3b. Kerasukan (2)

453 100 13
                                    


Deka tidak menjawab. Ia segera mengambil jarum pentul dan gelas berisi air, lalu komat-kamit sejenak membaca doa dan menyalurkan energi ke air. Dipercikkannya air itu ke tubuh Urai.

Urai meraung-raung. Tak lama kemudian, ia lemas. Binatang peliharaan sudah lepas. Kini tinggal mengusir si majikan. Deka menekan ujung jari kaki Urai kuat-kuat. Makhluk dalam tubuh Urai memekik keras. 

"Keluar!" hardik Deka. Dipecikkannya sekali lagi air dari gelas, lalu jarum pentul ditusukkan ke ibu jari tangan kiri Urai. Lengkingan keras keluar dari mulut gadis itu. Suaranya sangat nyaring sehingga beberapa pegawai Deka berlarian naik ke lantai dua untuk melihat apa yang terjadi. Sebuah bayangan putih keluar dari tengkuk Urai, lalu melayang-layang di langit-langit. Begitu makhluk itu lepas, tubuh Urai lemas dan ambruk ke lantai.

"Mas, gimana ini? Mbak Urai dibawa ke kamar?" tanya Bi Minah.

Deka mengecek napas Urai. Seketika ia meringis. "Bawa ke kamar mandi sana, Bi. Baunya pesing banget!"

"Waduh, baju gantinya gimana?"

"Pinjam punya Bibi aja."

"Ya kebesaran! Badan saya kan segede karung," kilah Bi Minah.

"Kenapa emang kalau kebesaran? Mending begitu daripada kekecilan."

"Tapi ... tapi baju saya jelek, Mas."

Deka kontan mendelik dan berkacak pinggang. "Nggak hantu, nggak orang, bedungil semua!" (bandel - bahasa Banjar)

Bi Minah segera lari ke kamarnya untuk mengambil baju. Ternyata, ia bukan mengambil bajunya, tapi celana pendek dan kaus milik Deka. Cowok itu tidak protes karena tidak sempat memperhatikan. Ia sibuk membuat Urai siuman.

Tak lama kemudian, Urai membuka mata. Dengan susah payah ia duduk dan kebingungan mengapa celana panjangnya basah dan ia dikerumuni banyak orang.

"Kodeka, aku kenapa?" rengeknya.

Deka mendengkus. "Caper kayak biasa! Udah, cepat mandi sana. Kamu bau pesing!"

"Caper? Pesing? Maksudmu apa, sih?" Urai tidak mengamuk, tapi malah meneteskan air mata.

"Udah, Mbak Urai jangan menangis. Ayo saya bantu ganti baju di kamar mandi," hibur Bi Minah. Setelah itu ia menoleh ke Deka. "Mas Deka ini, loh. Mbak Urai salah apa sih, kok dijudesi begitu?"

"Habis dia bawa masalah terus." Deka pergi menjauh, lalu duduk di ruang tengah. Ia perlu menenangkan diri sebelum berkomunikasi dengan makhluk yang merasuki Urai tadi.

Sosok itu memang mirip arwah perempuan, putih dan pucat, namun tubuhnya berjumbai-jumbai di bagian bawah. Energinya sangat halus dan aneh. 

"Deka ...," panggil makhluk itu.

"Janji dulu, jangan pernah merasuki manusia lagi."

"Iya, aku janji."

"Siapa kamu?"

"Aku tidak tahu."

"Gimana bisa nggak tahu nama sendiri? Ya sudah, dari mana asalmu?"

"Dari jauh. Aku terbawa oleh angin di bukit sana, lalu terdampar di sini." Telunjuk makhluk itu menuding ke arah utara di mana Bendungan Riam Kanan berada.

Deka seketika teringat bahwa di tepi bendungan itu terdapat bukit keramat Matang Kaladan. Dulu, di tempat itu terdapat portal menuju kerajaan gaib di mana si Arwah Centil Nuraini menjadi panglimanya.

"Kok bisa terlempar ke sana? Jelaskan!"

"Aku ... aku tidak tahu. Aku sedang dikejar-kejar musuh. Lalu mendadak badanku jadi lemah karena terbelah-belah. Kamu lihat sendiri, tubuhku menjadi tipis begini."

"Siapa yang mengirimmu ke sini? Penguasa Matang Kaladan?" tanya Deka. 

"Matang Kaladan? Aku baru dengar."

Deka semakin bingung dengan makhluk ini. Benarkah hantu bisa amnesia? Ada-ada saja! "Lantas dari mana kamu tahu namaku?"

"Aku mendengar pembicaraanmu dengan dia." Makhluk itu menunjuk arwah Nuraini dengan gerakan dagu.

"Hmm, lantas kamu mau apa?"

"Aku juga tidak tahu, Deka. Aku cuma merasa kamu harus menolongku."

Deka semakin keheranan. "Makhluk aneh. Gimana aku bisa menolongmu kalau kamu sendiri nggak tahu mau minta tolong apa? Udah, ah. Pulang sana ke duniamu!"

"Tidak bisa. Aku jatuh di rumahmu. Cuma kamu yang bisa melakukannya, Deka."

Deka menjadi gemas. Ternyata benar, hantu pun bisa amnesia. "Ya gimana caranya, gitu loh, Hantu?"

"Mungkin kamu harus ikut denganku."

"Apa? Kamu mengajakku mati? Ogah!"

"Bukan, bukan mati. Datanglah ke tempatku, aku mohon!"

Deka masih mencerna kata-kata si makhluk aneh itu. Ia tidak sempat mendapat jawaban karena tiba-tiba dikagetkan oleh jeritan Urai dari kamar mandi. Deka menghambur ke sana dan menemukan Urai pucat pasi di depan pintu. Belum sempat bertanya, semua yang ada di sekelilingnya berputar kencang, seperti terseret angin puting beliung.

Deka merasa pusing. Tiba-tiba semua yang terlihat menjadi kelabu. Saat itulah sebuah penglihatan menyeruak, ditayangkan di tengah pusaran itu. Ia berusaha sekuat tenaga memusatkan perhatian sambil bertahan agar tidak terseret oleh arus. 

Bukit Matang Kaladan terlihat samar-samar, disusul oleh gambaran talawang[2] menyala di sebuah batang pohon. 

_________________________

[2] Talawang adalah perisai tradisional Dayak yang terbuat dari kayu. Bentuknya segi enam dan permukaannya kerap dihiasi berbagai ukiran.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now