36a. Kembali ke Dunia Nyata

216 66 1
                                    

Lolos dari kejaran Silas dan anak buahnya, Jala dan Deka berlari secepat mungkin ke tempat persembunyian mereka. Urai senang melihat mereka datang, namun bingung saat tahu ada seorang gadis meronta-ronta dalam gendongan Jala.

"Rai, cepat lari!" teriak Deka, lalu menyambar tangan Urai. Ia tidak tahu mengapa melakukannya. Nalurinya berkata tidak mau kehilangan Urai.

"Hah, siapa di gendongan Jala itu?"

"Riun."

"Loh, kenapa dia memberontak?"

"Ah, jangan banyak tanya. Ayo pergi!"

"Deka, efek berasnya sudah hilang. Orang-orang betang itu mulai mengejar kita!" pekik Nuraini.

"Astaga!" Deka berlari lebih cepat sambil terus menggenggam tangan Urai.

"Jala, Deka, larinya ke arah sana!" seru Nuraini sambil menunjuk ke utara.

"Kenapa ke utara? Jukung kita di sebelah selatan!" balas Deka.

"Jangan kembali ke portal riam, terlalu jauh. Portal terdekat letaknya di sebelah utara betang. Lebih baik kita memakai jukung mereka aja."

Tanpa berpikir panjang, mereka berbelok arah menuju sungai, lalu turun ke lanting dan mengambil sebuah sampan terdekat. Jala meloncat ke atasnya sambil menggendong Riun yang masih meronta dan menjerit-jerit. Deka dan Urai tidak langsung naik ke sampan. Mereka membuang semua dayung dari tiga sampan lain yang tertambat di lanting ke sungai.

Orang-orang betang yang sudah terlepas dari sihir beras ajaib berusaha mengejar mereka. Beruntung saat para lelaki itu sampai di tepi sungai, sampan Deka sudah melaju jauh. Mereka juga menyadari kenyataan lain.

"Sial, dayungnya lenyap!" umpat salah satu dari keenam orang itu.

"Masih ada sisa dayung di jukung itu." Salah satu lelaki menunjuk jukung besar yang ditambatkan di pinggir sungai. Karena letaknya agak jauh, Deka dan Urai tidak sempat membuang dayungnya. Kelima lelaki itu pun berlarian ke sana dan meloncat dengan gesit ke atas sampan.

Pemimpin betang dan rekannya segera memburu Deka dan kawan-kawannya. Tenaga mereka sangat kuat, namun mereka masih tertinggal beberapa puluh meter di belakang.

"Nur, lakukan sesuatu!" pinta Deka yang duduk paling depan.

"Melakukan apa?"

"Apa aja buat mencegah orang-orang itu mengejar kita!"

"Asyiap! Aku akan membuat pusaran air untuk menghalangi mereka!" Nuraini duduk di haluan dengan punggung tegak sambil membuat gerakan memutar tangan di depan dada. Ia mencoba beberapa kali, namun tak terjadi apa pun di atas air. "Maaf, Deka. Aku nggak punya kekuatan lagi."

"Astaga, Nur! Sekarang bukan saatnya bercanda. Kita bisa mati di sini kalau tertangkap, tahu!"

"Ih, kamu yang membuatku kehilangan kekuatan! Jangan lupa itu!"

Deka mengalah. Tidak ada gunanya bertengkar saat ini. "Nur, coba lihat, mereka akan menombak, memanah, atau menyumpit?" tanya Deka. Kalau mereka terpaksa menggunakan talawang pasti kekuatan mendayung akan berkurang.

"Enggak, Deka. Mereka pasti takut salah sasaran dan melukai gadis itu."

Sementara itu di sisi belakang sampan terjadi keributan. Riun membebaskan diri dari dekapan Jala, lalu menampar wajah pemuda itu. Mendengar suara "plak" nyaring dan bekas merah di pipi Jala, pasti tamparan itu sangat keras.

Mengambil kesempatan saat Jala terbengong, Riun bergerak cepat ke pinggir sampan. Sedetik lagi, ia akan meloncat ke sungai. Jala menangkap pinggangnya dan mendudukkannya kembali dengan paksa.

"Aaaaaah!" Riun memekik dan meronta. Jala mendekapnya dari belakang seerat mungkin hingga tubuh Riun terkunci. Hanya kakinya menendang-nendang ke segala arah.

"Riun, Riun! Tenanglah! Ini aku, Jala, tunanganmu. Kita lari dari orang-orang Punan. Kamu ingat, kan?"

"Kamu penculik!" sentak Riun. Karena nyaris frustrasi, ia mulai terisak.

Jala semakin sedih saat tahu Riun menangis. Kata-katanya mulai melunak. "Bukan aku, tapi merekalah yang menculikmu, Riun. Merekalah penjahatnya. Aku akan membawamu pulang ke keluargamu di Tumbang Mahuroi." [1]

Riun tidak menjawab. Ia terus meronta dan menggeram walau dekapan Jala terlalu kuat untuk diurai. Rupanya, gadis itu tidak kehabisan akal. Digigitnya sekuat tenaga lengan Jala hingga pemuda itu menjerit kesakitan. Begitu rengkuhan Jala melonggar, Riun membebaskan diri dengan cepat. Dalam sekejap, ia sudah menceburkan diri ke sungai.

"Kak Silaaaaas!" pekiknya sambil berenang menuju sampan calon suaminya.

Jala menyusul terjun ke air, lalu berenang secepat mungkin. Ditangkapnya kembali gadis itu. Riun belum mau menyerah. Ia melawan sambil terus memekikkan nama Silas. Terjadi pergumulan di dalam air. Perlawanan itu memaksa Jala ke ujung kesabaran. Dengan sekali ayun, dipukulnya kepala Riun. Gadis itu sontak merasa sangat pening. Otot-ototnya melemas. Jala segera menarik tubuhnya, lalu menaikkannya ke sampan, dibantu oleh Deka dan Urai.

______________

[1] Desa paling ujung di hulu Sungai Kahayan

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang