27a. Kain Tapih

231 65 9
                                    


Makan siang sederhana yang terasa mewah di lidah para pelarian berakhir dengan cepat. Urai membantu Tambi Dohong mengemasi peralatan makan, lalu mencucinya di belakang rumah. Ia turun ke tanah, dan menyusuri jalan setapak menuju parit belakang. Tak jauh dari situ, ujung haluan sampan mereka yang disembunyikan menyembul di antara tetumbuhan rimbun. Ada lanting kecil di pinggir kolam kecil yang merupakan ceruk sungai. Airnya seperti teh, namun bening. Di sekitar ceruk, ranting-ranting pohon melengkung membentuk kanopi yang meneduhkan.

Urai cepat-cepat mencuci peralatan makan dan masak. Tidak ada sabun deterjen pencuci piring. Senjatanya hanya abu dan sabut kelapa. Tubuhnya pun cuma dibalut kain tapih. Rasanya lengkap, seperti berwisata ke rumah nenek dari pihak ibu di Pegunungan Meratus[1].

"Cu, Cucu!" suara seseorang memanggilnya. Urai menoleh ke belakang dan mendapati Tambi Dohong datang menghampiri. Di tangan wanita mungil yang sudah berambut putih itu ada setumpuk kain. (nenek - Dayak Ngaju)

"Ya, Tambi?" Urai berdiri untuk menerima kain itu.

"Mandilah, selagi sempat," ucap Tambi Dohong. Senyumnya menggembungkan pipi yang masih terlihat kencang.

"Sekarang, Tambi?"

"Iya. Badanmu bau."

"Masa bau?" Urai mengendus ketiaknya dan segera meringis. "Oh, iya."

Senyum Tambi Dohong melebar, menampilkan deretan gigi yang rapi yang dan utuh, mungkin karena sering mengunyah sirih. Urai teringat neneknya di kampung juga memiliki bokor khusus berisi daun sirih, pinang, dan kapur. Sang nenek mengunyahnya saat santai di siang atau senja hari. Berkat kebiasaan itu, gigi geligi neneknya terjaga tetap bagus sampai sekarang.

"Nah, seperti ikan asin baunya. Nanti suamimu kabur."

Wajah Urai seketika memerah teringat pipi Deka yang dikecupnya tadi. "Sebenarnya, dia belum menjadi suami, Tambi."

"Mengapa belum menikah?"

Urai menggaruk kepala yang tidak gatal. "Dia belum meminta saya," ucapnya lirih. Pipinya sudah terasa panas menahan malu.

"Ah, tinggal menunggu waktu saja."

Mata Urai serta merta berbinar mendengarnya. "Benarkah?"

"Benar. Kalian sudah seperti suami istri," goda Tambi Dohong seraya menunjuk kain lap kasar, batu sungai, dan botol kaca kecil di atas tumpukan kain yang ia berikan. "Gosok badanmu dengan ini, lalu keringkan. Setelah itu, luka-lukanya diolesi dengan minyak ini."

Sesudah menyerahkan barang-barang itu, Tambi Dohong mengangkat belanga, panci, piring-piring dan mangkuk yang telah dicuci Urai.

"Oh, jangan, jangan. Biar saya saja," kata Urai sambil menarik barang-barang itu, namun Tambi Dohong berkeras menahannya

"Sudah, mandi saja. Nanti keburu sore."

Setelah Tambi Dohong berlalu, Urai menceburkan diri ke sungai.  Gemercik aliran air yang dingin itu terasa menyejukkan. Ura merendam diri, membiarkan kepalanya basah seluruhnya.

Selama pelarian ini ia agak risih karena hanya mengenakan selembar kain tapih untukmenutup tubuh. Saat menyelamatkan diri dari kejaran orang-orang Punan kemarin, ia tidak sempat mengenakan pakaian dalam. Barang-barang itu bahkan tertinggal di jukung yang mereka tinggalkan di rawa.

Urai mengangkat kepala dari air, lalu melonggarkan tapih hingga hanya menutupi pinggang. Toh tempat ini sepi. Tangannya kemudian sibuk menggosok kulit dengan batu agar daki dan bau masamnya luruh.

"Ehm!" Sebuah suara berdeham keras dari arah lanting mengagetkan Urai. Saat Urai mendongak, ternyata Jala dan Deka sudah berdiri di sana.

"Aaaaah!" Urai memekik dan segera membalikkan badan sambil menenggelamkan diri. Dengan kalang kabut, ia berusaha menarik tapih ke dada.

Jala sekilas melirik Deka. Ternyata pemuda itu tengah tertegun menatap pemandangan di sungai. Ia harus tahu diri. "Aku mandi di sebelah sana saja!" ucapnya sambil membalikkan badan.

Deka yang baru sadar dari kekagetan karena mendapati pemandangan tak terduga, ikut membalikkan badan.

"Loh, kamu di sini saja, temani istrimu!" ucap Jala sambil menahan tawa melihat tampang bengong Deka.

"Apa?" tanya Deka yang tidak paham bahasa Iban.

Tanpa terduga, Jala mendorong Deka ke arah sungai. Deka tidak sempat menghindar. Tak ayal, ia terhuyung ke tepi lanting dan tergelincir. Dengan suara deburan keras, tubuhnya jatuh ke sungai. Jala langsung kabur sambil terbahak-bahak. Dari kejauhan, ia mendengar korbannya gelagapan setengah mati di dalam air.

"Aaargh! Haep, haep!" Deka panik luar biasa. Ia tidak bisa berenang. Kaki dan tangannya menggapai-gapai mencari pegangan. Hanya ada Urai di dekat situ. Sudah pasti, ia segera merengkuh tubuh mungil itu sebagai pelampung.

"Haep! Haep! T-tolong!" gagap Deka. Bukan tubuh Urai yang tergapai, melainkan kain tapih yang tadi sempat dilonggarkan. Akibatnya, kain itu sukses terenggut dari genggaman Urai.

_____________

[1] Pegunungan Meratus terletak di Provinsi Kalimantan Selatan. Kawasan ini merupakan obyek wisata alam berupa air terjun, danau, arung jeram, dan hutan konservasi flora dan fauna. Suku Dayak yang mendiami daerah ini disebut Suku Dayak Meratus

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now