44a. Jalan Takdir

213 62 9
                                    

Kabin sempit yang hanya memiliki jendela kecil itu segera diisi isak tangis Jala dan Jojang begitu napas terakhir Riun terembus. Damang Batu mengusap wajah Riun sambil menggumamkan sesuatu, kemungkinan doa untuk kedamaian arwahnya.

Mata batin Deka melihat arwah gadis itu melayang di dekat jasadnya. Energinya putih bersih dan terang, menandakan sebuah jiwa yang tenang dan bahagia. Ia mencium Jojang sambil menyentuh air mata yang meleleh di pipi lelaki itu. "Maafkan, aku belum sempat menjadi istri yang baik bagimu."

Setelah itu, ia mencium Jala dan mengelus kepalanya. "Pulanglah. Jalani hidupmu dengan baik. Aku sudah bahagia."

Jala tersedu, namun mengangguk. Hatinya mulai menerima suratan takdir. "Maafkan aku."

Riun tersenyum dan mencium Jala sekali lagi, lalu berpaling ke Deka. Matanya berbinar saat berhadapan dengannya. "Terima kasih atas bantuanmu."

Deka terharu dan ikut berkaca-kaca. "Sama-sama. Kamu sudah ingat siapa dirimu?"

Arwah itu tersenyum manis dan mengangguk. "Tentu saja."

"Kamu ingat pernah mendatangi aku di rumah?"

"Iya, aku ingat. Aku memintamu datang."

"Kamu sudah mendapat apa yang kamu butuhkan?"

Riun mengangguk. "Terima kasih."

Deka mengusap air mata. "Aku ikut senang. Tapi, jangan cuma memberi ucapan terima kasih. Sekarang, pulangkan aku dan Urai."

Mata Riun meredup. "Aku tidak tahu caranya."

Deka mengerjap setengah bingung. "Nggak tahu caranya?"

Riun menggeleng. "Bukan aku yang membuat kalian terseret ke tempat ini. Aku terlempar ke zamanmu sebentar, tapi kemudian pusaran itu menarikku kembali. Tahu-tahu, aku terbangun di gendongan Kak Silas."

"Astaga! Lalu siapa yang bisa memulangkan kami?"

Riun terlihat sedih dan hati Deka pun mendadak ingin meledak. "Aku nggak mau tahu! Calon istriku ini harus ujian skripsi sebentar lagi."

"Maafkan aku ...."

"Hei, Hantu Amnesia! Ada tiga nyawa yang menjadi tanggung jawabmu. Jangan berkelit!"

"Tiga?" Riun terlihat bingung.

"Aku, Urai, dan Nuraini."

"Itu akuuuu!" Nuraini menyeruak ke dalam ruangan tanpa basa basi.

Arwah Riun semakin kebingungan. "Aku benar-benar tidak tahu cara melakukannya."

"Pokoknya kami harus pulang! Kalau tidak, aku akan memburumu ke ujung neraka!"

"Aku tidak tahu. Aku tidak bisa."

Pembicaraan batin itu terhenti karena dehaman Damang Batu. Deka pun menjadi sadar bahwa semua orang tengah berduka. Ia terpaksa mendiamkan masalah itu untuk sementara waktu.

Tak lama kemudian, perawat Belanda datang untuk menjahit luka Riun agar jenazahnya layak dibawa pulang. Semua orang keluar dari kabin, termasuk Jala dan Jojang. Suami Riun itu sempat melihat perawat mengembalikan usus yang terburai ke rongga perut. Melihat luka menganga itu, Jojang tidak tahan lagi. Begitu berada di luar kabin, ia langsung melabrak Jala.

"Kenapa Riun sampai terluka seperti itu, ha?" sergahnya sambil mendelik, walau pelupuknya masih digenangi air mata. Sejak menemukan Riun, ia harus menjaga situasi tetap tenang demi kedamaian hati sang istri sehingga ia menahan diri dari bertindak kasar. Padahal tangannya sangat gatal ingin meremukkan kepala Jala.

Jala menunduk. Ia tak sanggup menceritakan peristiwa tragis yang ia sesali seumur hidup. Aksi diam itu membuat Jojang semakin murka. Ia langsung mencekik leher Jala. Damang Batu yang berada tak jauh dari mereka segera menarik tangan Jojang.

"Sabar!" tegur Damang Batu. "Ingat, kamu sudah meminta sidang adat."

Karena segan pada Damang Batu, Jojang melepaskan Jala dan mengempasnya ke lantai.

"Kamu berutang penjelasan padanya, Nak," ucap Damang Batu kepada Jala. "Bagaimanapun, dia suami sah Riun."

Jala mengangguk lemah dan mulai membuka mulut walau suara yang terdengar sangat lirih. "Waktu itu, kami melarikan diri dari tempat pesta di rumah orang tua Riun. Niat kami mau ke hulu sungai Kapuas, lalu ke Banjarmasin. Waktu itu sangat gelap ...." Kalimat Jala terhenti dan tangis kembali mengguncang bahunya.

"Kalian diserang orang?" tanya Damang Batu.

Jala menggeleng. "Tidak, Damang. Jukung kami menghantam riam dan hancur. Riun ... ah!"

"Dia kenapa?!" bentak Jojang. Ia sudah bergerak hendak menarik kepala Jala agar tidak terus menunduk, namun sekali lagi badannya ditahan oleh Damang Batu.

"Cepat katakan, Nak!" perintah sang Damang.

"Perut Riun robek terkena potongan kayu jukung ...." Jala tak berani mengangkat wajah. Hanya napas tersengal menjadi tanda ia sangat terpukul. Malam nahas itu adalah malam terkelam di mana kegelapan menyelimuti mata dan hatinya. Ia berlari di sepanjang tepi sungai sambil menggendong Riun yang terluka, berharap menemukan rumah penduduk yang bisa memberi pertolongan.

Darah Riun terus menetes di sepanjang jalan dan denyut kehidupannya semakin lama semakin lemah. Saat ia menemukan gubuk di pinggir ladang kecil, gadis itu telah tak sadarkan diri. Sayang, gubuk itu kosong. Mungkin pemiliknya sedang pergi berburu atau pulang ke kampung.

Ia membaringkan Riun di tengah gubuk dan berusaha meramu obat dari akar dan kulit kayu. Namun, luka yang dalam dan lebar telah menghabiskan darah gadis itu. Di gubuk itulah ia kehilangan Riun untuk pertama kali. Ia ingat tidak sanggup menangis. Sebuah tekad pun terpatri di dalam hati. Riun harus hidup kembali, sekalipun dengan cara mengguncang dunia orang mati.

Tahu Riun meninggal sia-sia dalam pelarian, Jojang sangat meradang. Terutama karena tidak bisa membunuh Jala demi membalas dendam. "Mengapa kamu tidak mengajakku bertanding untuk mendapatkannya, Pengecut! Paling tidak, Riun tidak akan sengsara!"

Jala menunduk. Ia tidak akan menang bila berduel secara adil dengan Jojang. Walau ia bisa berkomunikasi dengan dunia gaib, namun kekuatan fisik pemuda itu jauh di atasnya. Dengan sekali gerak, Jojang sanggup menebas lehernya.

"Aku memang pengecut," gumamnya.

Jojang menggeram dan memukul dinding. Menyesal juga ia, telanjur meminta sidang adat kepada Damang Batu. Saking marahnya, jari telunjuk yang digunakan untuk menuding muka Jala bergetar. "Aku akan menuntutmu! Dengar itu! Aku akan menuntut hukuman terberat untukmu di sidang adat nanti!"

Demi menjaga suasana tetap tenang, Damang Batu meminta Deka membawa Jala ke dek. Sedangkan Jojang—yang lebih berhak atas Riun—tetap berada di sisi istrinya hingga jenazah gadis malang itu siap untuk dipulangkan.

☆☆☆

Jangan lupa memberi bintang, komen, dan share, serta follow 😊😊😊

Tindakan sepele bagi Pembaca, tapi sangat bermanfaat bagi lapak ini buat menghasilkan karya-karya yang seru.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now