20b. Kritis (2)

238 68 20
                                    

Jala sangat benar. Begitu tahu panah mereka tidak berhasil mengenai lawan, para pemburu itu segera menerobos rumpun perdu, meloncat ke arah mereka. Salah seorang di antaranya tiba-tiba menyeruak rumpun perdu tepat di atas Jala dan Deka. Mandau-nya berkilat, terayun ke arah Deka yang terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk karena kaget.

"Hehh?" Mata penyerang itu tiba-tiba mendelik dan gerakannya membeku. Sebuah anak sumpitan menancap di rompi perangnya yang terbuat dari anyaman rotan berlapis kulit kayu. Tentu saja, dadanya tidak sampai terkena upas. Ia segera mencabut anak sumpitan dan melindungi diri dengan talawang. Mata pemuda itu semakin beringas. Mandau-nya kembali terayun ke arah Deka dan Jala.

Jala membela diri dengan menusukkan sumpitan yang dilengkapi dengan mata tombak. Serangan balik itu tidak mengenai lawan, namun berhasil membuat pemuda itu mundur selangkah. Deka meraih tanah lalu melemparnya ke wajah musuh. Sebagian butiran kecil mengenai mata lelaki itu, menimbulkan rasa perih yang sangat. Si pemuda terhuyung mundur dan kalang kabut mengusap matanya. Bertepatan dengan itu, sebuah anak sumpitan kembali melayang, kali ini telak menancap di lehernya.

Pemuda itu meraba leher, lalu mencabut anak sumpitan itu. Mulutnya menggeram nyaring. Tahu nyawanya sebentar lagi lenyap, ia semakin kalap, menyerang dengan membabi buta. Namun, sebentar saja upas yang masuk ke peredaran darah mulai bereaksi. Orang itu merasakan sakit kepala dan mulai limbung.

Saat musuhnya sempoyongan, Deka dan Jala segera melarikan diri. Teman-teman sang pemuda bermunculan dari balik rumpun perdu dan langsung mengejar mereka. Deka menarik Urai, namun gadis itu sedang memasukkan anak sumpitan, lalu bersiap meniupnya. Ternyata, Urai cukup mahir menggunakan senjata itu berkat didikan kakeknya di kampung.

"Rai, sudah dulu! Lari!" seru Deka. Bersama Jala, diangkatnya gadis itu agar mengikuti mereka.

Panah-panah berdesingan menembus rumpun perdu. Teriakan perang mereka membahana di seantero hutan. Barangkali mereka mengamuk karena temannya mulai sekarat. Mau tak mau, Deka, Jala, dan Urai melupakan luka-luka dan pegal otot, berlari sekencang mungkin menjauh dari pekikan-pekikan itu. Entah ke arah mana, yang penting kabur secepatnya.

Tiba-tiba, pekikan-pekikan berhenti. Bahkan suara gesekan tubuh pada tetumbuhan pun lenyap. Hutan seketika senyap mencekam. Jala dan kedua temannya memanfaatkan itu untuk terus bergerak. Di depan, kondisi hutan semakin terang dan mereka mencium aroma sungai.

"Sungai! Ayo cepat!" ajak Jala.

Ketiganya mempercepat langkah. Hanya beberapa menit kemudian, gerakan mereka terhenti kembali. Beberapa puluh meter di depan, hutan telah menghilang, digantikan tanah lapang berumput yang berakhir pada dinding tinggi yang terbuat dari balok-balok kayu besar, menyerupai benteng pertahanan. Di bagian atas pagar itu terdapat lubang-lubang. Sebuah moncong besi besar berlubang menyembul dari lubang itu.

Dari tempat persembunyian Deka, keseluruhan bangunan tidak sepenuhnya terlihat karena terhalang pepohonan. Namun, tampak menjulang menara di salah satu sudutnya. Sebuah bendera tiga warna—merah, putih, biru—berkibar di atasnya. Di balik bangunan itu terlihat sungai. Sebuah kapal besar yang memiliki dua tiang dan satu cerobong asap bersandar di sana. Bendera tiga warna juga terpasang di haluannya.

"Benteng Belanda?" bisik Deka. Ia menengok ke belakang, ke arah hutan. Tidak terlihat tanda-tanda pergerakan musuh. "Ke mana orang-orang Punan itu?"

Jala bergerak dengan merunduk ke belakang untuk melihat kondisi, lalu kembali lagi dan menggeleng. "Sudah pergi."

"Mungkin mereka tahu ini wilayah Belanda sehingga mundur," ucap Deka dengan perasaan lega. Akhirnya mereka tidak lagi menjadi kelinci buruan. "Ayo, kita ke san—"

Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!

Sekonyong-konyong, peluru berdesingan di sekitar mereka. 

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now