24b. Istri Deka? (2)

265 73 3
                                    


Malam itu, setelah mengenyangkan perut dengan nasi dan wadi, mereka bermalam di tepi anak sungai, terlindung pepohonan. Urai tinggal di sampan, sedangkan para lelaki bergantian jaga. Alui dan Pandih pergi entah ke mana.

Ketika malam telah mencapai puncak, Alui dan Pandih datang. Rupanya mereka sengaja berkeliling mencari informasi. Jala pura-pura tidur, namun telinganya disiagakan untuk menguping pembicaraan mereka. Sejak perjumpaan dengan mereka tadi pagi, ia merasa bergabung dengan keempat orang ini justru membahayakan keselamatan mereka.

"Kalian yakin tidak dibuntuti?" tanya Simpei sambil menyeduh kopi di mug kalengnya.

Keempat lelaki itu duduk mengelilingi perapian. Cahaya dari api unggun menampakkan raut-raut yang tegang. Jala semakin khawatir, situasi mereka sedang genting.

"Aman!" sahut Pandih sambil menggeser duduk mendekati Simpei. "Ada kapal uap Belanda sudah berangkat dari Banjarmasin tadi pagi," ucapnya sambil berbisik.

"Ke mana tujuannya?" tanya Simpei.

"Ke hulu Kahayan, Tumbang Anoi. Tapi saya rasa mereka akan berganti kapal lebih kecil saat naik ke hulu," sahut Pandih.

"Jadi desas-desus itu benar, Belanda ikut dalam rapat damai Tumbang Anoi?" tanya Simpei.

Pandih dan Alui mengangguk bersamaan. Simpei pun meludah sambil mengumpat. "Apa kubilang! Mereka tidak sadarkah sedang dibuat takluk pada penjajah?"

Teman-teman Simpei hanya bisa tercenung menatap api. Berbagai pertempuran di sepanjang aliran Sungai Barito sudah mereka alami. Korbannya tidak hanya teman, namun juga nyawa saudara lelaki, ayah, dan kakek mereka. Hampir empat puluh tahun para lelaki di desa asal mereka, Muaralaung di pedalaman Sungai Barito, mengangkat sumpah setia pada Pangeran Antasari dan bergerak melawan pemerintah kolonial demi kebebasan tanah Banjar dan Dayak. Tentu saja, mereka tidak pernah bisa mengerti mengapa ada saja saudara sendiri yang justru bekerja untuk Belanda.

"Siapa saja di dalamnya, dan berapa banyak?" tanya Tilung, memecah keheningan malam.

"Kata Bapa Andung, mereka akan mampir di Kuala Kapuas, mengambil kapten Belanda dari benteng dan beberapa tetua Dayak. Kalau ditambah pengawal Marsose, mungkin jumlahnya tiga puluhan orang."

"Berapa banyak Marsose di kapal itu?"

"Kurang tahu. Menurut perkiraan Bapa Andung, sekitar dua puluh orang."

"Dua puluh ...." Simpei bergumam sambil berpikir keras. Mereka hanya berempat dan harus melawan dua puluh orang bersenjata lengkap.

"Peluru dan granat kita sedikit," bisik Tilung.

Wajah Simpei terlihat keruh. Ia menggeleng kecil beberapa kali. "Seharusnya kita mengambil lebih banyak amunisi dari benteng di Kapuas kemarin."

Alui langsung tertunduk. "Maafkan, saya. Kalau tidak karena kecerobohan saya, kita pasti bisa membawa banyak amunisi."

Ketiga rekannya hanya menjawab dengan dengkusan, tanda kekesalan.

"Ah, sudahlah! Hal yang sudah terjadi jangan diratapi," tegas Simpei. "Kalau begitu, kita tidak mungkin bertempur secara berhadapan langsung. Kita harus menyerang diam-diam saat mereka lengah."

Mata Pandih terlihat berbinar, seperti mendapat ilham brilian. "Kita bisa menyergap mereka dengan sumpitan beracun dan panah api saat berpindah kapal."

"Di mana itu?" tanya Simpei.

"Kemungkinan di sekitar Tumbang Miri," jawab Pandih.

"Berarti kita harus sampai di sana sebelum mereka," ucap Alui.

"Kita bisa melewati pintasan di daerah Basarang. Kapal uap itu pasti ke hilir Sungai Kapuas dulu, melewati laut, baru masuk ke Sungai Kahayan. Kita bisa mendahului mereka dua atau tiga hari," imbuh Tilung.

"Kamu benar! Kita akan menghubungi kenalan yang bisa mendukung kita di daerah Tumbang Miri. Kita butuh bantuan peniup sumpitan dari sana," tegas Simpei.

Beberapa saat kemudian, mereka duduk merapat dan berbisik-bisik. Jala berusaha menguping, tapi tetap tidak bisa mendengar dengan jelas.

Malam itu berlalu dengan tenang. Api unggun yang mereka nyalakan telah berubah menjadi tumpukan arang dan abu berasap saat langit berubah warna menjadi biru tua. Burung-burung mulai bercuit di antara pepohonan, pertanda hari baru telah dimulai.

"Hei, ikam!" Seseorang menggoyang kaki Deka hingga pemuda itu terbangun. "Bangun, lekas ambil bubu!" (Hei, kamu! - Banjar)

Deka bergegas bangkit dan mengguncang bahu Jala. Keduanya kemudian berjalan ke tempat mereka memasang bubu. Hari masih gelap dan mereka cuma membawa satu obor kecil. Beruntung Jala terlatih tinggal di hutan. Dengan mudah pemuda itu menemukan keempat bubu mereka. Saat diperiksa, ternyata ada beberapa ikan lele, baung[1], serta kaper.

"Lumayan juga," puji Deka sambil menepuk bahu Jala. Ia heran, temannya itu hanya diam mematung dengan mata menatap ke tanah kering di tepi sungai. Mau tak mau, Deka mengikuti arah pandang Jala. Sontak, ia ikut membeku di tempat. Di sana telah berdiri lima orang berseragam biru-biru, lengkap dengan karabin di tangan. Kelima ujung senjata itu mengarah pada dirinya dan Jala.

Marsose?

Deka meneguk liur dan nyaris tidak berani menarik napas.

"Jangan bergerak! Angkat tangan!" seru salah seorang dari pasukan bersenjata itu.

______________

[1] baung adalah ikan sungai sejenis catfish

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now