak biasa, tidak terdapat keanehan pada beras itu. Namun, suara hatinya berkata bahwa beras itu berhubungan dengan peristiwa gaib tadi siang.

Deka mengulurkan tangan untuk meraup butiran beras itu. Mendadak hatinya dijalari rasa pilu yang aneh. Ia seperti mengalami kesakitan dan keputusasaan yang melumpuhkan. Seolah masa depannya sirna dan hanya melihat kematian. Deka terhenyak kaget hingga jatuh terduduk dengan debaran jantung menderap kencang.

Apa yang baru saja terjadi padanya?

☆☆☆

Begitu langit telah terang, Deka berangkat menuju Banjarbaru, tempat indekos Urai. Lanjung beras ikut dibawa serta. Perjalanan itu hanya memakan waktu 30 menit dan tidak terasa seperti ke luar kota karena Banjarbaru sebenarnya menyambung dengan Banjarmasin.

Begitu memarkir mobil di halaman indekos Urai, ia langsung disambut oleh gadis itu.

"Yuk sarapan dulu, Kodeka," ajak Urai riang. Ia seperti mendapat durian jatuh karena bisa melihat hidung mancung dan bibir merah basah pujaan hatinya di pagi hari seperti ini.

"Hm," jawab Deka singkat. Wajah memuja Urai itu membuatnya enek.

"Om Dehen sudah menunggu di dalam." Ia melirik lanjung yang ditenteng Deka. "Loh, kenapa berasnya dibawa ke sini?"

Deka tidak menjawab dan melangkah cepat agar tidak perlu berjalan bersisian dengan Urai. Ia masuk ke ruang tamu indekos. Dehen telah duduk di sana, menyantap nasi bungkus.

"Ayo sarapan," ucap Dehem sambil menyodorkan satu bungkus nasi. "Nasi bebek ini langganan saya setiap datang ke sini."

"Terima kasih, Pak." Deka menerima dengan senang hati karena perutnya memang kosong.

Dehen melirik lanjung beras yang diletakkan di sisi kursi Deka. "Itu beras dari Urai?"

"Oh, iya." Deka meletakkan nasi bungkus di meja, lalu mendekatkan lanjung ke Dehen. "Bapak sudah pernah melihat beras yang seperti ini?"

Dehen meraup segenggam beras, lalu mengamatinya beberapa saat. "Saya rasa, beras ini terkait dengan kejadian aneh kemarin."

"Saya pikir juga begitu, Pak," sahut Deka.

Tanpa berkata-kata, Dehen bangkit dari duduk, lalu masuk ke kamar tamu indekos. Ia keluar lagi dengan sebuah kantong kain berwarna putih pecah yang terbuat dari kain belacu. "Masukkan beberapa genggam beras itu ke sini," ucapnya sambil menyerahkan kantong itu pada Deka.

Deka menurut tanpa bertanya karena sudah hafal tingkah laku misterius Dehen. Setelah mengisi setengah kantong dengan beras aneh, ia menarik kedua tali di mulut kantong ke arah berlawanan, lalu membuat simpul yang erat.

"Sini, biar saya simpan." Dehen mengambil kantong itu, lalu memasukkannya ke tas pinggang.

"Apa kegunaan beras itu?" tanya Deka.

Dehen hanya tersenyum dan Deka pun sudah hafal gaya itu. "Masih rahasiakah? Bapak senang sekali membuat orang penasaran," keluh Deka.

"Saya memang belum bisa menjawab pertanyaan itu. Tapi, bukan cuma saya yang membuat orang penasaran. Kamu juga." Dehen mengerling jenaka ke arah keponakannya yang tengah sibuk menyantap nasi bebek.

Digoda seperti itu, muka Deka kontan merona merah. "Bapak bisa saja. Urai bukan penasaran, Pak, tapi menyo—"

"Apa!" protes Urai. Mata bulatnya melebar maksimal.

Entah mengapa, ada listrik korsleting di jantung Deka. Hatinya tersengat arus kecil yang terasa nyelekit. Ia melengos cepat-cepat.

Dehen berdeham beberapa kali. "Jangan bertengkar, nanti kalian terkena karma buruk."

---Bersambung---

Jangan lupa, follow IGku: nataliafuradantin

Jadwal upnya Senin, Selasa, dan Rabu ya Genks. Klo khilaf bisa nambah di luar hari itu. Masukkan library biar nggak ketinggalan update.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now