43b. Kekalahan (2)

201 70 5
                                    


"Urai, Deka!" Seseorang memanggil mereka dari arah kabin. Saat Deka menoleh, Jala tengah berlari ke arahnya.

"Cepat ke dalam! Kalian ditunggu Damang Batu!" seru Jala lagi.

Deka baru teringat kondisi Riun yang terluka parah. "Riun gimana?"

Air mata menggenang di pelupuk Jala. Pemuda itu tidak menjawab. Mungkin mulutnya tidak sanggup menyampaikan berita duka sehingga ia memilih masuk ke kabin mendahului Deka.

Deka menarik lengan Urai agar berdiri, lalu menyusul Jala menuju kabin. Urai membuntuti pemuda itu. Isakannya masih terdengar satu-satu. Diam-diam, ia ingin meringkuk dalam kehangatan sebuah pelukan agar hatinya tenang.

"Kodeka ...," panggil Urai dengan suara serak, berharap Deka kasihan padanya.

Deka menoleh. "Apa?"

Urai menunggu, namun ternyata Deka memang tidak peka. Pelukan itu tak kunjung tiba. "Kok apa, sih?" semprotnya.

"Loh, kok marah, sih?" balas Deka. Karena Urai hanya cemberut tanpa berkata-kata, ia membalikkan badan dan berjalan cepat menyejajari Jala.

"Aku baru sedih begini, digandeng kek. Dasar cowok nggak peka," gerutu Urai lirih, yang hanya didengar oleh dirinya sendiri.

Mereka masuk ke sebuah kabin kayu sempit di mana Riun terbaring. Tidak ada dokter dan perawat. Mungkin mereka sengaja memberi waktu kepada Riun untuk meninggal dengan tenang didampingi orang-orang yang mencintainya.

Di samping pembaringan Riun, tampak Jojang berdiri sambil memegang tangan istrinya. Lelaki gagah itu masih berkeringat dan berdarah akibat pertempuran tadi. Ia terus menunduk dan dadanya naik turun dengan cepat. Agaknya, prajurit perkasa itu menahan tangis.

Sementara itu di sisi lain, Jala duduk sambil menelungkupkan kepala di kasur. Tangisnya mengisi ruangan dan terdengar menyayat hati. Ia sungguh menyesal tidak mengikuti saran Deka dan Nuraini untuk meninggalkan Riun di desa gaib. Ia bahkan mengabaikan peringatan Silas. Andai ia tidak egois untuk memiliki Riun, barangkali gadis ini sekarang sedang menjadi pengantin wanita yang berbahagia di sana.

Bahkan jauh sebelum itu, seharusnya ia tahu diri dan menjauh dari Riun saat gadis itu dijodohkan. Tidak seharusnya ia melarikan istri orang. Korban jiwa berjatuhan akibat ulahnya.

Kondisi Riun sudah sangat parah. Napasnya tinggal satu-satu. Wajahnya telah sepucat mayat. Tahu Jala menangis di sisi lain tanpa sanggup mengatakan sesuatu, ia berusaha menoleh. Mulutnya terbuka, namun tidak keluar suara. Hanya mata hati Deka yang bisa mendengar rintihan batin itu.

"Jala ... izinkan aku mati dengan tenang. Sudah takdirku begini."

Suara dan intonasi Riun mengingatkan Deka pada arwah amnesia yang mendatanginya di ruko. Pantas saja, selama berada di zaman ini, ia tidak menemukan hantu itu. Ternyata arwah Riun dikembalikan ke tubuhnya secara paksa melalui upacara gaib terlarang.

Deka mengedarkan pandangan ke seluruh ruang. Ia merasakan kehadiran energi lembut yang sangat kuat. Matanya tanpa sengaja beradu dengan pandangan Damang Batu. Damang tua itu menatapnya lekat-lekat sampai ia merasa serba salah. Dari energinya, ia dapat merasakan kesaktian lelaki lanjut usia itu. Rambutnya sebagian telah memutih, namun matanya sangat awas dan penuh daya hidup.

"Kamu menyimpan sesuatu?" tanya sang Damang. Suaranya basnya terasa penuh wibawa.

Deka langsung tahu maksud sang Damang. "Oh, ini Damang." Deka menyerahkan kantong berasnya. "Tapi ... isinya sudah habis."

Damang Batu membuka kantong dan mengamatinya sejenak dengan kening berkerut. Ia memasukkan tangan, lalu mengambil sesuatu. Wajahnya berubah cerah saat menunjukkan sebutir beras ajaib. "Masih tersisa satu!"

Damang Batu mengamati beras itu dengan saksama. Beberapa saat kemudian, ia mengangguk kecil. Bulir kebiruan itu diletakkan di mulut Riun. "Telanlah."

Riun berusaha menelan. Jojang memberinya sesendok air putih untuk mempermudah butiran mungil itu melewati kerongkongan.

Apa yang terjadi sesudahnya sungguh mengagetkan Deka. Begitu beras tertelan, terjadi pergerakan di alam gaib. Udara sekitar berputar lembut dengan Riun sebagai porosnya. Mula-mula perlahan, semakin lama semakin cepat hingga akhirnya terbentuk dinding energi berwarna putih seperti awan. Dari pusaran itu muncul bentuk-bentuk energi menyerupai sosok Riun, namun tipis dan putih pucat. Deka tahu itu adalah pecahan jiwa Riun yang terserak ke berbagai dimensi akibat ledakan yang terjadi setelah Silas mengganggu ritual Jala.

Pecahan-pecahan energi itu berkumpul dan menyatu kembali dengan jiwa utama sehingga jiwa Riun utuh kembali. Tubuh energi Riun yang semula terlihat tipis dan abu-abu pucat, kini menjadi putih terang. Pusaran udara perlahan sirna, begitu pula dinding awan putih. Kini setelah jiwanya utuh, Riun siap pergi ke tempat seharusnya.

Senyum tersungging di bibir Riun yang pucat. Matanya terpejam dan napasnya semakin jarang. Perlahan namun pasti, dadanya berhenti bergerak sama sekali. Gadis malang itu pergi diiringi tangis suami dan kekasihnya. Pelariannya yang jauh telah berakhir dalam kematian yang damai.

_______________

Fakta di balik fiksi

Menurut beberapa kalangan, taktik Belanda dalam menguasai suku-suku pedalaman Kalimantan bukan devide et impera atau memecah kelompok besar menjadi kelompok kecil agar mudah ditaklukkan, melainkan mengumpulkan kelompok-kelompok kecil menjadi satu agar mudah dikuasai.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now