46a. Tumbang Anoi

234 70 17
                                    

Bedeng kayu di kapal Damang Batu dipenuhi pekikan Urai sampai-sampai Jala berlari dari haluan untuk melihat apa yang terjadi. Urai segera duduk untuk membuka ikatan kantong plastik.

"Apa itu?" tanya Deka.

"Beras ajaib, Kodeka!" seru Urai gegap gempita. Tangannya meraup segenggam dan ditunjukkan kepada junjungannya. Butiran putih kebiruan sebagian berguguran di atas lampit. "Kita punya banyak!"

Deka ikut meraup beras dan masih belum percaya akan keberuntungan ini. "Hah? Kok ada di tasmu?"

"Aku menyisihkan sekantong di tas ini. Rencananya, mau kuantar ke rumah Kak Puput setelah pulang dari Matang Kaladan." Ia berpaling ke Damang Batu. "Damang, terima kasih sekali. Bagaimana Damang sampai menemukan tas saya?"

Damang Batu tersenyum hingga pipinya menggembung. Hidungnya yang bulat semakin melebar. "Saya menemukannya di hutan sewaktu singgah untuk istirahat di daerah Kapuas. Kalian tahu, hampir enam bulan saya berkeliling untuk mengumpulkan bahan makanan. Karena tas itulah, saya tahu kalian akan datang. Tak disangka, kita berjumpa di tengah pertempuran."

Deka dan Urai tidak mempunyai kata-kata yang tepat untuk melukiskan ketakjuban mereka atas serangkaian kebetulan yang aneh ini. Bagaimana mungkin di belantara luas ini tas Urai ditemukan oleh Damang Batu? Cara kerja semesta acapkali sangat misterius.

"Sekali lagi, terima kasih, Damang," ucap Deka. "Kami tidak jadi meminjam jukung-nya."

"Baiklah. Sekarang, kita berangkat ke Tumbang Anoi," ucap Damang Batu.

"Berapa lama perjalanan ke sana?" tanya Urai.

"Aha! Pertanyaan bagus." Senyum Damang Batu kembali melebar. Sesepuh yang tampak berwibawa itu ternyata enak diajak bicara. "Kalian pasti heran mengapa saya ajak naik kapal kayu ini?"

"Sejujurnya, iya, Damang," sahut Urai.

"Perjalanan kita akan lebih cepat bila menggunakan kapal ini. Kapal uap Belanda butuh berhari-hari untuk sampai ke Tumbang Anoi."

Deka mengerutkan kening. "Oh, kenapa begitu?"

"Kamu lihat, ke mana rakit-rakit ternak dan beras tadi?"

Urai dan Deka celingukan ke jendela, namun tidak melihat iring-iringan rakit pengangkut kerbau, babi, dan beras. "Cepat sekali mereka," ucap Deka.

Damang Batu terkekeh. Ia kembali berdiri dan menghampiri tumpukan lanjung, lalu datang lagi dengan membawa gulungan besar akar pohon. Lengkungannya berjumlah tiga sehingga terlihat tebal.

"Ah, akar bergulung tiga!" Mata Urai langsung melebar karena teringat sebuah legenda tentang kota gaib yang konon berada di Pantai Kalap, daerah Seruyan. Pemimpinnya—yang bernama Amin Kelaru—menggunakan akar pohon bergulung tiga untuk keluar-masuk kawasan gaib. Ternyata benda serupa itu benar-benar ada.

Wajah Damang Batu dipenuhi binar kebanggaan. "Benda ini lebih cepat dari kapal uap orang kulit putih mana pun!"

Sesepuh itu keluar ke haluan, lalu meneriakkan sesuatu kepada perahu-perahu lain. Seperti tahu apa yang akan dilakukan pemimpin mereka, tiga sampan kecil dikayuh lebih cepat dan akhirnya merapat ke kapal Damang Batu.

Sang Damang berdiri tegak di haluan sambil memegang gulungan akar pohon di tangan kiri. Tangan kanannya diletakkan di sisi mulut, membentuk corong. Tujuh pekikan nyaring ke arah langit berkumandang. Deka dapat merasakan energi sangat kuat yang keluar bersamaan dengan seruan ke alam gaib itu.

Damang Batu memutar gulungan akar di depan dada. "Semuanya, berpegangaaaan!" serunya.

Udara sekitar memadat dan kemudian berputar, menimbulkan angin kencang. Pemandangan di sekeliling kapal-kapal memudar, menjadi kilasan cahaya warna-warni. Di tengah gulungan akar terbentuk lubang cahaya berwarna putih terang. Kapal bergerak, seperti ditarik ke depan dengan sangat cepat. Urai memekik kaget. Deka langsung memeluknya secara refleks. Keduanya memejamkan mata.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now