4b. Talawang Menyala (2)

390 99 20
                                    



Di saat genting itu, sesosok tubuh menembus pekatnya awan hitam, lalu meraih tubuh Deka yang tengah memeluk erat Urai. Ada cahaya putih tipis menyelimuti sosok itu. Rupanya, cahaya itulah yang berhasil membuatnya memasuki pusaran arus yang kuat.

Kali ini, sang penolong tak terduga itu berhasil membawa Deka dan Urai keluar dari pusaran awan. Begitu mereka bertiga terbebas dari terowongan gaib, kumparan awan hitam itu menipis dan akhirnya sirna seperti asap yang tertiup angin.

Deka ambruk ke lantai dalam posisi masih mendekap Urai. Sementara sang penolong segera berdiri dan memandang keduanya sambil tersenyum lebar.

"Halo, Deka!" Seorang lelaki berusia empat puluhan yang memiliki mata sipit dan hidung membulat khas suku Dayak telah berdiri di hadapan Deka. Senyum ramah dan tatapan lembutnya menyadarkan Deka dari kekagetan.

"P-Pak Dehen[1]?" sapa Deka, masih gugup. Namun, ia bersyukur paman Urai itu datang pada saat yang tepat.

"Ahai! Rupanya kalian sudah akrab!" Dehen mengerling jenaka ke arah Urai yang masih berada dalam pelukan Deka.

Deka kaget. Wajahnya seketika merah padam. Namun, rasa malu itu tidak berlangsung lama dan segera berganti dengan kecemasan lagi. Ternyata Urai pingsan dan terkulai lemas.

"Rai, Rai!" panggil Deka sambil menepuk-nepuk pipi Urai. "Astaga, Rai! Bangun! Jangan bikin aku stres!"

Urai tak juga membuka mata. Deka kalut. Segera digendongnya gadis itu ke kamar dan ditidurkan di kasur.

Dehen meraba kening keponakannya, lalu tersenyum. "Dia cuma kaget. Tolong diolesi minyak kayu putih di kening, leher, dan kaki. Sebentar lagi pasti bangun."

Tanpa bertanya lagi, Deka mengerjakan saran Dehen. Sementara itu, Dehen mengamati ada yang aneh pada tengkuk Deka. Tangannya terjulur meraba gambaran berbentuk segi enam memanjang yang berwarna hitam kebiruan. "Kenapa ada talawang di sini?" ucapnya lirih.

Merasa tengkuknya disentuh, Deka berpaling ke arah Dehen. "Talawang?"

Dehen mengangguk. Deka pun ingin memastikan sendiri. Ia bangkit dan mencari cermin yang tergantung di dekat meja. Terlihat gambaran mirip tato hitam kebiruan. "Astaga, benar! Apa ini, Pak?"

Dehen mendekat dan meraba rajah itu sekali lagi. "Ini seperti cap untuk penanda sesuatu. Saya mau tanya apa yang terjadi tadi?"

Deka pun menceritakan urutan peristiwa dari datangnya beras aneh hingga mereka terseret ke dalam terowongan gaib. Saat itulah ia baru sadar Nuraini si Arwah Bucin tidak terlihat di mana pun.

"Kamu mencari Nuraini?" tanya Dehen. "Maaf, saya tidak sempat menyelamatkannya. Dia terseret ke dalam portal."

"Apa artinya itu, Pak?"

Dehen mengedikkan bahu. "Artinya kamu harus menjemput dia."

"Hah? Saya nggak mau kembali ke portal itu! Amit-amit!"

Pembicaraan mereka terjeda saat Urai mengerang panjang. Gadis itu telah siuman dan berusaha duduk. Kepalanya terasa pening, dan lehernya kaku. Deka segera duduk di sisinya.

"Rai, apanya yang sakit?" tanya Deka.

"Hatiku, Kodeka!" rajuk Urai.

"Hah? Kamu masih waras, kan?" tukas Deka.

Urai melengos ke arah pamannya. Melihat lelaki itu, ia langsung menangis. "Om, dia jahat sama aku!"

Alih-alih menghibur, Deka malah menjadi kesal. "Wah, sepertinya kamu masih kesurupan arwah nggak bener."

"Tuh kan, Om? Dia selalu ngomong pedas ke aku!"

"Sudah. Dia sayang sama kamu, kok," sahut Dehen sambil menahan senyum, geli melihat sepasang insan yang selalu saling meneriaki tapi tidak mau berpisah itu.

"Sayang apanya!"

"Saya nggak sayang!"

Deka dan Urai protes bersamaan. Namun, Dehen tidak menanggapi mereka. Perhatiannya tertuju pada leher Urai.

"Rai, coba lihat tengkukmu."

Urai menurut dan menyibakkan rambutnya. Benar saja dugaan Dehen. Di tengkuk Urai yang putih mulus itu terdapat tanda serupa milik Deka.

"Wah, ini masalah serius," gumam Dehen. Deka dan Urai seketika menatap padanya dengan kalut.

"Apa yang terjadi, Pak?" tanya Deka.

"Kalian sudah mendapat cap. Berarti kalian harus berangkat segera."

"Berangkat ke mana?" tanya Urai. Diam-diam rasa kalutnya meluntur, digantikan bayangan akan pergi berduaan dengan Deka.

"Saya juga tidak tahu. Kita harus menemukan guratan talawang di pohon itu dulu," jawab Dehen.

"Guratan itu saya lihat berada di pohon yang ada di lereng Bukit Matang Kaladan," ucap Deka.

"Kalau begitu, ayo kita ke sana!" ajak Dehen.

"Oh, nggak mau!" tukas Deka secepat kilat. "Saya trauma dengan bukit itu!"

"Saya juga takut ke sana," timpal Urai. "Saya nanti kesurupan lagi."

Dehen hanya menatap keduanya. "Ya sudah. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan kalian berdua." Kemudian, ia berpaling pada Urai. "Sebaiknya saya menemani kamu di kos malam ini."

Urai dan Deka saling pandang sejenak, lalu menatap Dehen dengan mata melebar.

"Ada apa nanti malam?" bisik Deka. Suaranya serak akibat rasa cemas yang tiba-tiba menggulung di dalam dada.

_________________________

[1] Dehen adalah tokoh sakti Dayak yang tinggal di tepian Danau Loksado, Kalimantan Selatan. Dehen adalah adik kandung ibu Urai.

☆Bersambung☆

Jangan lupa follow, dan vote, ya

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now