12a. Sidang

252 73 6
                                    

"Hei, sudah, sudah!" seru Datu Penyang. Orang-orang itu seketika diam kembali. Sementara itu, sang Datu mengerutkan kening saat melihat bentuk buliran beras yang aneh. "Ho, beras apa ini? Siapa yang memberimu?"

"Beras ajaib, Datu," ujar Urai. "Kami diberi petunjuk oleh arwah aneh untuk mencari sumbernya ke hulu Sungai Kapuas."

Datu Penyang mengaduk-aduk buliran kebiruan di telapak tangannya dengan ujung jari. Diam-diam ia mengerahkan segala kemampuan batin untuk mencari tahu misteri di balik keanehan itu. Cukup lama berusaha, ia tidak mendapat informasi apa pun sehingga memutuskan untuk mengambil mandau. Sambil terpejam, benda keramat itu diputar di atas beras sambil mulutnya komat-kamit menggumamkan mantra.

Kegelapan malam seketika menjadi semakin kelam. Serangga hutan dan kodok yang semula ramai bersahutan, kini bungkam. Alam seperti menyimak permintaan sang Datu.

Mata batin Deka yang peka segera melihat apa yang terjadi. Kontan semua bulu kuduknya berdiri. Gumaman tanpa kata itu ternyata memanggil kekuatan gaib di sekitar betang untuk berkumpul di tempat itu.

Ada yang keluar dari kepala-kepala binatang yang dipajang di dinding. Sebagian melesat keluar dari sandung, guci-guci, tombak, mandau, bahkan sumpitan yang dikeramatkan. Makhluk astral berbagai wujud dan ukuran memadati ruangan itu, berdesakan di antara manusia. Tahu bahwa Deka bisa berkomunikasi, mereka segera berusaha mengajaknya bicara, bahkan menggodanya.

Tangan Datu Penyang yang menggenggam beras bergetar. Matanya mendadak terbuka dan menatap Deka dengan tajam.

"Kalian ada di sini, tapi kalian sesungguhnya belum terlahir ke dunia!" serunya dengan kekagetan tingkat dewa. "Makhluk apa kalian?!"

Semua yang hadir di situ kaget. Kecurigaan bercampur kekhawatiran terpancar dari tatapan mereka saat memandang pada Deka dan Urai. Datu Penyang tiba-tiba berdiri sambil mengangkat mandau ke atas bahu, siap untuk menebas. Deka kaget. Tahu bahwa nyawanya dan Urai bisa melayang, ditariknya gadis itu ke belakang tubuh.

Tanpa diduga, Riwut bergerak cepat, bersimpuh di depan Deka untuk menghalangi Datu Penyang mengarahkan mandau ke leher pemuda itu.

"Tunggu, tunggu Datu!" Riwut memegang kaki Datu Penyang. "Kita belum selesai mencari informasi dari mereka!"

"Mereka membawa sial! Yang itu juga!" Datu Penyang menuding Jala. "Kalian tahu apa penyebab ancaman ngayau dan asang di sini?"

"Balas dendamkah, karena kami pernah ngayau mereka?" tanya Deong.

Mata Deka melirik dua tengkorak yang digantung di dekat pintu masuk. Arwah pemilik kepala itu memberitahunya bahwa bukan suku mereka yang mengirim ancaman.

"Bukan, bukan mereka," sela Deka.

"Apa kamu bilang?" Mata Datu Penyang nanar melibas Deka.

Kontan saja, bulu kuduk Deka berdiri. "Me-mereka bilang, yang akan datang bukan orang-orang dari kampungnya," ucap Deka sembari menuding kedua tengkorak itu.

"Katakan, dari mana orang-orang itu!"

Deka menajamkan batin dan menangkap informasi dari para makhluk astral. Namun, informasi yang ia dapat hanya sedikit sehingga ia menggeleng. "Sepertinya, mereka mencari seseorang."

Datu Penyang menuding wajah Deka menggunakan ujung mandau. "Ternyata kamu tahu sesuatu. Makhluk dari mana kamu?"

Orang-orang kembali gaduh. "Jangan-jangan mereka makhluk jadi-jadian!"

Ujung mandau Datu Penyang kini menekan leher Deka. Kontan, tubuh pemuda itu menegang. Urai memekik kalut dan memeluknya dari belakang sambil menangis.

Tanpa terduga, Riwut menarik mandau-nya. Dengan gerakan secepat kilat, ia mengayunkannya ke tangan Deka. Lengan kuning langsat yang mulus itu pun tertoreh, mengeluarkan darah segar. Deka bahkan tidak sempat mengaduh saking kagetnya.

"Datu, dia manusia biasa seperti kita. Lihat, dia berdarah dan darahnya juga merah," ucap Riwut.

Deka yang masih kaget, segera menggenggam lengannya yang terasa nyeri.

Melihat darah mengalir di lengan junjungannya, Urai syok berat dan langsung ikut memegang lengan terluka itu untuk menghentikan perdarahan. Namun, Riwut menarik tangannya, memintanya maju ke depan Datu Penyang.

"Datu, gadis ini juga berdarah seperti kita," ucap Riwut sambil menunjukkan pergelangan tangan Urai yang lecet terkena jeratan tali yang kasar.

Datu Penyang hanya diam, namun tak lama kemudian ia menyarungkan mandau-nya ke pinggang. Biarpun masa kritis sudah lewat, Riwut masih menggenggam tangan Urai. Alih-alih mengembalikan gadis itu kepada Deka, ia malah menariknya ke sisinya. Seolah menunjukkan kepada semua orang bahwa Urai berada di bawah perlindungannya.

"Sepertinya orang ini bisa berbicara dengan makhluk halus," bisik salah satu tamu yang dibawa Datu Penyang.

Orang tua itu hanya berdeham, namun ketegangan di wajahnya telah reda. Orang-orang pun ikut mengembuskan napas lega saat melihat sang Datu duduk kembali dengan tenang.

"Katakan, apa penyebab permusuhan ini!" perintah sang Datu kepada Deka.

☆☆☆

Masih mau lanjut nggak?
Beri bintang dan komen donk, biar Fura semangat

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon