37a. Perebutan

210 65 2
                                    

Ada embusan angin dari arah belakang menerpa sampan Deka dan membuatnya oleng sejenak. Deka dan kawan-kawannya menoleh dan seketika terperangah. Orang-orang dari desa gaib meluncur keluar dari portal. Silas langsung mengarahkan sampannya maju dengan kecepatan tinggi.

"Dayuuuung!" seru Deka. Sampan pun meninggalkan muara anak sungai dan memasuki Sungai Kahayan.

"Deka, mereka semakin dekat!" seru Nuraini.

Kecepatan sampan mereka menurun jauh karena Jala kehilangan semangat. Luka Riun agaknya membuat pemuda itu syok berat. Hanya butuh beberapa menit, sampan Silas telah berada di belakang buritan. Mereka mengacungkan mandau dan sumpitan.

"Hoi, kalian! Berhenti atau Riun akan mati!" seru Silas. "Kalau kalian memang kasihan padanya, cepat kembalikan dia ke wilayah kami!"

"Hei, Jala! Kenapa Riun terluka dan kenapa dia akan mati kalau keluar dari wilayah mereka?" tanya Deka.

Jala hanya menjawab dengan gelengan dan tetesan air mata.

"Sial!" umpat Deka.

"Deka, lebih baik kita menuruti mereka," usul Nuraini. "Aku nggak tega melihat Riun kesakitan. Ususnya keluar, loh. Dia pasti mati sebentar lagi."

"Tidak ada yang boleh membawanya pergi dariku!" teriak Jala, mengagetkan semua orang. Matanya memerah. Otot-otot wajahnya menegang. "Langkahi dulu mayatku!"

Jala membaringkan Riun di lantai jukung. Tangannya gesit mencabut mandau miliknya dan milik Deka. Bersamaan dengan itu, anak-anak sumpitan menyerbu mereka. Jala memutar kedua mandau di depan tubuh. Anak-anak sumpitan terpental sebelum mencapai kulitnya. Sebelum serangan kedua dilancarkan, ia meloncat ke jukung Silas, membuat efek kejut pada enam lelaki kekar di sana.

Sampan Silas bergoyang keras saat keenam penumpangnya berusaha menundukkan Jala. Mereka menghujani Jala dengan sabetan mandau dan tombak sumpitan. Ajaibnya, Jala sanggup mempertahankan kepalanya tetap berada di atas leher. Pekikan, erangan, dan denting senjata beradu. Dua orang tercebur ke sungai akibat tendangan Jala. Hanya saja, perkelahian itu jelas tidak seimbang. Tinggal menunggu waktu sampai Jala kehabisan tenaga.

Deka melindungi dirinya dan Urai dengan talawang. Ia kembali merengkuh gadis itu. Entah mengapa, di saat genting ini, di mana umurnya belum jelas tersisa berapa jam, ia hanya ingin Urai selalu berada di dekatnya. Urai sendiri tidak melawan karena juga membutuhkan tempat bersandar.

"Adududuh, gimana ini?" seru Nuraini kalut. Arwah itu sedari tadi berputar-putar di atas sampan. "Berasnya! Taburkan beras ajaib ke arah mereka, Deka!"

Deka meraup sisa beras, lalu menghamburkannya ke udara. Ia berharap butiran ajaib itu membekukan gerakan Silas dan kawan-kawannya. Namun, harapannya pupus. Tidak terjadi apa pun setelah beras itu dilempar ke udara.

Nuraini semakin panik. Gerakannya semakin cepat. "Tolooong, tolooooong! Semua danyang dan jin yang ada di sungai ini, tolong kami!"

"Nuraini! Jangan berisik! Kamu bikin telingaku nyaris pecah!"

"Aku takut, Deka. Kalian pasti kalah."

Deka mengeluh dalam hati. Bagaimana mungkin ia mengandalkan mantan panglima gaib yang menye-menye ini?

"Kalau nggak bisa membantu, jangan bikin aku panik!"

"Itu karena kamu sudah menghilangkan semua kekuatanku, Deka! Jangan salahkan kalau sekarang aku takut melihat pertempuran!"

"Lalu gimana, dong?"

"Cepat pergi dari sini, Deka!"

Deka meraih dayung dan memberikan talawang kepada Urai. "Rai, lindungi aku!"

"Hah? Jala kita tinggalkan begitu aja? Dia pasti mati di sana!"

"Kita juga akan mati kalau tetap di sini, Rai!"

"Aku nggak tega melihat dia mati seorang diri!"

"Aku harus ke sana membantunya, begitu? Kamu tega melihat aku mati di sana?"

Urai tertegun. Ia baru sadar Deka tidak bisa berkelahi. "Kenapa kamu nggak belajar pencak silat, sih?"

Deka tertegun. Kalimat Urai itu membuatnya sadar bahwa ia tidak berguna sama sekali di situasi seperti ini. Mungkin Urai benar, ia harus lebih jantan. Tanpa berpikir panjang, Deka bergerak ke buritan, hanya bersenjatakan dayung.

"Kodeka, kamu mau apa?"

"Mau membantu Jala, apa lagi pikirmu? Kalau aku sudah pindah ke sampan itu, cepat pergi dari sini!"

Urai kalut mendadak. Deka pasti mati bila pergi ke sana. "Jangaaaan! Kembaliiii!"

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now