42c. Pertempuran Terakhir (3)

203 65 6
                                    


Ternyata, komandan kulit putih memerintahkan dua kapal Marsose pribumi untuk membantu Damang Batu. Sudah pasti usaha itu bukan dilandasi rasa setia kawan. Mereka hanya membutuhkan sang Damang tetap hidup demi kelancaran rapat damai.

Di medan laga, Riwut mati-matian mempertahankan lehernya dari keganasan mandau para penyerang sembari melindungi Deka yang meringkuk di lantai. Suara "bak-buk" dan erangan beruntun terdengar sangat jelas. Entah mengapa, serangannya selalu dapat dipatahkan.

"Argh!" Riwut lengah dan sebuah tendangan berhasil membuatnya terjengkang di lantai perahu. Ia mengerang kesakitan. Hidung dan mulutnya berdarah. Namun, ia masih mencengkeram mandau dengan kuat, yang berarti pertempuran belum usai.

Musuhnya tidak menyiakan waktu. Langsung menerjang dengan mandau terhunus.

Trang!

Mandau beradu mandau. Riwut berhasil menahan senjata musuh di depan leher.

"Heeeeh!" Musuh berusaha menekannya. Kedua orang itu bertahan antara hidup dan mati. Sebuah kesalahan kecil akan membuat nyawa mereka melayang.

"Pandih, tunggu! Hentikan!" Seseorang berseru dari perahu sebelah.

Musuh Riwut—yang ternyata bernama Pandih—terpaksa melepas pemuda itu dan membiarkannya terbaring di lantai.

Deka meringkuk di dasar perahu. Setelah diselamatkanprajurit Punan dari air, ia disuruh berbaring di bawah naungan talawang. Mendengar nama yang tak asing, Deka memberanikan diri mengangkat kepala. Ternyata benar, orang itu Pandih, teman seperjuangan Simpei. Deka menoleh ke sampan yang baru datang. Seorang pemuda baru saja meloncat ke kapal Riwut dan berdiri tegak di hadapan pemuda itu. Benar dugaannya, Simpeilah orang yang baru datang itu.

"Riwut?" Simpei memanggil nama saudaranya.

"Kak Simpei?" Riwut tak kalah kaget. Ia langsung mengenali sepupu dua kalinya itu. "Ini pasukanmu?" tanyanya sambil bangkit berdiri.

"Iya, namanya Pandih. Ayo, bantu aku menghancurkan kapal ini!" perintah Simpei. Rupanya, ia berhasil menggalang kekuatan dari berbagai wilayah di hulu Sungai Kahayan ini.

"Maaf, tidak bisa. Kakak harus segera pergi dari sini sebelum mereka menangkapmu."

"Riwut, kamu tidak mengerti! Kita harus membatalkan perjanjian damai itu!" seru Simpei dengan nada gusar. "Kamu tidak pernah curiga untuk apa Belanda jauh-jauh datang ke Tumbang Anoi? Kamu tahu tidak?"

"Aku paham maksudmu, Kak. Tapi, kita lebih membutuhkan perdamaian di antara sesama kita. Bapa dan banyak saudaraku baru saja dihabisi pengayau. Kakak mungkin tidak tahu seperti apa rasanya karena selama ini Kakak ikut pasukan Banjar."

"Aku tahu! Kakek buyutku juga korban ngayau. Tapi kamu tidak paham, itu pertahanan terbaik kita selama ini!"

"Kakak lebih suka mempertahankan budaya saling bunuh?" seru Riwut, tidak terima.

Simpei menuding wajah Riwut. "Nah, itu dia! Itu taktik Belanda! Kalau kita terpisah-pisah dalam suku-suku, mereka akan susah menguasai tanah ini. Mereka sengaja mengumpulkan semua suku Dayak agar mudah mengarahkan kita untuk mengakui kekuasaan Belanda!"

"Tidak mungkin!" bantah Riwut.

"Tidak mungkin bagaimana? Belanda tahu kita orang Dayak adalah orang-orang yang sangat patuh pada kesepakatan dan aturan adat. Sekali mengangkat sumpah, akan ditepati sampai mati. Bisa kamu bayangkan apa jadinya bila seluruh suku Dayak mengangkat sumpah untuk takluk pada Belanda?"

"Itu hanya ketakutanmu saja, Kak. Belanda berjanji akan menghormati hak-hak adat rakyat Dayak."

"Di mana akal sehatmu? Janji itu hanya tipu muslihat! Potong lidahku kalau Belanda menepati janji!" hardik Simpei.

"Kak, orang Dayak tidak sebodoh itu! Kita juga akan menuntut mereka menghormati kesepakatan yang telah dibuat. Kita akan melawan bila kesepakatan itu dilanggar! Kita bukan suku yang lemah!"

"Kamu salah menilai niat Belanda, Riwut!"

Riwut menggeleng. "Aku tahu kenapa Kakak berkeras seperti ini. Kakak ingin bertempur melawan Belanda karena Kakak anggota laskar Gusti Matseman. Tentu saja, Kakak harus mengikuti perintahnya."

"Jadi membela tanah Dayak ini bukan urusanmu? Tanah kelahiranmu akan dikuasai orang kulit putih, Riwut! Kapan kamu sadar itu!" Simpei sangat geram.

"Kapan Kakak sadar kita harus bersatu agar memiliki martabat di tanah air sendiri!" Riwut semakin sengit melawan.

"Baik! Soal perang suku, memang harus diselesaikan dengan rapat damai. Tapi, jangan sampai Belanda ikut campur! Kita harus mengusir mereka dari Tumbang Anoi!"

Riwut merasa sedih kakak sepupunya berjalan menuju kematian. Diturunkannya mandau dan berusaha berbicara dengan nada lebih lembut, "Kak, kekuatan kalian sudah menipis. Laskar kalian sudah tercerai-berai. Akan lebih baik bila kita berjuang dengan cara lain seper—"

"Sudah, jangan terlalu banyak bicara!" potong Simpei. Ia ingat Alui pernah mengucapkan kalimat serupa dan lantas menjadi pengkhianat. Emosinya memuncak sampai ke ubun-ubun karena Riwut mengungkit kondisi mereka yang memprihatinkan. Banyak pertempuran besar tidak sanggup mengusir Belanda dari Kalimantan. Sebaliknya, pasukan Banjar semakin terdesak ke pedalaman, terisolasi dalam kantong-kantong kecil, dan tidak memiliki banyak amunisi.

"Kamu ikut aku atau tidak?" Simpei menjatuhkan ultimatum.

"Tidak. Aku ikut Damang Batu!" sahut Riwut tegas.

"Kalau begitu, kamu musuhku sekarang! Jangan salahkan aku kalau harus menebas lehermu!" Simpei mengangkat mandau dan bersiap menyerang.

"Aku siap melawanmu!" Riwut pun memasang kuda-kuda.

"Hiyaaaah!" pekikan kedua pemuda itu membahana diikuti denting senjata yang beradu.

Keadaan ternyata tidak baik bagi Riwut. Entah mengapa, ia kehilangan kegesitan. Simpei lebih kuat dan terlatih. Setelah terguling-guling saling adu kesaktian, sebuah tendangan berhasil menembus pertahanan Riwut. Pemuda itu limbung. Simpei langsung menusukkan mandau ke perut Riwut yang terbuka tanpa pertahanan.

"Aaaah!" Mandau Riwut terlepas dari tangan. Darah meleleh dari luka di perut. Ia terdorong ke pinggir perahu. Simpei telah gelap mata. Di kepalanya, hanya ada keinginan untuk membunuh. Bahkan ikatan persaudaraan tidak sanggup menahannya. Sebuah tendangan ke lambung mengakhiri perjuangan Riwut. Tubuhnya limbung ke belakang, lalu terjungkal ke sungai.

Di atas kapal uap Belanda, Urai melihat sosok ber-ewah merah itu jatuh. Percikan air yang melahap tubuh Riwut seperti vonis malaikat maut. Dadanya sesak sampai sulit bernapas. Bahkan tangisnya pun tertahan di tenggorokan.

☆Bersambung☆

Jangan lupa memberi bintang, komen, dan share 😊😊😊Tindakan sepele bagi Pembaca, tapi sangat bermanfaat bagi lapak ini buat menghasilkan karya-karya yang seru.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now