10b. Rapat (2)

314 75 17
                                    

"Aku akan mencari cara. Kamu siap-siap saja, jangan jauh dari aku." Deka jeda sejenak untuk melihat ke sekeliling. "Mumpung mereka sedang sibuk rapat," bisiknya.

Deka dan Urai melongokkan kepala, mengamati orang-orang yang sedang rapat di bagian tengah ruangan los. Walau tempat itu agak jauh, pembicaraan mereka terdengar cukup jelas.

"Mereka meributkan apa, sih?" bisik Deka.

"Soal rencana pertemuan di Tumbang Anoi," ujar Urai. "Tetua rumah ini tidak setuju dengan rencana pertemuan damai itu. Tapi datu kepala kampung ngotot mereka harus ikut."

"Kenapa nggak mau ikut?" tanya Deka. Kesal juga hatinya menjadi satu-satunya orang yang tidak mengerti bahasa di sini.

Bukk!

Punggung Deka ditendang seseorang cukup keras sampai tulangnya punggungnya gemertuk, seperti terhantam besi. Kontan, ia mengaduh. Saat menengadah, ternyata pelakunya pemuda penjaga tadi. "Heh! Kerja, jangan mengoceh!" tegur pemuda itu sambil memelotot mengerikan.

Deka cepat-cepat kembali ke posisi semula, begitu pula Urai. Walau bekerja tanpa membuka mulut, Deka menajamkan indra pendengaran dan batinnya, berusaha menangkap segala informasi dari sekitar.

Sementara itu, perdebatan di antara orang-orang yang duduk melingkar di bagian tengah ruangan los semakin ramai panas. Mendengar keriuhan itu, orang-orang yang semula duduk agak jauh, kini merapat.

"Deong, mengapa kamu tidak setuju kita hadir di Tumbang Anoi?" tanya kepala kampung yang biasa dipanggil Datu Penyang.

"Pertemuan itu disuruh oleh Belanda. Datu pasti paham ada maksud tersembunyi dibaliknya. Kita tidak boleh mempercayai orang kulit putih begitu saja. Mereka mau menguasai tanah Dayak kita!" sahut tetua betang yang dipanggil Deong itu dengan sengit.

Riwut duduk tepat di samping lelaki itu. Ia sudah menanggalkan celana pendek dan menggantinya dengan ewah. Mungkin mereka lebih nyaman menggunakan ewah bila di rumah. Melihat garis wajah Riwut dan Deong yang sangat mirip, Deka yakin mereka ayah dan anak.

"Saya juga tidak lupa kita masih berperang melawan Belanda. Tapi coba kamu pikirkan. Sudah berapa kali kita berperang melawan mereka dan apa hasilnya?" balas Datu Penyang, tak kalah sengit.

Salah satu teman Datu Penyang mengangguk-angguk. "Dalam Perang Tewah, Perang Barito, dan Perang Hulu Katingan kita kalah. Perang Banjar pun begitu. Sultan Banjar sudah digulingkan[1]."

"Mereka sudah membuat benteng di Kuala Kapuas dan sekarang menambah pos-pos penjagaan," timpal yang satu lagi.

"Saya baru datang dari Banjar, Datu." Riwut tiba-tiba angkat suara. Semua orang menatap padanya. Pemuda itu terlihat percaya diri walau menghadapi para tetua. "Saya mendengar Belanda sedang berperang di Sumatra, melawan pejuang-pejuang Aceh. Pasti mereka membutuhkan banyak uang untuk perang itu. Saya kira, mereka mau mencari cara paling mudah dan murah untuk menguasai tanah Dayak."

Mendengar itu, badan Deong menegak, seperti mendapat angin segar. "Nah, kalian dengar itu!"

"Saya takut, perjanjian damai itu hanya akal-akalan Belanda untuk menguasai kita," imbuh Riwut.

Semua terdiam untuk beberapa saat. Datu Penyang tampak tercenung menatap lantai. Namun, tak lama kemudian wajah berwibawa itu terangkat kembali. Pandangannya beredar ke seluruh orang yang hadir di rapat itu.

"Kalian semua, apa yang kalian rasakan sekarang? Pasti rasa tidak aman karena takut diserang suku lain, bukan?" serunya. "Lihat mandau-mandau, tombak, dan sumpitan itu. Berapa lama kalian sanggup bertahan hidup dalam peperangan? Apa kalian tidak bosan?"

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now