32b. Tangisan Lagi (2)

207 64 5
                                    

Deka tidak langsung menuruti perkataan Jala. Ia memutuskan membuat benteng perlindungan. Ia mengambil air, lalu mengisinya dengan energi. Air itu kemudian dicipratkan ke sekeliling pondok dan perapian sambil mengucap doa dalam hati.

Semoga semua yang jahat kembali ke asalnya.

Setelah yakin energi perlindungan itu terbentuk, Deka masuk ke pondok dan merebahkan diri. Kelelahan akhirnya membuatnya terlelap.

"Huhuhuhuuuuu!" Suara tangis terdengar lagi, kini terasa sangat dekat. Deka kontan terbangun.

"Siapa di luar situ?" serunya melalui batin.

"Huhuhuuuuu!" Suara tangis itu kini sangat jelas berupa suara perempuan.

"Hoi! Jangan mengganggu kami! Kembali aja ke asalmu!" seru Deka.

Tangisan mendadak terhenti. Sebagai gantinya, embusan udara menerjang masuk ke dalam pondok. Entah dari mana asalnya, sebuah wajah sebesar nyiru menyeruak masuk dan langsung berada di depan hidung Deka.

"Dekaaaaa! Ini benar kamu, kaaaan?"

"Aaaaah!" Deka kaget seperti tersambar petir. Serta merta, ia terjengkang ke belakang. Dadanya naik turun tidak karuan. Teriakan itu membangunkan Urai dan Jala. Pemuda itu segera berlari ke dalam pondok.

"Kodeka, kamu kenapa?" Urai memegang lengan Deka, membantunya duduk. Biarpun masih kesal, ia tetap mengkhawatirkan kondisi junjungannya.

Deka tidak menjawab karena tengah memandangi arwah Nuraini. Urai yang tidak bisa melihat hal-hal gaib hanya tahu Deka membelalak ke arah pintu pondok yang kosong.

"Nuraini! Kamu bikin kaget aja!" semprot Deka.

Jala dan Urai saling pandang. "Nuraini?" tanya mereka bersamaan.

Si arwah centil malah cekikikan. Ia terlalu senang bisa bertemu kembali dengan Deka setelah tersedot portal gaib.

"Dekaaa kesayangankuuuuh! Akhirnya aku ketemu kamu lagi. Aku kira aku bakal terjebak selamanya di tempat ini." Nuraini ingin bergayut di bahu Deka, namun pemuda itu segera menepisnya.

"Hush! Jangan pegang-pegang!"

"Kenapa, Kodeka? Kamu bicara sama siapa?" Urai mulai ngeri melihat Deka bicara sendiri.

"Rai, ada arwah teman pamanmu ikut tersedot ke dalam portal. Ternyata, suara tangis yang kudengar tadi asalnya dari dia."

"Hantu?!" Mata Urai semakin terbelalak. "Di mana dia sekarang?"

Deka menunjuk tempat kosong di samping Urai. "Tuh, dia cengengesan di situ."

"Aaah!" Urai langsung bergeser menjauh.

"Tenang aja. Dia nggak mengganggu, kok, malah bisa berguna."

Nuraini si Arwah Centil mendekati Urai, lalu mengendusnya. Wajahnya berubah masam dan mulutnya manyun melebihi hidung panjangnya. "Dekaaaa! Kenapa ada baumu di badan anak ini? Kamu selingkuh!"

"Hei, jangan macam-macam!"

"Ayo jawab! Kalian sudah boom-boom kah?"

"Boom-boom?"

"Itu, loh. Begini!" Nuraini menguncupkan jari-jarinya, lalu mempertemukan sisi kiri dan kanan.

"Hush, jangan ngawur!" Deka teringat tubuh Urai yang belum lama tadi meringkuk sangat pas dalam dekapannya. Belum lagi pelukan mereka di sungai itu, oh! Wajahnya kontan memanas. Melihat perubahan itu, Nuraini langsung menengadah dan melolong ke arah bulan.

"Huhuhuuuuu! Kamu nggak setia lagi!"

"Diam, ah, jangan lebay! Aku mau tanya sesuatu." Deka mengeluarkan kantong beras. Diambilnya sebutir, lalu ditunjukkan kepada Nuraini. "Kamu bisa mencari pemilik beras ini?"

Nuraini mengendus butiran kebiruan itu sejenak, lalu bergaya menoleh ke kiri dan kanan sambil mengelus dagu. "Hm, mau tahu atau mau tahu banget?"

"Nuraini!" sentak Deka. Energinya sukses membuat Nuraini ambruk ke belakang. "Jangan main-main! Kami sedang menghadapi persoalan hidup dan mati, tahu!"

"Huhuhu! Setelah boom-boom dengan cewek itu kamu jadi galak!" rengek Nuraini. "Iya, iya! Besok aku antar kalian ke tempatnya."

---Bersambung---

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now