42a. Pertempuran Terakhir

214 58 7
                                    

Dua perahu bergerak menuju hulu. Agar cepat sampai di kapal Belanda, Deka dan Urai pindah ke sampan Riwut yang dikayuh oleh lima orang Punan. Sedangkan sampan mereka dikendarai oleh pemuda itu. Rupanya, Jojang sangat tidak ingin meninggalkan Riun di saat-saat terakhirnya. Sedangkan Riwut ingin menjumpai Urai. Terjadilah kesepakatan tanpa banyak masalah. Riwut bersedia menjemput Urai dan Deka untuk mengajak keduanya ke kapal Belanda. Sudah pasti, anak buah Jojang pun mematuhi sang Kepala Suku sehingga bersedia mengantar Riwut layaknya teman.

Kapal uap besar itu masih menambatkan jangkar, dikelilingi oleh perahu-perahu anak buah Damang Batu dan prajurit Punan. Rakit-rakit ternak dan beras telah melanjutkan perjalanan agar sampai di Tumbang Anoi tepat waktu.

Sampai di tempat tujuan, awak kapal menurunkan tangga tali. Urai naik dengan gesit karena sudah terbiasa memanjat. Sedangkan Deka—yang semasa sekolah tidak berminat pada kegiatan pecinta alam karena lebih senang mengamati grafik pergerakan saham di bursa—berusaha naik walau tubuhnya gemetar.

"Ayo semangat, Deka!" Nuraini menjadi pemandu sorak sambil berkali-kali terkikik. Wajah Deka kusut masai. Peluh sebesar kedelai membulir di kening dan meleleh di leher.

Urai menunggu di tepi dek. Diam-diam, gadis itu sambil mengelus dada. "Cepat sedikit, Kodeka. Damang Batu sudah lama menunggu!"

Tentu saja, Deka tidak sanggup menyahut. Lagi pula, napasnya semakin tersengal acapkali melihat Riwut meringis lebar di bawah sana. Ia—bos toko grosir beras paling sukses di Pasar Kuripan—dikalahkan oleh makhluk jadul seperti itu? Benar-benar tidak masuk akal.

Anak tangga itu seperti tidak ada habisnya. Lebih sial lagi, prajurit Punan yang bertahan di sampan, mengguncang ujung tangga tanpa rasa berdosa.

"A-aaa!" pekik Deka. Secara refleks, Deka menoleh ke bawah. Permukaan air terasa jauh di sana dan seperti menyedotnya. "Aaaaargh!" pekiknya lagi sambil memeluk tangga erat-erat.

"Hei! Jangan lihat ke bawah! Lihat ke atas sini!" seru Nuraini. "Ayo! Empat anak tangga lagi, Deka!"

"Rai, dia tidak bisa memanjat?" seru Riwut. Ia tak dapat menahan tawa menyaksikan drama norak itu. "Ck! Lemah sekali."

Mendengar hinaan terhadap junjungannya, wajah Urai memerah. "Kodeka! Cepat sedikit! Jangan malu-maluin aku!"

"Tuuuh, dengar. Jangan malu-maluin!" Nuraini menuding hidung Deka dengan jari telunjuk yang telah menggelembung sebesar terung.

"Diam!" semprot Deka. Sambil menahan malu, Deka menengadah dan membulatkan tekad. Tangannya terjulur ke atas, meraih anak tangga berikutnya.

Tiba-tiba, dari arah hilir muncul sepuluh perahu kecil. Mula-mula hanya terlihat sebagai deretan sampan hitam di ujung sungai. Semakin dekat, semakin jelas bahwa masing-masing sampan dinaiki empat sampai lima orang. Mereka mengenakan rompi perang dan bersenjatakan tombak, panah, serta sumpitan. Seorang penjaga kapal melihat gerakan mencurigakan itu dan melaporkannya kepada rekan yang lebih senior.

"Apakah mereka peserta rapat yang diundang Damang Batu?" tanya Marsose muda itu.

Rekannya mengamati lebih saksama. Matanya melebar begitu tahu pasukan Dayak itu membawa senjata lengkap. "Pengayauuuu!" Lelaki muda itu langsung berlari untuk melaporkan hal itu kepada komandannya.

"Angkat jangkaaar!" teriak nakhoda.

Awak kapal menarik rantai jangkar sambil berlindung perisai. Di tungku pembakaran, orang-orang menambahkan batu bara. Api pun membesar dan kincir penggerak besar di kiri dan kanan lambung mulai berputar. Pasukan Marsose bersiap di buritan dengan senapan dan meriam siap tembak. Suasana berubah menjadi tegang.

Perahu-perahu prajurit Dayak tak dikenal itu ternyata tidak mendekat dan hanya bertahan di kejauhan. Kemungkinan mereka sadar diri bahwa persenjataan Belanda lebih kuat. Damang Batu dan komandan pasukan Marsose keluar kabin, ikut mengamati kehadiran tamu tak diundang itu. Akhirnya, sang Damang memutuskan menemui mereka untuk menanyakan maksud kedatangannya. Dengan dikawal dua perahu anak buahnya, sang Damang meluncur ke hilir.

Semua orang di atas kapal uap menunggu dengan berdebar hasil misi Damang Batu. Suasana mendadak mencekam. Semua orang khawatir suasana damai ini tidak akan berlangsung lama.

Sementara itu, Deka masih berjibaku dengan tangga tali. Tangan dan kakinya gemetar, namun ia berusaha naik setapak demi setapak.

"Hooi! Cepat naik, Gadis!" seru Riwut dari bawah. Ia mulai mengkhawatirkan perubahan situasi.

"Jangan diguncang, woi!" balas Deka. Padahal para prajurit Punan yang tadi menggodanya sudah berdiri tegang dan mengamati sekitar dengan kewaspadaan tingkat tinggi.

Suasana sungai berubah sangat hening. Kecipak air pun seperti enggan memperdengarkan bunyi nyaring. Bahkan, arusnya mengalir sangat tenang. Angin tidak berembus. Pepohonan hutan seperti mematung, seolah tegang menunggu pwristiwa besar terjadi.

Di tengah suasana sunyi, mendadak segerombol burung terbang dengan riuh di atas pepohonan hutan. Melihat kondisi aneh itu, Riwut mencabut mandau dan memasang kuda-kuda sambil mencari-cari sumber keributan. Benar saja. Beberapa detik kemudian, semua orang dikagetkan oleh pekikan perang dari arah hutan di kedua sisi sungai. Bersamaan dengan itu, panah-panah berapi meluncur menyerbu kapal.

***

Kapal uap Belanda, De Onrust, dalam perang Barito, 1859

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kapal uap Belanda, De Onrust, dalam perang Barito, 1859

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now